Sampul Merah Jambu
Oleh: Rizqi Amalia
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 07.05, namun Najmi belum juga menampakkan batang hidungnya. Sementara itu, seorang lelaki bertubuh tegap tengah berjalan menuju kelas. Namanya Pak Muhibbin, guru matematika yang terkenal disiplin dan tegas terhadap peraturan di sekolah. Beliau takkan segan menghukum murid yang semenit saja terlambat mengikuti pelajaran.
Seperti biasa, kegaduhan seketika lenyap saat guru matematika itu melangkah memasuki kelas. Semua murid bahkan sudah duduk di bangkunya masing-masing.
“Siapa yang tidak masuk hari ini?” ucap Pak Muhibbin setelah murid-muridnya menjawab salam yang ia lontarkan. Matanya menatap tajam ke seluruh penjuru ruangan, dan terhenti pada sebuah bangku kosong di sebelah kanan dekat tembok.
Baru saja seorang murid hendak menjawab pertanyaan itu, tiba-tiba terdengar langkah kaki dari arah koridor. Tak lama kemudian, muncul seorang gadis dengan wajah yang sudah basah oleh keringat.
“Sudah jam berapa sekarang?” Najmi berjalan mendekati Pak Muhibbin yang masih berdiri dengan kedua tangan melipat di depan dada.
“Ma—maaf, Pak. Saya…,” jawabnya terbata-bata.
“Cukup, Najmi. Saya tidak mau mendengar alasan apa pun lagi, karena ini sudah ketiga kalinya kamu terlambat datang di kelas saya.”
“Tapi, Pak—”
“Sekarang juga kamu berlari keliling lapangan sebanyak tiga kali. Setelah itu, baru boleh masuk ke dalam kelas,” potong Pak Muhibbin. “Ayo, cepat! Saya awasi kamu dari sini.”
Belum sempat Najmi menyampaikan alasan kenapa ia datang terlambat, jemari Pak Muhibbin sudah menunjuk ke arah lapangan yang luasnya hampir separuh dari bangunan sekolah. Menyuruh gadis tersebut untuk segera melaksanakan hukuman.
Najmi pun bergegas menuju lapangan dan melakukan apa yang sudah diperintahkan untuknya. Meski melelahkan tapi ia sudah terbiasa melakukan hal semacam itu. Bagaimana tidak jika sepulang sekolah saja Najmi selalu berjalan mengelilingi kampungnya untuk mengais rupiah. Menjajakan kue buatan ibunya hingga sore hari, bahkan terkadang hingga malam tiba.
“Aku benar-benar haus,” gumamnya dalam hati. Duduk sejenak di tepi lapangan sambil menghela napas dalam-dalam. Sementara itu, tanpa ia sadari ada sepasang mata yang menatapnya dari balik jendela kelas.
***
“Boleh aku pinjam catatan pelajaran tadi?” ucap Najmi membuyarkan lamunan Alfan yang tengah duduk di kantin.
“Tentu. Akan kuberikan nanti setelah jam istirahat usai.”
“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu.”
Baru saja gadis itu melangkahkan kaki, Alfan membuatnya menoleh ke belakang. “Tunggu, Naj. Apa kau sudah makan?”
“Ya, aku sudah sarapan tadi.”
“Kau yakin?”
Terdengar bunyi keroncongan dari perut Najmi. Raut mukanya menyiratkan rasa lapar yang tertahan. Tadi pagi ia memang belum sarapan.
“Duduklah, biar aku pesankan makanan,” ujar Alfan yang tak tega melihat temannya nampak lemas.
“Tidak usah repot-repot. Aku—”
“Anggap saja ini hadiah karena kau sudah membantuku kemarin. Oke?”
Akhirnya Najmi menganggukkan kepala, menerima tawaran Alfan. Sebenarnya ia malu tapi rasa lapar yang mendera sudah tak bisa dikompromi.
“Terima kasih sudah membuatku kenyang,” ucapnya setelah menghabiskan makanan yang Alfan sodorkan padanya. Lelaki itu menyunggingkan senyum. Tidak hanya senang melihat gadis di hadapannya kini sudah merasa kenyang, tapi juga lega karena niat baiknya terwujud.
