SAMBAL

SAMBAL

SAMBAL
Fika Anggi


Setengah tiga.
Kuputuskan untuk keluar lebih awal dari kantor lalu mengarahkan motor ke pasar. Menawar seekor nila dan satu kilo kerang dari penjual langganan. Membeli sebongkok selada dan beberapa ribu rupiah cabe-tomat. Cabe dan tomat sedang murah, cukup enam atau tujuh ribu untuk secobek sambal yang menggugah selera. Kutambahkan setengah papan tempe, dua atau tiga bongkah tahu, dua buah terong ungu dan segulung kol ukuran sedang. Di depan jendela kamar aku menanam serumpun kemangi sebagai pelengkap lalapan. Ah ya, aku hampir saja lupa membeli sebutir semangka.

Kalau longgar mampirlah ke rumah, aku rindu makan sambal bersamamu.

Pesan itu kukirim setibaku di kantor pagi ini. Kau baru membalasnya saat istirahat makan siang. Di pabrik tempatmu bekerja hanya handy talkie yang boleh digunakan untuk berkomunikasi.

Aku berkenalan di media sosial, aku lupa siapa yang mengirim permintaan berteman lebih dulu. Setiap kali aku mengunggah foto diri, kau meninggalkan jejak jempol. Beberapa kali aku mengunggah foto sambal lalapan _makanan favoritku_ dan kau meningkahi dengan komentar pendek ; menggiurkan, menerbitkan liur, menggugah selera, dan beberapa komentar senada. Dari komentar-komentar singkat itu kita jadi akrab dan mulai bertukar pesan instan.

Lalu tiba-tiba kau bilang tertarik padaku. Aku tertawa, bagaimana bisa seseorang jatuh cinta tanpa pernah bertemu.

“Kalau begitu ayo kita ketemu, kan, kita tinggal satu kota.”

Begitulah. Dari pertemuan itu kita kemudian sepakat berkencan. Aku senang-senang saja, toh, kau tak punya pasangan dan aku sedang sendirian. Di awal-awal kita berkencan, kau minta dibuatkan sambal sebagai menu makan malam pertama kita.

“Aku sampai ingin menjilat layar ponsel saat kamu mengunggah foto-foto sambal di akun media sosialmu.” Kau lalu mengutip sebuah artikel digital yang pernah kau baca tentang perempuan yang bisa menyambal dengan enak adalah perempuan yang ahli urusan ranjang.

Aku menyeringai lebar sebagai balasan, betapa konyol artikel itu. Kukatakan bahwa itu cuma karanganmu agar aku bersedia membuatkanmu sambal sebagai tanda kita akhirnya berkencan.

“Bukan, itu cuma akal-akalanku biar kamu mau tidur denganku setelahnya.” Aku terbahak makin keras, lalu kita bercumbu di dalam mobilku.

Seminggu setelahnya aku menuruti permintaanmu setelah jengah karena kau tak henti mengompori bahwa ada seorang mantan kekasihmu yang sambalnya pas dengan seleramu. Kukira, aku merasa perlu membuktikan bahwa sambal buatanku adalah yang paling sedap yang mampu dibuat perempuan manapun yang pernah berkencan denganmu.

Aku masih ingat foto sambal yang kukirimkan padamu waktu itu. Secobek besar sambal yang dikelilingi gorengan tempe, tahu dan terong, juga selada yang hanya kurebus dengan garam. Kutambahkan pesan bahwa aku bisa memasak ayam dengan enak sebagai lauk, tapi kau menolak.

“Kalau dengan lauk sederhana begini makanku bisa banyak, berarti kau memang istri idaman semua lelaki.”

Aku membalas “gombal” pada pesanmu.

Di hadapan dua piring nasi yang masih mengepulkan uap dan secobek sambal kita berhadapan. Aku merasa lucu waktu itu. Alih-alih makan malam di sebuah restoran _atau minimal kafe_ dalam suasana remang-remang romantis, kita duduk di ruang makan rumahku dan melumuri tangan dengan sambal olahanku ditemani kucing jantan peliharaanku.

“Aku sebenarnya bisa mengajakmu makan malam seperti kebanyakan orang. Tapi taruhan, deh, makan malam kayak gini lebih berkesan buatmu.” Aku mencibir dan mengatakan terang-terangan kalau kau cuma sedang tidak banyak uang. Kau tertawa membenarkan, mohon pemakluman soal cara bujangan mengatur keuangan.

Tidak apa-apa, Sayang, alasanku memacarimu bukan karena uang.

Beberapa kali kau mengelap keringat yang berleleran di keningmu. Aku girang dalam hati sebab sakit hati karena membandingkanku dengan mantan kekasih terbalas sudah lewat keisengan. Lebih dari dua puluh cabai rawit kumasukkan dalam racikan sambal. Dengan pura-pura memasang wajah bersalah cepat-cepat kuangsurkan teh hangat untuk menetralkan rasa pedas. Aku bertanya heran apakah kau sebetulnya tidak tahan pedas.

“Aku tahan pedas kok, cuma tak mengira sambal buatanmu bisa sepedas ini.” Lalu kukatakan bahwa lain kali aku akan mengurangi takaran cabe untuk menyesuaikan dengan seleramu. Kamu mengibaskan tangan dan berkata, “perempuan yang suka makan makanan pedas, mitosnya, hebat di ranjang. Merasakan sambalmu ini, aku yakin kamu memang lebih jago bergoyang.”

Aku mendelik, meraup sambal dengan telunjuk lantas menyapukannya ke bibirmu yang terbuka. Di luar perkiraanku, kau menangkap tanganku dan mengulum jariku. Cukup lama. Sampai aku menariknya, matamu tak melepaskan pandangan dari wajahku.

Aku menyuruhmu meneruskan makan, terlalu lama bermain sambal bisa membuat tangan panas seperti terbakar. Mukamu berangsur merah, kau beralasan bahwa kau kepedasan meski kutahu kau menyembunyikan gairah belaka.

Hampir pukul empat.
Wajahku terasa berat karena uap minyak dari penggorengan. Rasanya rambutku pun bau lemak. Setelah ini aku akan pergi mandi. Kubersihkan meja dapur dan mengoper peralatan ke tempat cuci piring. Kunyalakan keran air, menuang sabun pada spons pembersih dan mulai membereskan sisa-sisa memasak.

Di kencan kita yang ke sekian, kau tinggal lebih lama di dapur, ikut membereskan meja setelah makan. Aku bercanda dengan mengatakan bahwa kau hanya sedang kampanye agar aku mau menjadi istrimu. Permintaanku agar kau kembali lebih dulu ke ruang tamu malah kau tanggapi dengan menggapai pinggangku.

“Aku hanya ingin membuktikan apakah kau benar-benar sepedas sambalmu ketika di ranjang.” Kau lalu menggendongku ke ruang tamu, menjatuhkanku ke sofa dan menahan tanganku yang meronta-ronta dengan dua tanganmu. Aku tak serius melakukannya sebenarnya, aku hanya menikmati permainan kecil denganmu.

Kau mengulum bibirku dan memagut cuping hidungku yang bangir. Aku sedikit memekik ngeri membayangkan panas cabe di lidahmu berpindah ke sekujur tubuhku. Malam itu kita bercinta, panas dan membara. Sebuah keingina yang terpendam sejak lama.

Makan sambal sudah seperti ritual wajib sebelum kita bercinta. Apa saja kita sambal, kadang ayam goreng, kadang mujaer atau bandeng _tapi tak pernah lele, kita sama-sama tak suka lele_ kadang dari golongan seafood. Kalau keuanganmu sedang sekarat kita hanya memenyet telur rebus di atas sambal tomat. Kau selalu memaksa uang belanja makan berasal dari dompetmu, jadi lauk yang mengiringi sambal menyesuaikan dengan jauh dekatnya tanggal gajianmu.

Saat kita sedang bertengkar dan aku ingin berbaikan, aku akan pergi ke pasar dan mencari bahan utama menyambal. Mengulek sambal di cobek, mengolah menu pendamping lalu menatanya dengan cantik di meja makan. Aku kemudian akan mengambil gawai, menekan shutter kamera, menyunting sedikit ajakan berdamai dan mengirimnya ke nomor whatsappmu. Sebagai tanda gencatan senjata. Dapat kupastikan, kau akan segera datang dengan senyum terkembang dan gairah menantang.

Bercinta denganmu memang melambungkanku ke atas awan. Membuat gairahku menyala sepanjang malam. Membuatku tegang dan tenang di saat bersamaan. Membuat jantungku berdebar dan adrenalinku berkobar. Membuat mataku makin cerlang dan pipiku kembali merona segar. Membuatku menyadari bahwa hidup tak lagi membosankan. Membuatku lupa dengan sepi yang kerap merajam dada. Membuatku tak lagi kehausan.

Sudah cukup lama kita tidak menuntaskan gairah. Tidak, kita memang tidak sedang berselisih paham. Hanya saja aku cukup sibuk belakangan dan pabrikmu sedang banyak pesanan. Uang lemburan tentu saja bisa mempertebal dompetmu. Meski kau tahu tbal tipis dompetmu tidak mempengaruhi penilaianku padamu, kau ambil juga jatah melemburmu.

Sepuluh menit lagi sebelum kau tiba sesuai kesepakatan kita tadi siang. Aku membayangkanmu mendorong pintu pagar dan memarkir motor di samping mobilku. Kau lalu akan mengetuk pintu depan meski pintu tersebut kubiarkan terbuka. Kau selalu menanggalkan sepatu dengan cara yang malas dan setengah hati. Menginjak bagian belakang sepatu kanan dengan ujung sepatu kirimu lalu menarik kakimu keluar. Kau melakukan hal yang sama pada yang sebelah kiri. Setiap kali kukatakan bahwa dengan cara begitu, sepatumu akan lekas rusak, kau nyengir tak peduli. Khas pemuda tanggung kemarin sore.

Setelah itu kau akan melepas kaos kaki dan menjejalkannya ke dalam sepatumu. Kau lalu melangkah masuk sambil melepas jaket dan melemparkannya ke salah satu kursi tanpa lengan di ruang tamu. Kau akan berteriak, “Sayang, aku datang” sambil melongokkan kepalamu ke dapur. Dan aku akan mendorong tubuh bau debumu masuk ke kamar mandi sebelum kau berhasil mengecup keningku. Sudah hampir sebulan kita tidak bertemu, tapi aku masih hafal di luar kepala kebiasaanmu.

Lalu kita akan memulai prosesi ritual kita dengan tenang. Menikmati setiap suap dengan decapan-decapan, semacam kode bahwa kita akan saling mengecup, memagut dan bertukar ludah semalaman. Tenang saja, kekasih, aku menanak cukup banyak nasi. Saat tenaga habis di permainan pertama, masih ada cadangan penambah energi. Kalau lama tidak bersenggama biasanya memang akan mudah lelah.

Kulirik meja makan, seekor nila telah teronggok cantik di tengah merah kubangan tomat, bawang, cabe dan terasi. Masih ada beberapa iris tempe, tahu dan terong, lalu setangkup kemangi dan kembang kol. Semangkuk kerang saos inggris meruapkan harum ke penjuru ruangan sebagai maskot jamuan. Kukeluarkan potongan semangka dari kulkas, suhunya akan pas saat kita selesai bersantap nanti. Kata beberapa artikel terpercaya, terong, kemangi, kerang dan semangka adalah salah satu panganan afrodisiak.

Aku sedang mengikat rambut menyerupai ekor kuda _memamerkan tengkukku yang akan membuatmu menelan ludah_ ketika
suara pesan instan terdengar dari gawaiku. Mungkin kau mengirim permintaan maaf karena ada sedikit urusan yang menghambat. Kau biasanya memang kerap terlambat ketimbang datang tepat waktu. Tidak apa-apa, kau toh sudah cukup menungguku beberapa minggu belakangan.

Atau bisa jadi itu dari suamiku yang memberi kabar bahwa ia sudah mendarat selamat di tempat bertugasnya di tanah Papua.

Sudah aman untuk bercinta lagi denganmu, Kekasih. (*)

 

Fika Anggi, seorang perempuan yang sedang belajar menjadi manusia, ibu dan penulis yang baik.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply