Sandal Selop Azmi
Oleh: Lutfi Rosidah
Masih terlalu pagi kurasa ketika Bang Karjo memanasi motornya. Dia bilang akan mengajakku dan Azmi ke ATM, mengambil dana bantuan langsung yang katanya sudah cair. Biasanya, kalau pas momen seperti ini di sana antri, Bu, ucapnya semalam. Tentu aku senang jika semua yang dikatakannya itu benar. Sudah terbayang apa saja yang bisa aku beli dengan uang 500 ribu itu. tentu beras adalah prioritas dan sesekali makan daging juga tak apa.
Sehabis salat subuh segera kubangunkan Azmi, memaksanya mandi air dingin, meski udara sedang sangat dingin. Dia berusaha berontak, kakinya menendang kaleng berisi air yang aku ambil dari kran samping rumah. Anak-anak sering tak mau mengerti kalau semua sedang mahal sekarang: biaya PAM, Listrik, juga gas yang subsidinya mulai dicabut secara berkala. Aku hanya minta sedikit pengertiannya, bapaknya sedang dirumahkan, jangan minta terlalu nyaman.
Azmi menangis mendapat cubitan di pantatnya. Itu cukup ampuh mengurangi perlawanannya. Tak sampai lima menit, dia sudah wangi.
**
Angin bertiup sedikit kencang dan Azmi kekeh minta duduk di depan. Aku mengikuti saja maunya, dari pada dia menangis lagi. Butuh waktu puluhan menit, sekadar menghentikan tangisnya. Seperti yang kuduga, belum jauh perjalanan kami, Bang Karjo sudah mengeluh anaknya tertidur.
“Lebih baik, anaknya pindah ke belakang, Bu,” ucapnya sambil menepikan motor.
Aku segera mengambil dan memindainya ke pangkuanku. Dia tampak pulas dan memelukku erat. Baru saja motor kembali melaju, Azmi menggerakkan kaki kirinya. Tampak sandal selop hitam yang dia kenakan hampir terlepas. Aku meraihnya dan menggenggamnya dengan tangan kanan sembari tangan kiriku tetap memeluknya. Kulirik kaki kanannya, sedikit khawatir kalau sandal satunya juga bakal jatuh. Tapi tampaknya sandal itu masih terpasang kokoh dan tak ada tanda akan jatuh. Selang beberapa meter aku kembali melirik sandal di kaki kanannya, aman, pikirku. Beberapa kali kuulang aktifitas yang sama dan hasilnya masih aman-aman saja.
Di sebuah perempatan, lalu lintas cukup padat. Macet terjadi ratusan meter. Deretan truk-truk pengangkut tebu berjajar seperti konvoi 17-an. Suamiku bak pembalap menyelip ke kanan-ke kiri, mencari celah yang bisa dimasuki untuk tetap melaju meski pelan. Dia terlihat tak mau terjebak kemacetan yang makin lama makin mengular.
Sampailah kami di sebuah pusat perbelanjaan kota. Bukan, kami bukan akan belanja, hanya ke ATM yang letaknya di depan situ. Motor berhenti, Azmi menggeliat, membuka matanya perlahan sambil menguap saat aku turun dari boncengan.
“Ibuk, sandalku,” serunya saat hendak turun dari motor.
“lho! Yang sebelah kamu pakek, Nak,” jawabku hendak memasang sebelah selopnya.
“Gak ada, Buuuk.” Mata Azmi sudah berkaca-kaca.
Berarti sandal sebelah tadi jatuh entah di mana.
Suamiku sudah masuk ke dalam bilik ATM, keluar lagi dengan muka masam. Dia menggeleng dengan raut muka kecewa. Aku tak bertanya lagi, raut muka itu sudah memberi penjelasan jauh lebih detail dari rasa penasaranku.
Suamiku menghidupkan motor dan kami kembali melalui jalan yang kuduga menjadi tempat terjatuhnya selop Azmi.
“Pelan jalannya ya, Pak,” pintaku.
Kubuka mata lebar-lebar demi bisa menemukan sebelah selop Azmi. Sandal itu masih cukup bagus, baru dua bulan yang lalu aku membelikannya dengan uang hasil menyisihkan belanja. Setiap melihat dia memakainya, terselip rasa bangga, dia bisa berpenampilan sama dengan anak tetangga. Selama ini anakku hanya memakai sandal jepit murah yang kubeli di toko kelontong dekat rumah.
Sudah hampir sampai perempatan terakhir kali aku melihat selop sebelah kanan Azmi di kakinya, belum juga kulihat tanda-tanda akan ketemu. Azmi terus merengek menanyakan perihal sandalnya.
“Sudah, gak usah nangis. Nanti Bapak belikan baru.”
“Bantuannya kan belum cair, Pak. Masak malah beli sandal baru?”
“Gak papa, Buk. Bapak masih ada uang simpenan.”
“Oalah pak, kan bisa buat yang lain,” sesalku.
“Halah, sudahlah, Bu.”
Suamiku membelokkan motor di sebuah toko yang tertulis obral sandal, di depannya.
“Pak, maafkan Ibu ya. Ibu sudah ceroboh.”
“Sudah, gak papa, Bu.”
Tetap saja rasa bersalah dan menyesal itu silih berganti menyambangi dadaku. Azmi celingukan memilih sandal-sandal yang berjajar di etalase. Dia berteriak girang melihat sepasang sandal berwarna oren di sudut paling ujung.
Perempuan muda bergincu merah menyala cekatan mengambilnya dan menyerahkan pada anakku. Begitu sandal itu dipasang pada kedua kakinya kemudian dia berdiri, bertambah giranglah Azmi melihat bagian belakang sandal bersinar, berkedip-kedip.
Suamiku mengeluarkan uang berwarna biru dari dompetnya. Yang kemudian kutahu bahwa beso, aku harus kembali mengutang pada tukang sayur yang lewat setiap pagi.(*)
Lutfi Rosidah, seorang penjahit yang suka menulis.