Sandal Jepit Kesepian
Oleh: Rachmawati Ash_
Sekian tahun yang lalu, seperti pernah aku melewati jalan lurus ini. Dengan suasana yang serupa dan hujan yang sama. Mobil yang sama pula. Aku mendengar lagu A Whole New World diputar berkali-kali, membuatku mengangguk-angguk di dalam bagasi yang pengap. Bahkan, aku bersenandung saking hapal dengan liriknya.
Aku baru saja dibeli di sebuah supermarket karena kebetulan seorang presiden mengunjungi daerah kumuh dan becek. Pak Presiden terpaksa melepaskan sepatunya dan menggantinya denganku. Tentu saja, hal ini membuatku naik pangkat dibanding teman-temanku. Aku yang diciptakan untuk melayani orang-orang kalangan bawah, tiba-tiba mendapat sebuah penghargaan untuk melayani seorang pemimpin negeri.
Pilihan jatuh kepadaku bukan karena kebetulan semata. Ajudan Presiden telah berkeliling memilih beberapa jenis dan motif sandal jepit di seluruh supermarket, tetapi pilihan terakhir jatuh kepadaku. Warnaku berbeda dengan warna sandal jepit yang lainnya. Seluruh bagian tubuhku berwarna hitam secara menyeluruh. Kulitku tebal dan kokoh, terkesan nyaman dan berwibawa saat digunakan di luar ruangan.
Aku masih ingat, pertama kali Presiden menyematkanku di kedua telapak kakinya. Aku turun untuk melayaninya, mulai membawa langkahnya turun ke daerah kumuh, TPA-tempat akhir pembuangan sampah. Hujan baru saja reda, tanah basah dan becek membuatku kotor dan belepotan. Namun, dalam hati aku merasa bangga. Aku adalah pelayan yang berguna bagi seorang pemimpin negara. Aku berjalan diiringi oleh ajudan yang bertubuh tegap, keberadaanku tak kalah penting dengan mereka di saat seperti ini.
Presiden berhenti sebentar, menggulung celananya sedikit mendekati lutut. Aku merasa seluruh mata yang ada di sana terfokus melihatku. Aku mulai tinggi hati, seandainya aku bisa melakukannya, aku akan membusungkan dada karena terlalu bangga. Sayang, aku hanya sepasang sandal jepit, yang melindungi sepasang kaki dari tanah becek. Tapi bagiku, tetaplah suatu penghargaan tersendiri saat aku digunakan oleh orang nomor satu di negeriku.
**
Malam ini, setelah sekian tahun aku berada di dalam bagasi yang pengap. Masih dengan bungkus plastik yang sama. Setelah pertama kali aku digunakan untuk membawa langkah demi langkah presiden, melewati jalan-jalan basah di kawasan kumuh pembuangan sampah, aku di cuci untuk pertama dan terakhir kali. Lalu sepanjang waktu aku hanya menjadi penghuni bagasi mobil. Tak pernah sekali pun aku dikeluarkan dari plastik pembungkus apalagi diizinkan melihat pemandangan di luar.
**
Masih di jalan yang sama, aku mendengar lagu yang sama. Aku meringkuk kesepian di dalam ruang yang pengap. Aku mulai merindukan kebebasan seperti layaknya sandal jepit lainnya. Aku ingin diajak berjalan sepanjang waktu dan melewati jalan mana pun yang membuatku bahagia. Aku ingin hidupku bewarna, dipenuhi kisah hidup yang bermakna dan penuh petualangan, bukan meringkuk di dalam bagasi mobil berharga milyaran.
Hujan masih turun di luar, aku merasakan dingin sepanjang perjalanan. Lagu yang sama masih kudengar dan berkali-kali diputar. Tak ada kata maupun percakapan dalam mobil. Presiden harus beristirahat, setelah kunjungan demi kunjungan beliau harus senyaman mungkin di dalam mobil. Sopir dan para ajudan sepertnya juga sibuk dengan jadwal di media elektroniknya masing-masing. Aku semakin meringkuk. Semakin jauh aku dari keinginan kebebasan, kupikir mereka semua lupa keberaaanku di dalam bagasi ini. sama lupanya dengan perjuanganku melindungi kaki presiden saat perjalanan di kampung kumuh siang itu.
Mobil berhenti, seseorang mengenakan seragam batik parang membuka bagasi. Mengambil dan menurunkanku di bawah sepasang kaki. Aku masih ingat, ini adalah kaki yang pertama kali memakaiku di tanah basah yang becek dan bau. Perasaanku tak menentu. Aku sangat senang karena ternyata mereka tidak lupa keberadaanku. Ini kesempatan kedua setelah setahun aku berada di dalam bagasi mobil, aku digunakan lagi oleh presiden.
Langkah gagah dan pasti, presiden menuju ke halaman sebuah masjid. Semua orang memperhatikan langkahnya. Aku kembali merasa bangga. Tidak semua sandal bisa seberuntung diriku, dikenakan oleh seorang presiden. Berjalan dengan diiringi banyak ajudan sebagai penjaga keamanan. Aku mulai berpikir, bahwa sangat berharga dan akan sangat repot jika aku hilang dan tidak bisa melayani Presiden.
Salat telah dimulai, aku diletakkan di halaman masjid. Tempatku sedikit dipisah dari sandal-sandal yang lain. Aku juga diberi perlakuan khusus, diletakkan di atas sebuah karpet yang lembut, sebelumnya aku dicuci dan dikeringkan oleh seseorang yang tak kuketahui namanya. Aku kembali merasa bangga.
Aku hanya diam, menyimak pembicaraan banyak sandal yang sedang berbincang. Meski penampilan mereka lusuh, tetapi dapat kupastikan hidup mereka bahagia. Banyak perjalanan yang telah mereka lalui bersama tuannya. Aku ingin bergabung dan berbincang juga dengan mereka, tetapi aku dalam pengawasan khusus pasukan keamanan. Aku tetap diam, masih menyimak teman-temanku ( setidaknya itu yang kuinginkan).
“Lihatlah, ada jahitan baru di tubuhku, kemarin aku terkena paku, saat dibawa berlari main layangan oleh tuanku.” Sebuah sandal menunjukkan bekas luka di tubuhnya. Tidak terlihat kesedihan di wajahnya.
“Aku sudah tua, banyak tempat sudah kukunjungi bersama tuanku, berbagai tempat dan kejadian sudah kulalui, tapi aku bahagia, Tuanku tak pernah berpikir untuk menggantiku dengan sandal yang baru, aku juga menyayanginya, aku ingin tetap menemaninya di setiap perjalanan, sampai aku tidak mampu lagi.” Sebuah sandal lusuh dan tipis bercerita panjang kepada sandal lainnya. Disambut senyum dan ucapan syukur yang begitu mendalam.
“Aku bersyukur dan bahagia, karena setiap hari mengantarkan tuanku pergi ke masjid ini untuk menjadi imam salat lima waktu.” Sandal berwarna biru muda tersenyum kepada sandal-sandal yang lain.
Aku mulai berpikir, bahwa hidupku sia-sia. Aku menghabiskan waktu di dalam bagasi mobil. Aku mulai berharap bisa dibawa berlari mengejar es krim di jalan yang panas, berlari-lari bermain layangan, atau setiap hari membawa tuanku ke pasar atau ke mana pun di saat hujan maupun panas. Aku mulai memimpikan tinggal di tempat yang sederhana, tetapi keberadaanku selalu diingat setiap mereka keluar rumah. Bukan diingat hanya saat-saat tertentu yang tidak terduga. Hatiku terasa sesak, aku menangis, ada rasa sedih yang mengganjal di hatiku.
Aku ingin melempar tubuhku ke tanah yang kotor di halaman masjid yang basah. berharap tubuh kotorku bisa menjadi alasan aku ditinggalkan dan diletakkan dekat dengan sandal yang lain. Namun, sebuah tangan mengambilku, meletakkanku di atas karpet sebelum sepasang kaki presiden kembali mengenakanku. Aku dibawa berjalan menuju ke mobil, dikawal oleh bodyguard yang gagah perkasa. Semua mata memandang langkah kami. Sandal-sandal yang tergeletak tak beraturan di depan masjid ikut memandangku dengan tatapan yang berbeda-beda. Namun, aku tidak lagi merasa bahagia, aku tidak ingin pulang bersama Presiden.
Aku ingin meminta tolong kepada siap pun untuk menyampaikan keinginanku, aku ingin tinggal bersama orang sederhana yang menyayangiku. Mengenakanku setiap waktu dan menghargaiku sebagai temannya, bukan sebagai alat yang hanya dibutuhkan saat-saat tertentu saja. Aku ingin berpetualang, melihat dunia dan ciptaan Tuhan yang begitu luas. Bukan diam di pojok bagasi selama bertahun-tahun dan mungkin menjamur, lalu terlupakan.
Presiden melepaskanku di lantai mobil, kembali mengenakan sepatunya. Tanpa kalimat perintah, seseorang mengambilku, menyemprotku dengan cairan anti kuman. Aku kembali masuk ke dalam plastik bening dan meringkuk di pojok bagasi.
Rachmawati Ash. Menyukai pemandangan pantai di sore hari karena senja selalu mengajarkan bahwa segala sesuatu tak ada yang abadi dan harus selalu berganti.
(Cerpen ini pertama kali ditulis untuk ikut TL 15 Tetapi gagal)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.