Salah Siapa?
Oleh: Ning Kurniati
Tak ubahnya seperti yang lain, Ali juga mengharapkan kehidupan yang berkecukupan. Paling tidak istri dan anak-anaknya akan tersenyum ketika melihatnya kembali ke rumah. Tidak lagi menampilkan mimik muka sabar atau mungkin lebih pada kepasrahan, dengan helaan napas yang begitu jelas dari beberapa depa jarak mereka.
“Memangnya ikan-ikan itu punya masa berhenti beranak. Kenapa ikan-ikan yang kamu dapatkan semakin hari semakin tidak ada saja?”
“Yang sabar! Apa kamu lupa bahwa Tuhan itu Maha Adil dan Pemberi Rezeki.”
“Bukannya begitu. Jangan beralibi dengan kuasa Tuhan! Kamu tahu itu, rezeki tidak datang dengan sendirinya. Rezeki itu bukanlah suster ngesot yang datang merayap dengan sendirinya.”
“Aih! Aih! Jaga bicaramu itu! Kenapa kamu hubungkan kehidupan kita dengan film hantu. Bersyukur, aku masih pulang dengan membawa ikan. Sedikit begitu, tetap juga namanya rezeki. Eh, suster itu ngesot bukannya merayap, makanya namanya suster ngesot.”
“Hmmm! Memang apa sih, bedanya ngesot dengan merayap, sama-sama tidak berjalan menggunakan kaki juga.” Istrinya berlalu ke dalam rumah dengan kaki yang sengaja dihentak-hentakkan.
Seperti sore-sore yang lalu, selepas pulang dari sungai lelaki dengan kulit yang mulai mengeriput itu akan duduk di balai-balai depan rumahnya. Dia akan berada di sana memperhatikan orang-orang desa yang berlalu-lalang mengurusi hidup. Sedikit-banyak senyuman akan terulas di wajahnya yang kadang juga diiringi dengan tawa yang hambar bila saling bersapaan.
Dari sana pulalah dia akan tersadar betapa kehidupannya tidak berubah sejak dahulu. Ali yang dulu masih Ali yang sekarang, masih kerempeng dengan kehidupan yang begitu-begitu saja. Masih menempati rumah dengan bentuk yang masih sama dengan tujuh belas tahun lalu dan pakaian yang sama sekali tidak mengikuti mode sekarang. Bila tidak buru-buru satu dua orang temannya akan singgah, duduk sebentar, menanyakan kabar dan memberikan sedikit bantuan dengan memberi uang merah untuk jajan pada anaknya yang bungsu. Keduanya sama-sama tahu, bahwa uang sebesar seratus ribu bukanlah jumlah yang biasa digunakan sebagai uang jajan bagi anak-anak Ali. Hanya saja, sesama lelaki temannya mengerti itu adalah cara terhalus. Jumlah itu adalah jumlah uang yang biasa dibawa para istri ke pasar, demi memenuhi kebutuhan bahan pokok mereka selama beberapa hari ke depan.
Terkadang Ali terheran-heran dengan kehidupannya, desanya, alam terlebih sungai yang warnanya semakin hari semakin berubah menjadi buruk. Setiap hari jumlah plastik di sungai terus saja bertambah dengan pelbagai jenis. Dia tidak habis pikir betapa orang-orang sekarang sudah tidak lagi disebut makhluk berakal. Mereka tak ubahnya dengan para binatang, membuang kotoran pada sembarang tempat. Yah, memang bukan kotoran dalam artian yang sebenarnya. Ah, sudahlah! Toh, apa gunanya dia berpikir seperti itu, tak akan mengubah apa pun pada kehidupannya. Dirinya tetaplah orang miskin dengan profesi yang entahlah. Kadang-kadang dia akan ke sungai demi memenuhi kebutuhan protein hewani keluarganya. Kadang juga dia mengurus kebunnya dengan tumbuhan yang sengaja ditanam berimpit-impitan. Tidak lain, demi bisa memakan apa yang dimakan oleh tetangganya yang tentu hasilnya tidak akan pernah maksimal, karena bagaimanapun tumbuhan tidak akan pernah tumbuh subur bila ditanam dengan tumbuhan lain dalam satu area. Pada beberapa waktu terkadang dia juga akan ikut dengan tetangganya menjadi buruh bangunan. Begitulah pekerjaannya yang tidak menentu. Apa saja, yang penting halal.
“Yah kamu itu mandilah cepat-cepat, dan pergi ke masjid untuk salat. Sudah miskin, malas pula ibadah!”
Sungguh sebuah nasihat yang begitu mulia untuk segera beribadah. Sayang, cara menyampaikannya sedikit meyinggung dirinya sebagai seorang laki-laki sekaligus kepala keluarga. Memangnya orang miskin lebih harus beribadah dibanding dengan yang kaya. Toh, semua manusia sama di hadapan Tuhan. Alih-alih memilih menggubris, dia menuju ke kamar mandi dengan handuk yang diambil sendiri dari jemuran di samping rumah.
“Sampo sekarang semakin encer, ya?”
Mendengar sang suami bersuara dengan ungkapan protes, perempuan dengan rambut yang diikat asal-asalan itu tidak mengucap sepatah kata pun. Tangannya lincah memotong ikan-ikan menjadi banyak bagian kecil dan memasukannya ke dalam panci untuk dimasak. Cara itu tak lain agar semua anggota keluarga tercukupi, walau sedikit tidak apa yang penting merata.
“Aku ke masjid dulu,” ucap Ali berdiri di ambang pintu dalam balutan baju koko.
“Iyaaa.”
“Anak-anak ke mana?”
“Belum pulang! Mereka tadi izin ke masjid untuk mengaji. Palingan mereka masih di sana lagi nunggu waktu salat.”
***
“Apa kamu itu tidak berpikir untuk cari pekerjaan lain? Pergi ke kota lain seperti orang-orang, misal ke Kalimantan atau negara tetangga kita sekalian,” ucap sang istri ketika mereka sudah di pembaringan.
“Siapa yang menjamin kalau aku ke luar dari desa ini, kehidupan kita akan menjadi baik?”
“Ini nih penyakitmu! Belum melakukan apa-apa, takut duluan. Yah, dicoba dulu!”
“Apa kamu menyesal menikah denganku?”
“Lah, kenapa bilang begitu? Aku bicara tentang timur kamu bicara tentang barat.”
Keduanya terdiam, helaan napas bergantian terdengar. Pernikahan yang bertahun-tahun dijalani memberikan pengetahuan kalau nada suara pasangan sudah berubah, tak usah lagi dilanjutkan. Sedikit pun titik temu tidak akan ada. Sehingga, keduanya memilih berbaring dengan saling memunggungi. Tanpa diharapkan pikiran melayang jauh ke hari-hari awal pernikahan. Senyum semringah, perkataan yang lembut, usapan tangan pada kepala dan pelukan-pelukan sebelum tidur. Sungguh, sebuah suasana yang hangat.
“Sama sekali aku tidak pernah menyesal menikah denganmu.”
“Aku tahu.”
“Kalau kamu tahu. Kenapa tadi bertanya seperti itu?”
“….”
“Seharusnya kita tidak usah punya banyak anak. Dua orang seperti kata pemerintah, cukup.”
“Apa kamu menyesal melahirkan mereka?”
“Kamu itu kenapa? Sedikit-sedikit menyesal, menyesal dan menyesal. Apa tidak ada kata lain yang kamu punya?”
“….”
***
Ali ke luar dari kamarnya dengan pakaian yang siap untuk ke kebun. Anak-anaknya juga begitu, sudah lengkap dengan pakaian sekolah mereka. Mereka sibuk ke luar-masuk kamar mencari barang mereka, hanya untuk memastikan bahwa pakaiannya tidak ada kerutan sama sekali. Dua orang yang masih duduk di sekolah menengah pertama sibuk mencari kaos kaki dan memastikan bahwa yang dipakainya bukalah punya saudaranya, sedangkan si bungsu lebih sibuk mengecek semua perlengkapan mulai dari pulpen, pensil, penggaris, penghapus dan segala perintilan lainnya yang sama sekali belum tentu diperlukan. Sudah berulang kali keempat kakaknya mengingatkan bahwa semua itu tidaklah penting dan belum digunakan karena ini masih hari pertama sekolah.
“Kenapa Kakak selalu menyamakan? Para guruku itu belum tentu seperti guru kalian dulu. Masa masih sama dengan dulu? Ya, nggaklah.”
Ali yang duduk di meja ruang tamu dengan segelas kopi hitam yang masih mengepul asapnya, tiba-tiba tersentak dan menoleh ke dalam ruang tengah. Senyum simpul merekah di wajahnya. Seolah membenarkan ucapan si bungsu, sesuatu itu tidak bisa disamakan begitu saja. Seperti hubungannya dengan sang istri yang tidak semesra dulu lagi. Entah siapa yang berubah, diakah atau istrinya atau keadaan mereka yang memang tidak lagi mendukung untuk bemesraan karena peliknya kehidupan. Atau memang karena alam yang berubah tidak sehijau dulu lagi dan tentu saja memengaruhi penghasilan para kepala keluarga. Kemudian hujan yang tidak bisa lagi diprediksi kapan datangnya sehingga membuat air sungai meluap, banjir. Tidak, dia menggeleng, alam tidak bisa disalahkan dirinyalah yang salah. Kata orang “kerja, kerja dan kerja”, dia sudah melakukan hal itu sedari dulu, tetapi hasilnya masih begitu-begitu saja. Justru bukannya kehidupan semakin membaik malah semakin susah, memburuk.
Di beberapa waktu dia menyesal, tidak mendengarkan istrinya untuk memiliki anak dua orang saja, tidak perlu ditambah-tambah. Sekarang malah ada lima orang dengan jarak umur yang dekat, mana kebutuhan mereka yang macam-macam padahal yang paling tua baru kelas satu sekolah menengah atas. Entah ke depannya akan seperti apa kehidupan mereka. Tidak mungkin juga dia menyalahkan Tuhannya, atau siapa pun itu, tidak juga dirinya. Tidak semua hal mesti ada yang salah. Dasar pola pikirnya saja yang selalu mencari letak kesalahan.
“Yah, rezeki itu dijemput! Sekarang usia tidak muda lagi untuk apa banyak mengkhayal di pagi hari? Tuh burung saja sudah berkicau dari tadi,” sindir sang istri dari dapur.
“Burungnya lapar kali, jadi berkicau terus.”
***
Bergegas Ali ke luar dari rumah, mengambil sabit dan parang yang disarungkan kemudian diikatnya pada pinggang. Dia berencana untuk membersihkan kebunnya dari tumbuhan gulma. Paling tidak itu akan memengaruhi hasil yang diperoleh, mungkin. Kendati demikian, dia tetap menaruh harapan yang terbaik. Sang Pencipta sesuai dengan prasangka hambanya.
Baru saja puluhan meter menjauh dari rumahnya dia malah bertemu dengan seorang perempuan berpakaian dinas berwarna kuning emas. Pakaian yang banyak dielu-elukan oleh sebagian orang di desa. Dahulu, perempuan itu adalah kekasihnya. Kekasih yang ditinggalkan karena memilih perempuan yang sekarang menjadi istrinya.
Dia, mantan kekasihnya itu terus berjalan tanpa menoleh barang sedikit pun. Entah karena dirinya yang dalam keadaan buruk, pikiran yang tidak semestinya ada justru terbayang. Andai saja, andai saja dirinya bersabar sedikit dan berusaha lebih untuk mendapatkan hati calon mertuanya, mungkin kehidupannya tidak akan sesulit ini. Dia akan menjadi suami dari seorang yang tiap bulan sudah pasti menerima uang sebagai balasan jasa. Anak-anaknya pun pasti akan bangga karena memiliki Ibu di rumah sekaligus di sekolah. Aih, andai saja! Duh, duh, apa gunanya berandai, semua sudah terjadi. Tidakkah meyakini bahwa segala yang diberikan oleh Sang Pencipta adalah yang terbaik untuk diri masing-masing. Jadi, masihkah ada salah siapa?
Bulukumba, 18 Juli 2019
Ning Kurniati, perempuan dengan mimpi yang terus bertambah-tambah. Dapat dihubungi melalui link berikut http.bit.ly/AkunNing
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata