Sandal dari Bapaknya Makmur

Sandal dari Bapaknya Makmur

Sandal dari Bapaknya Makmur

Oleh: Lily Rosella

Aku berhenti di salah satu bangunan bercat kuning yang masih tercium bau catnya. Dulu, ini adalah tempat biasa aku nongkrong bersama Makmur dan Soleh. Mas Aji, bapaknya si Makmur biasa mangkal di sini bersama gerobak es kelapanya, dan itu adalah saat terbaik karena aku bisa duduk berleha-leha sambil menikmati es kelapa yang segar dan ngutang pula. Kadang dibagi gratis juga oleh Mas Aji. Memang baik betul itu bapaknya Makmur!

Ah, mengingat bocah itu aku kadang merasa kesal sendiri. Mereka, Makmur dan Soleh sudah seperti amplop dan prangko, ke mana-mana pasti berdua. Jika bukan karena tahu kalau Makmur menyukai adiknya Joni yang biasa dikepang dua itu, entah siapa namanya, pasti aku sudah mengira kalau Makmur dan Soleh saling ada rasa.

Siang itu sebelum berangkat ke surau Kiai Rozaq, aku datang ke rumah Makmur, berniat untuk mengajaknya berangkat bersama, tapi sayangnya lagi-lagi bocah bertubuh gemuk itu sudah berangkat dengan Soleh. Dan benar saja, saat aku tiba di depan surau, sandal jepit Makmur dan Soleh seperti biasa sudah nangkring duluan sebelum anak-anak lainnya datang.

Sambil membenarkan sarung yang agak melorot sedikit, aku melepas sandal dan menghampiri keduanya setelah menaruh juz amma terlebih dahulu.

“Nanti malam kau tarawih, Mur?” tanyaku yang sudah duduk di samping Makmur.

Makmur mengangguk. Jelas saja kalau ia akan berangkat tarawih seperti biasa bereng Soleh. Soleh yang merupakan anak laki-laki satu-satunya di keluarganya dan anak kesayangan pula, dididik dengan benar dan ketat agar bisa menjadi seorang ustaz kelak. Itu sebabnya Mak Jenab selalu memintaku untuk berkawan baik dengan Soleh agar tertular jadi anak baik-baik dan rajin sepertinya.

“Kau tarawih?” Soleh balik bertanya padaku.

Aku menggeleng. “Libur dulu.”

Soleh dan Makmur saling pandang setelah mendengar jawabanku. “Libur?” tanya mereka yang agak berbarengan.

“Emak Jenab bilang tidak apa libur sesekali,” sahutku santai. Kembali ke tempatku setelah melihat Joni datang. Tumben sekali itu anak datang lebih awal dari biasanya.

***

Aku menatap jam dinding, sudah pukul 2 siang lebih 15 menit sekarang. Sepertinya Kiai Rozaq ada hal mendesak sehingga datang terlambat. Sedangkan di sampingku, Joni terus saja berkipas-kipas dengan kopiahnya. Mengangkat salah satu kaki. Pun begitu sarungnya yang tidak terpasang rapi dilepaskan dan diselempangkan ke pundak kiri, lalu bangkit. Mungkin ia ingin mencuci mukanya yang sudah pucat di sumur. Ekspresinya saja terlihat seperti hampir tewas menunggu azan asar yang masih satu jam, apalagi waktu magrib. Masih sangaaat lama!

Iseng-iseng aku melirik ke arah Makmur sekilas. Ia terus saja memerhatikan Joni. Dapat kutebak kalau sudah lama ia ingin bermain dengan Joni yang dianggapnya sebagai kakak ipar. Ah, ada saja kelakuan bocah zaman sekarang. Mengaji saja ia masih terbata-bata, tapi sudah tahu soal kakak ipar segala.

Setelah berbisik-bisik dengan Soleh, akhirnya kedua anak itu juga pergi ke belakang, menyusul Joni. Tanpa perlu bertanya atau meminta mereka menungguku, aku langsung menyusul. Berjinjit dan mengikuti mereka dari belakang.

“Kau tidak puasa, Jon?” tanya Soleh tepat saat aku berdiri tak jauh dari sumur.

Joni berdehem, berdiri tegap dengan dada yang agak dibusungkannya. Berkata kalau dia puasa.

“Tadi kau minum, kan?” tanya Soleh lagi.

Kali ini Joni melotot, berkecak pinggang. Bersikukuh kalau ia tidak minum. Hanya berkumur-kumur saja sembari wudu. Dan yang membuatku hanya bisa menepuk jidat adalah Soleh dan Makmur mengikuti saran Joni untuk mencoba apa yang sudah ia lakukan jika masih tidak percaya. Mereka ikut berkumur-kumur dan menelan airnya, bukan membuangnya seperti cara berwudu yang diajarkan Kiai Rozaq.

Aku tertawa, kembali ke tempatku sebelum mereka menyadari kalau sejak tadi aku mendengar dan melihat apa yang sedang mereka lakukan. Sampai tak lama kemudian Kiai Rozaq datang dan mengucapkan salam.

***

“Kau melewatkannya, Mad,” seruku yang asing mengangkat kaki sambil menikmati segelas es kelapa buatan Mas Aji.

Kebetulan malam ini Somad juga libur tarawih sama sepertiku. Membuatku ada teman bercerita tentang kejadian menyenangkan siang tadi.

“Sayang sekali aku tidak ikut pengintaian itu.”

“Lalu apa yang dilakukan Soleh dan Makmur?” tanya Mas Aji yang ikut nimbrung setelah selesai melayani pembeli.

“Mereka juga ikut minum seperti Joni!” sahutku bersemangat.

“Dan lagi, Soleh sepertinya memang anak yang soleh seperti namanya. Wajahnya terlihat cemas saat sedang mengaji, jadi dia tanyakan kepada Kiai Rozaq tentang apa berkumur-kumur tanpa membuang airnya itu tidak batal,” lanjutku.

“Lalu apa kata Kiai Rozaq?”

“Tentu saja batal!”

Di depan gerobak Mas Aji sudah mengepal kedua tangannya. Gigi-giginya digeretakan. Aku lupa kalau tengah bercerita tentang Soleh juga Makmur, anaknya. Kadang jika sedang ada teman nongkrong seperti sekarang ini aku tidak ingat kalau Mas Aji adalah bapaknya Makmur sehingga bercerita sesuka hati. Membahas berita-berita terbaru tentang anak-anak seusiaku.

Dan di sana, dari arah pohon pisang Bi Ijah, Soleh dan Makmur datang tak lama setelahnya. Mereka baru pulang salat tarawih. Sedangkan di depanku, Mas Aji yang mungkin telah geram tahu kalau Makmur batal puasa sedikit membungkukkan badannya. Mengambil salah satu sandal dan menghampiri Makmur. Aku tidak tahu bagaimana kelanjutannya. Lebih memilih kabur sebelum Makmur dan Soleh tahu kalau Mas Aji mendapatkan informasi ini dariku. (*)

 

Lily Rosella, gadis berdarah Sunda – Betawi yang kerap disapa Lily ini lahir dan besar di Jakarta. Penyuka dongeng dan cerita bergenre fantasi. Ia juga menyukai warna-warna pastel.

FB: Aila Calestyn Lily Rosella

Email: Lyaakina@gmail.com

Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita