Salvador dan Seorang Pelukis Muda
Seekor kucing kecil berwarna hitam, tengah asyik menikmati sepotong ayam goreng yang didapatnya entah dari mana. Tiba-tiba muncul seekor kucing belang bertubuh besar dari balik tembok sebelah. Kucing kecil yang sedang tenggelam dalam kelezatan mewah di mulutnya, tidak menyadari akan adanya ancaman.
Dan … kucing belang besar itu segera melompat dan menyergap. Hap! dalam satu terkaman ia berhasil memindahkan potongan ayam ke mulutnya. Si kucing hitam kecil terkejut, tidak menduga. Namun matanya segera menangkap, kucing besar yang baru saja merebut miliknya.
Ia menggeram marah. Didorong rasa laparnya yang belum tuntas ia menyerang dan menerkam lawannya. Tapi sialnya, cakar-cakar tajam si kucing kecil bahkan tidak mampu menyentuh tubuh si kucing besar. Ia tidak putus asa dan kembali mengulangi serangannya. Namun sayangnya setiap usaha yang ia lakukan tetap tidak mampu mengembalikan potongan ayam tersebut.
Dan si kucing belang berlalu begitu saja, seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Si kucing kecil menunduk lesu. Ia cuma bisa mengeong dengan suaranya yang lemah, seakan menyesali nasibnya yang buruk di siang ini.
**
Seorang lelaki muda yang berambut gondrong dan berbaju lusuh sedang menatap ke luar jendela. Pandangannya jauh mengembara. Diabaikannya segelas kopi yang sejak tadi dikerubungi lalat, dan sebatang rokok yang terbakar habis dengan bara yang masih menyala.
Lelaki muda itu adalah seorang pelukis. Ia sedang merenung, apa ada yang salah dengan guratan tangan dan sapuan-sapuan lembut kuasnya selama ini. Ruang pikirannya dipenuhi oleh beragam imajinasi, banyak pertanyaan, juga rekaman gambar-gambar dari beberapa pelukis ternama yang masih menempel kuat di benaknya.
Ia menyukai Dede Erry Supria, Sudjojono, Basoeki Abdullah, sama seperti ia mengagumi Monet atau Picasso atau Vincent van Gogh. Tapi ia tidak ingin nasibnya sama mengenaskan dengan nama terakhir, seorang lelaki penyendiri yang mengidap schizophrenia akut; yang menekan pelatuk revolver dan mengarahkannya pada dadanya sendiri. Vincent akhirnya terkenal, namun setelah mati!
Lelaki muda itu tenggelam dalam usahanya mencari gagasan-gagasan baru yang harus segera ia temukan jika ingin karya-karyanya berbeda. Ia tidak ingin usianya yang kini menginjak ke 30, terbuang sia-sia tanpa pernah melakukan sesuatu yang besar.
Pikirnya, gagasan-gagasan baru yang kelak ia temukan, mampu membuat karya-karyanya lebih dikenal oleh banyak orang.
Dan, suara keributan yang ditimbulkan dua ekor kucing itu segera menarik perhatian matanya. Pertarungan yang biasa ia lihat, tetapi kali ini menjadi sangat menarik, sebab kali ini ia jadi teringat, sebuah lukisan hebat tentang binatang yang pernah dibuat oleh Raden Saleh: The Struggle. Pelukis muda itu tertegun saat memandang gerak-gerik kucing kecil tadi ketika marah.
“Eureka,” katanya.
Lalu ia menolong kucing kecil itu dan membawanya ke dalam rumah. Sedikit sisa nasi bungkus bekas makan siangnya buru-buru ia berikan kepada sahabat barunya. Kucing kecil tersebut langsung menghabiskan, tanpa menoleh ke kanan-kiri.
Ia memperhatikan setiap detail ekspresi wajah dan tubuh si kucing saat bergerak, saat diam, atau saat sedang menatap wajahnya.
**
Lelaki muda itu lalu memberi nama Salvador kepada kucing kecil tadi. Salvador dan lelaki itu kemudian segera menjadi sahabat dan tinggal berdua dalam sepetak kamar kontrakan di tengah kota, yang harus dibayar 600 ribu setiap bulan, dengan pemandangan sungai yang airnya berwarna hitam dan berbau tidak sedap , sebab segala limbah dan aneka sampah yang dibuang sembarangan ke sana.
Tidak ada persahabatan yang pernah mengikat erat pada lelaki muda itu, kecuali kemiskinan dan kesepian. Dan sekarang ada Salvador yang menemani, meski Salvador kadang sering datang dan pergi sesuka hati.
Setiap pagi, lelaki muda ini memulai hari barunya dengan bangun kesiangan sebab ia mengidap insomnia akut. Lalu ia menghidupkan pelantang suara yang memutar album band kesukaannya sambil membuat segelas kopi. Sekarang ia punya kesibukan baru, menggambar Salvador.
**
Dalam sebuah lelang di satu galeri terkemuka di Jakarta, telah terjadi kehebohan. Sebuah lukisan yang menggambarkan seekor kucing saat sedang merenggangkan tubuhnya telah terjual dengan harga fantastis, 1,2 milyar.
Seorang wartawan kemudian datang dan ingin mewawancarai sang pelukisnya (meski sebenarnya ia hanya ingin memastikan seberapa mengesankan lukisan tersebut!)
“Kenapa Anda memilih kucing sebagai objek lukisan Anda?” tanya wartawan.
“Sebab persahabatan manusia dengan kucing adalah salah satu bentuk persahabatan paling lama yang pernah dikenal. Kucing juga dianggap hewan paling keramat, bahkan pernah dianggap sebagai dewa pada zaman Mesir kuno.
“Tapi jika anda heran mengapa lukisan tentang kucing ini begitu mahal tapi terjual, itu jelas saya tidak tahu. Saya cuma berusaha memahami kucing ….”
–0—
Bekasi, 10 November 2020. KarnaJaya Tarigan, seorang penulis pemula.