Samiun

Samiun

 


Samiun

Oleh: Dyah Diputri

Gerimis merata di penghujung malam. Puji-pujian Kristus yang syahdu terdengar menggema di balik tembok-tembok tinggi gereja pusat kota. Tepat pukul sembilan malam, anak-anak kecil berseru riang setelah berdoa mendapatkan hadiah Natal ketika misa telah selesai dan mereka berjalan tergesa keluar gereja. Seorang ibu membuka payungnya, lalu menuntun dua putrinya menuju mobil yang baru dikeluarkan dari tempat parkir oleh sang ayah.


Pria bernama Samiun mendengkur di dalam becaknya yang bertutupkan plastik kusam kekuningan. Becak yang ia parkir tepat di bawah pohon mahoni di depan gereja. Awalnya ia masih menunggu ada penumpang datang—mungkin nenek-nenek etnis Tionghoa jemaah gereja yang biasa minta diantarkan ke rumah anaknya. Namun, manakala gerimis semakin pekat, ia memilih meringkuk di dalam becak hingga terbuai puji-pujian.


Samiun tergemap, seseorang membuka plastik penutup becaknya dan menjawil-jawil lengannya. Seorang pria berkemeja krem tanpa jas itu meminta Samiun mengantarkannya pulang. Rezeki tak diundang, pikir Samiun. Segera ia keluar dan mengenakan jas hujan plastik murahan lalu menyilakan pria itu duduk. Dikaitkan lagi ujung plastik penutup becak, memastikan penumpangnya aman tak terkena tempias hujan.


“Saya meninggalkan mobil di gereja. Entah kenapa ingin naik becak saja,” seru si penumpang dari tempat duduknya.
Samiun hanya tersenyum kecut, berandai-andai, seandainya ia punya mobil, tentu tidak akan mau naik becak. Kebalikan dari si penumpang. Namun, Samiun tidak mengungkapkan isi hatinya secara langsung. Selain karena harus fokus membelah jalanan di antara rintik hujan, ia juga jarang berakrab ria dengan penumpangnya. Tugasnya sebatas mengantarkan orang ke tujuannya, mendapat upah, kemudian menukar upah tersebut dengan sepiring nasi, segelas kopi, dan dua-tiga batang rokok di warung.


“Pusat kota akan ramai seminggu ini, sampai tahun baru nanti. Macet di mana-mana. Padahal, intensitas hujan tinggi pada akhir tahun. Bisa jadi curah hujan mencapai 125, 7 mm per hari, cukup ekstrem untuk kota ini.”


“Ya, karena memang musimnya, Pak,” jawab Samiun, sekadar menanggapi obrolan tanpa tatap muka langsung itu. Ia tidak yakin masih dipengaruhi mimpi yang tadi terjeda, tetapi ucapan penumpangnya memang sama sekali tidak ia mengerti. Apalah itu intensitas hujan, curah hujan, ekstrem. Samiun tidak paham. Ia hanya tahu bahwa setelah turunan jalan di depannya—yang diluapi air dari tepian Kali Lamong setinggi kira-kira lima belas sentimeter, ia harus mendorong becaknya lebih kuat agar bisa melewati genangan air dan menanjak.


“Bapak sudah lama jadi tukang becak?” Si penumpang bertanya lagi.


Sedikit kesal, Samiun menjawab cepat, “Cukup lama, bisa jadi sampai akhir hayat saya.”


“Saya sering lihat Bapak di depan gereja,” kata si penumpang lagi.


Samiun semakin kesal. Ia sudah sampai di genangan air itu. Sialnya, perutnya yang belum terisi tidak bisa diajak kompromi. Tenaganya kurang untuk mendorong becak itu melalui genangan dan berjalan menanjak. Samiun terpaksa turun dari becaknya dan mendorong lebih kuat.
Berhasil. Becaknya berhasil menanjak dan Samiun kembali mengemudi. Tak jauh dari tempat itu, si penumpang meminta turun.

“Bapak mau mampir? Saya sedang merayakan Natal hanya berdua dengan ibu saya. Mari kita masuk dulu.”


Samiun tidak mengharapkan undangan itu. Namun, apa daya. Si penumpang belum memberikan upahnya dan malah berjalan dengan langkah panjang untuk sampai terasnya. Di sana, seorang wanita tua menyambut kedatangan pria itu.


“Mari masuk dulu, Pak,” seru si ibu pula.
Di dalam rumah si penumpang, Samiun mengedarkan pandangan, mengamati sekeliling rumah itu. Siaran televisi yang menyala menayangkan berita sekitar malam Natal, pohon berhias kerlap-kerlip lampu, juga banyak kue di stoples-stoples.
Si penumpang memang terlalu supel bagi Samiun. Segala hal diceritakannya. Topiknya masih tidak jauh dari curah hujan, doa-doa jemaah gereja, juga harapan-harapan tahun baru. Setelah menyantap kudapan dan segelas teh hangat yang disajikan ibu pria itu, Samiun malah berbalik badan dan menguap.


“Dulu, saya pun menarik becak seperti Bapak. Ibu saya membesarkan saya sendiri, dan saya tidak tega melihatnya bekerja keras demi membayarkan biaya sekolah saya.”


Samiun tercenung. Ia berkata dalam hati, mudah sekali baginya mengubah nasib dari tukang becak menjadi orang kaya dalam hitungan tahun. Sementara saya bahkan sudah menentukan nasib menjelang akhir hayat nanti—tetap menjadi tukang becak.

***

Samiun menatap layar televisi yang menayangkan film animasi Natal dan tahun baru. Televisi itu ia dapatkan dari seorang teman yang berjualan barang bekas. Sesekali TV itu susah dihidupkan, terkadang pun gambarnya hilang dan timbul. Samiun jadi bosan menatapnya. Ah, mungkin ia juga bosan dengan kesendiriannya sepanjang empat puluh dua tahun ini.


Ini malam tahun baru. Samiun sengaja berdiam di rumah, tidak menarik becaknya. Ia sudah menerka, jalanan pasti ramai dan macet walau hujan turun dengan derasnya. Kata anak-anak muda yang sering dilihatnya di jalanan, pusat kota harus semarak dengan tiupan terompet dan nyala kembang api tepat pada waktu pergantian tahun. Meski sebenarnya dunia belum tentu berubah walaupun pergantian tahun itu dirayakan dengan gegap gempita.


“Ya, tahun baru belum tentu mengubah segalanya, Pak. Karena segala perubahan itu kita sendiri yang memulainya.”
Samiun teringat ucapan si penumpang pria pada malam Natal. Sebuah kalimat yang tentu mudah dikatakan oleh orang yang sudah berhasil, tetapi sulit sekali dilakukan oleh orang-orang sepertinya. Namun, mengingat si penumpang itu pernah ada di titik sulit sepertinya, Samiun jadi kembali berpikir: apa selama ini ia yang tidak mau mengubah keadaannya?


Kala itu, orang tuanya pernah ingin mendaftarkannya ke sekolah menengah atas. Namun, Samiun dengan tegas menolak. Ia memilih bekerja serabutan dengan alasan membantu ekonomi orang tua. Saat usianya mendekati angka tiga puluh, pacar Samiun justru menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Penyebabnya tidak lain adalah materi yang lebih menjanjikan masa depan. Sampai ayah ibunya meninggal pun, Samiun lebih asyik mendengkur di dalam becak dan menunggu penumpang di depan gereja menyapanya.


Menjelang pukul dua belas, televisi Samiun mati dengan sendirinya. Kemudian, aliran listrik juga mati total. Samiun beralih menatap ke jendela rumahnya yang setengah terbuka. Di balik jendela itu, rintik hujan turun semakin deras dalam pekat malam. Saking lebatnya, sampai tidak terdengar oleh Samiun suara terompet pergantian tahun di luaran sana. Tetangganya cukup berisik, tetapi sepertinya meneriakkan hal yang lain, bukan ucapan selamat tahun baru.
Tubuh Samiun bergoyang-goyang, mengikuti gerakan lemari kayu yang mulai mengapung-apung di atas air yang setinggi perut orang dewasa. Ia tengkurap di atas lemari itu. Barang-barang di rumah yang lainnya sudah terendam dan tak terlihat mata. Sesungguhnya Samiun tidak bisa berenang, ia tidak tahu, ia tidak pantas lagi berusaha.

Malang, 2 Desember 2020


Dyah Diputri, Pecinta diksi yang tak sempurna. Facebook: Dyah Maya Diputri.


Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply