Tantangan Loker Kata 22
Naskah Terbaik 15
Sampai Bab Lima Saja
Oleh: Rosna Deli
Hari ini Feri memintaku untuk menjumpainya di Kafe Nol, penting katanya. Ada sesuatu yang mendesak yang ingin dia katakan padaku. Sebenarnya aku ingin menolaknya karena pekerjaanku sedang menumpuk. Besok aku harus mengirimkan lanjutan cerita bersambung yang tengah aku tulis di aplikasi menulis.
Cerbung itu sedang mendapat banyak apresiasi dari para pembaca. Sudah ribuan orang membuka gembok dan menjadi cerbung tren nomor satu. Jadi aku harus benar-benar menggarap cerbung ini dengan serius dan keyakinan penuh bahwa suatu saat aku akan menjadi penulis terkenal.
Sambil menunggu Feri, aku membuka laptopku untuk melanjutkan kisahnya. Hal pertama yang kulakukan adalah membaca kolom komentar dari pembaca. Dari komentar itu aku sering mendapat ide kisah selanjutnya karena jujur aku tipe penulis yang tidak memiliki draf atau bayangan akhir cerita, mengalir saja.
“Ceritanya seru, Kak. Jadi penasaran, kira-kira siapa yang menghilangkan data Raisa?
“Wah tak sia-sia aku buka gembok. Kisahnya buat deg-degan.”
“Aku yakin Raisa tidak sebaik yang terlihat di media sosial. Tak ada manusia yang sempurna, pasti ada celah.”
Aha, benar. Aku mengangguk-anggukkan kepala saat membaca komentar itu. Tokohku Raisa tak mungkin sempurna. Raisa memang boleh terkenal sebagai influencer, mempunyai banyak pengikut dan uang tapi dia juga manusia. Kepopulerannya di media sosial hanya kedok di masa lalunya. Dan aku sudah punya bayangan tokoh seperti apa yang akan membongkar kebusukannya.
Aku hendak menuliskan kalimat pertama untuk lanjutan cerbungku tapi tiba-tiba telepon dari Feri membuyarkan semuanya.
“Na, aku terjebak hujan. Sepertinya ini akan lama. Aku dengar kabar di sebelah Utara telah terjadi longsor,” seru Feri dengan suara terputus-putus.
“Memangnya kau di mana?” tanyaku.
“Apa? Jaringan jelek. Sudah ya, doakan saja aku selamat.”
Telepon terputus aku segera berdiri lalu menuju ke luar kafe. Angin kencang seketika menyerang tubuhku. Di ujung sana langit kota sudah berubah menjadi gelap saat aku membalikkan badan hendak membereskan semua peralatan dan berniat untuk pulang, hujan deras tiba.
Ah, sial.
Aku ikut terjebak di kafe ini dengan berita dari Feri dan kisah cerbungku yang masih menggantung.
Aku menatap layar laptop yang kosong. Satu kalimat pun tak ada yang bisa kurangkai. Tokoh yang tadi sudah ada di kepalaku hilang sudah. Aku mencoba membuka file yang lama, membaca ulang bab sebelumnya berharap mendapat inspirasi yang lain. Namun kosong, aku justru membayangkan wajah Feri yang tengah terperangkap akibat hujan dan wajah Raisa, tokoh utamaku.
Aku alihkan perhatianku pada video-video singkat yang ada di media sosial. Biasanya langkah ini mujarab. Beberapa video lucu bisa menerbitkan senyum lalu inspirasi itu datang kembali.
“Bagaimana kalau dia saja yang menjadi tokoh antagonisnya, Na?”
Aku terkesiap saat mendengar pertanyaan itu. Aku menoleh ke samping dan melihat seorang perempuan muda dengan rambut hitam lurus telah duduk di sebelahku.
Perempuan itu memperbaiki letak duduknya lalu menunjuk video yang tengah tayang di ponselku.
“Laki-laki itu cocok. Seorang laki-laki paruh baya dengan kaos putih dan kemeja biru yang tengah menggotong beras itu sangat pas, Na,” ucapnya tanpa memperhatikan kebingunganku.
“Aku butuh seseorang yang terlihat baik di kamera tapi sebenarnya hanya pencitraan saja. Persis yang selama ini kulakukan, bukan begitu?”
Aku tergagap lalu memperhatikan kembali perempuan itu. Apakah ini Raisa, tokoh dalam cerbungku itu? Apa benar?
“Aku tidak mau kau nanti justru melibatkan aku dengan laki-laki muda yang terlihat perlente, tetapi sebenarnya hanya anak mama. Takut dengan air keruh padahal pikirannya jauh lebih kotor daripada itu. Itu laki-laki yang mengenakan rompi anti peluru,” jelasnya sambil menggeser layar ponselku.
“Maksudmu?”
“Ya, aku sudah sejauh itu kau buat dalam cerita. Bergelimang ketenaran dan kejayaan. Sekali aku post story, ribuan like dan star aku dapatkan. Jadi aku mau yang menantang.”
“Oke,” jawabku lalu menarik napas panjang.
“Jadi kau benar, Raisa tokohku?”
Perempuan itu hanya menolehku sebentar lalu menaikkan alis matanya.
“Jadi kau ingin yang bertindak sebagai detektifnya adalah laki-laki penggotong beras itu dan kekasih masa lalumu adalah anak muda berompi anti peluru itu?” simpulku.
Aku menunggu jawabannya tapi dia tampak berpikir keras. Dia tak menjawab. Apa aku salah tangkap maksudnya?
Baiklah akan kuceritakan sedikit tentang alur cerita cerbungku itu. Cerbung ini mengisahkan tentang seorang influencer muda yang tengah naik daun. Namun, di tengah hiruk pikuk dunia maya, dia dikejutkan oleh hilangnya semua data dan pengikutnya tepat ketika sang influencer akan mempromosikan produk barunya. Yang tersisa hanya sebuah foto yang menyibakkan masa lalu nan kelam sang influencer.
“Tapi aku tak yakin, laki-laki penggotong beras itu akan sukses sebagai detektif di kisahku. Bagaimana menurutmu, Na?” Raisa berkata ragu.
“Kenapa tak yakin? Semua orang bisa melakukan apa saja asal ada orang dalam dan uang, Raisa,” jawabku.
“Ah, kenapa kau jadi naif begitu?”
“Aku tak pernah menciptakan tokoh utama yang berpikir dangkal sepertimu,” jawabku sedikit kesal.
“Apa kau bilang?”
“Aku berpikiran dangkal?” Raisa menaikkan suaranya.
“Kau yang tak berpandangan luas, Na. Lihat laki-laki itu, bahkan tak tahu caranya berempati, bagaimana dia bisa memahami artinya kehilangan?”
“Aku kehilangan semua hartaku, Na. Data-data kejayaanku hilang dan aku mempercayakan harta itu kembali pada orang yang hanya bisa berakting di depan kamera?”
Aku memandang ke sekeliling takut orang-orang di sekitarku memperhatikan kami. Dan baiknya, tak ada yang peduli. Semua orang sibuk dengan ponsel masing-masing sembari menunggu hujan reda.
“Belum coba belum tahu, Raisa. Semua orang punya kesempatan yang sama. Biarkan saja laki-laki itu yang menyelesaikannya, mana tahu kau akan mendapat lebih dari yang telah hilang,” jawabku sambil memperhatikan dengan seksama setiap ekspresi yang ditampilkan laki-laki itu di video. Dan kurasa Raisa, salah.
“Lihat senyumnya, tidakkah kau merasa ia memiliki sifat kebapakan?” tanyaku selanjutnya.
Raisa mendekat ke layar lalu mengusap wajahnya.
“Aku tak mau. Kali ini biar aku yang menentukan.”
Aku memandangnya lama lalu berkata, “Bagaimana dengan laki-laki dengan rompi anti peluru itu? Apa kau mau dia menjadi kekasihmu di masa lalu?”
“Aku pikir kalian sepadan. Dia ganteng dan kau cantik. Dia kaya dan kau terkenal. Sempurna, bukan?”
“Na … Na itulah mengapa cerbungmu hanya bertahan sampai bab lima saja. Tidak menarik, konfliknya klise serta isinya sampah semua dan mudah tertebak endingnya.”
“Kau tahu aku muak menjadi tokohmu, dengar!”
Darahku mendidih juga dibuat si Raisa ini. Bisa-bisa dia mengatakan demikian. Ceritaku sampah semua. Tapi memang semua cerbung yang aku tulis tak bertahan lama, Teman. Meriah di awal redup di tengah dan mati di akhir.
“Kisah tentang cinta yang ditolak di masa lalu kemudian melakukan pembalasan dendam. Tak adakah ide yang lebih segar?”
Aku menelan ludah lalu hendak menutup layar laptop. Sungguh itu pernyataan yang menyakitkan bahkan komentar dari para pembaca tidak ada yang setajam itu.
“Kau marah?”
“Memang kenyataan itu pedih, Na. Tapi ia mengandung kebenaran yang hakiki.” Raisa memandangku sambil menahan senyumnya.
Aku menatapnya tajam. Aku tahu, dia hanya mengulang perkataan yang kutulis di bab satu pada cerbungku itu.
Aku diam lalu memandang ke arah jendela. Hujan tampaknya sudah mulai reda. Beberapa pengunjung tampak bersiap-siap untuk bergegas meninggalkan kafe ini. Aku kembali memandang Raisa. Dia pun melakukan hal yang sama, memandang ke arah jendela.
“Apa kau yakin jika aku mengikuti arahanmu, cerbungku kali ini akan menjadi yang terbaik?” tanyaku.
Raisa menarik napas panjang lalu menjawab,” Perihal keberuntungan tak ada yang tahu, tapi kita bisa belajar dari masa lalu.”
“Ah, jawabanmu klise. Yang jelas, dong, kalau memang mau bantu,” aku semakin kesal saja.
“Aku mau tokoh yang manusiawi saja. Benar-benar manusia, yang ada rasa dan logika. Tidak asal keren, tapi berterima,” jawab Raisa lalu mengambil laptopku dan menuliskan idenya.
Layar putih itu kini telah berisi kata-kata. Tak penuh tetapi kalimat pertamanya mampu memancing kata selanjutnya. Dan kupikir jauh lebih baik dari yang aku pikirkan.
“Tapi aku masih belum menemukan tokoh antagonisnya, Na. Aku tak mau laki-laki berompi anti peluru itu,” Raisa menghentikan ketikannya lalu menyandarkan punggungnya lebih dalam.
Aku mengikuti gerakannya karena juga tak ada ide lalu tak lama sebuah suara mengagetkan kami.
“Na, aku selamat,” seru Feri dari arah depan kafe.
Aku tersentak lalu menyambut kedatangan Feri. Dia tampak kedinginan tetapi masih bisa tersenyum dan menunjukkan sebuah bingkisan kecil kepadaku. Bingkisan itu berbentuk kotak kecil dilapisi beludru merah tua. Aku terpana bukan karena bingkisan itu tetapi karena bayangan Raisa terlihat dari pintu kafe. Raisa tengah duduk di depan laptopku lalu mengacungkan jari jempol.
Aku tersenyum kepada Feri lalu berkata, “Feri maukah kau menjadi tokoh antagonisku?”***
Dumai, 14 Desember 2025
Rosna Deli seorang perempuan penyuka keramaian.