Sejak awal berkenalan, Najmi memang terlihat istimewa di mata Alfan. Sosoknya yang pekerja keras dan mandiri membuat lelaki tersebut kagum terhadapnya. Gadis itu juga berbeda dengan temannya yang lain. Ia lebih suka menghabiskan waktu di perpustakaan daripada bercengkerama dan menghabiskan uang jajan di kantin.
Duduk sambil menuliskan sesuatu di buku kesayangannya lebih menyenangkan ketimbang membicarakan hal yang tak jelas. Karena itulah Najmi selalu membawa buku bersampul merah jambu ke mana pun ia pergi saat jam istirahat tiba. Termasuk saat ia melihat Alfan untuk pertama kalinya. Ketua OSIS sekaligus kapten tim basket di sekolah yang bisa membuat jantungnya berdegup lebih cepat ketika mereka sedang bertemu.
Dia tersenyum padaku, tapi aku malah terbengong melihatnya. Memalukan. Tulis Najmi di bukunya. Satu-satunya cara yang mampu ia lakukan untuk mengungkapkan isi hati, tentang perasaannya pada lelaki bertubuh tinggi itu.
Tak berbeda jauh dengannya, Alfan pun diam-diam sering memerhatikan Najmi dari kejauhan. Memandang si gadis pujaan dengan senyum yang menawan.
***
Pagi hari—sepuluh menit sebelum bel masuk berbunyi, Najmi berlari menyusuri jalan menuju sekolah. Sesekali mengusap wajah yang mulai berkeringat sambil menggerutu dalam hati.
Semoga aku tidak terlambat lagi.
Beruntung, pintu gerbang masih terbuka saat ia sudah berdiri di dekat sekolah. Setelah berulang kali menghela napas karena kelelahan, gadis itu kembali berjalan. Namun mendadak berhenti usai seseorang mengagetkannya.
“Cepatlah, atau kita akan terlambat.”
“Alfan? Tumben baru datang,” ucapnya. Menatap heran wajah lelaki yang kini berada di sampingnya.
“Ya. Kemarin aku tidur terlalu malam jadi ….” Alfan mengangkat kedua bahunya. “Kau sendiri?”
“Aku sibuk mencari sesuatu dan belum ketemu sampai sekarang.”
“Sepertinya benda itu sangat berharga untukmu. Biar kutebak, kau sampai tak bisa tidur dengan nyenyak semalam. Iya, kan?”
Najmi menggeleng pelan, mencoba menutupi kegelisahan yang tengah ia rasakan. Apa yang Alfan katakan memang benar. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak karena buku bersampul merah jambu yang biasa ia bawa tiba-tiba hilang.
Bagaimana jika ada yang menemukan dan membaca buku itu?
Pertanyaan tersebut terus terngiang di benaknya. Najmi khawatir jika hal yang ia pikirkan benar-benar terjadi. Apalagi bila mengingat semua yang tertulis di buku itu.
“Seharusnya aku tidak seceroboh ini,” sesalnya dalam hati. Najmi yang malang. Karena terburu-buru saat hendak menaiki angkutan umum sepulang sekolah, ia tidak menyadari sesuatu. Buku kesayangannya tertinggal di dalam kelas. Alfan yang tak sengaja melihatnya langsung bergegas mengambil buku itu, dan berniat mengembalikannya pada esok hari.
“Tenanglah. Bukumu masih tersimpan dengan baik,” ucap Alfan membuyarkan lamunan Najmi.
“A—apa maksudmu?”
“Ini.” Lelaki itu menyodorkan benda yang diambilnya dari dalam tas.
“Bagaimana kau bisa …?”
“Ngomong-ngomong aku sudah membacanya,” sela Alfan. “Maaf.”
Najmi yang kaget hanya bisa terdiam. Termangu di tengah jalan sambil menatap punggung sang pujaan hati yang berjalan mendahuluinya, lalu menoleh sekilas dengan senyum manis di wajah.
“Kau ingin dihukum lagi?”
Tanpa menjawab Najmi langsung berlari. Menyusul Alfan yang sudah memasuki gerbang sekolah terlebih dahulu. Dan tak jauh darinya, seorang guru tengah berdiri tegap dengan kedua lengan melipat di depan dada.
Menyebalkan.(*)
Rizqi Amalia, gadis penyuka melodi rintik hujan. Kelahiran tahun 1995. Ingin mengenal lebih lanjut di Fb: Rizqi Amalia.
Grup FB KCLK
Halaman FB kami
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita