Salah Paham
Oleh: Santi Astuti
Huuf … hari ini sangat melelahkan bagiku. Bagaimana tidak, sehabis belajar dengan Bu Wahyuningsih selaku guru Bahasa Indonesia yang menunjukku sebagai peserta lomba puisi tahun ini, setiap jam istirahat yang aku lakukan hanya belajar mengejar materi untuk bisa ikut serta di lomba tersebut.
Dan hari ini sungguh melelahkan, bahkan sangat melelahkan. Sehabis belajar dengan Bu Yuni aku kembali ke kelas dan ternyata kelas sedang jamkos, alias jam kosong, karena Bu Alvia selaku guru IPA tidak bisa masuk lantaran sakit, begitu sih katanya.
Alhasil kelas menjadi heboh seperti ada konser. Seperti biasa teman-teman pasti ada yang gibah alias ngegosip, ada yang nyanyi-nyanyi kek kaleng rombeng, dan ada yang tidur layaknya di hotel bintang lima. Sedangkan aku ya daripada ribut gak jelas lebih baik aku mengulang pelajaran dari Bu Yuni mengenai kata prosa dalam pemilihan membuat puisi, sambil mendengarkan musik dari handphone menggunakan earphone.
Suara gaduh yang dibuat oleh teman sekelas mengundang decak kagum dari BaPak Suratno—kepala sekolah—karena suara yang ditimbulkan sampai terdengar ke kantor.
Aku yang tak menyadari kehadiran BaPak Suratno hanya merasa ada yang berbeda, kenapa semuanya pada diam. Ketika aku melihat ke arah teman sebangkuku, dia hanya menunjukkan arah melalui mulutnya dan alhasil aku kaget dibuatnya, mataku hampir keluar. Aku segera melepas earphone dari telingaku dan merapikan posisiku.
“Siapa yang teriak tadi?” bentak beliau
Semua diam karena takut pasti nanti bakalan kena hukuman.
“Saya tanya sekali lagi, siapa yang teriak tadi? Kalian kira ini sekolahan hutan apa? Teriak seperti tadi persis kayak yang ada di uang lima ratusan zaman dulu yang suka gelantungan di kayu!” seru beliau, dan kami semua malah tertawa karena kami paham yang dimaksud adalah monyet.
“Siapa yang suruh ketawa? Tadi ditanya gak ada yang jawab sekarang malahan ketawa. Kalian menghargai saya tidak berdiri di depan kalian sekarang ini?!” seru Pak Suratno panjang kali lebar.
“Iya, Pak, maaf!” seru kami bersama.
Lalu tiba-tiba Pak Suratno berjalan ke arahku dengar tatapan horornya, membuatku ingin tenggelam saja.
“Santi, kamu tahu siapa yang teriak tadi?” tanyanya membuat tenggorokanku seakan kaku bergetar dan lidahku kelu untuk bicara, karena jujur aku tak tahu siapa yang membuat gaduh tadi. Kalau kujawab jujur pasti dia tak percaya, tapi kalau aku jawab gak tahu nanti malah jadi panjang masalahnya. Aduuuh pusing aku, akhirnya aku menengok ke belakang ke arah para teman cowokku. Aku memberi kode dengan kedipan mata seakan bertanya siapa?
Lalu Andre menunjuk Roni di depannya dan aku dengan penuh keyakinan menjawab pertanyaan Pak Suratno.
“Roni, Pak!” seruku lantang, tanpa aku sadari banyak yang kaget dengan jawabanku barusan.
“Oh, ternyata kamu Roni yang membuat gaduh teriak-teriak tidak jelas. Sekarang kamu keluar lalu pergi ke lapangan, dan kamu teriak seperti barusan agar jiwa dan pikiran kamu tenang.”
Dan Roni yang merasa namanya disebut pun hanya bisa pasrah. Akhirnya dia pergi menuju lapangan diiringi dengan Pak Suratno yang mengantarkannya.
Lalu aku langsung diserbu oleh teman sekelas, mereka menyalahkanku karena ternyata bukan Roni yang melakukannya, tetapi Anjas. Dan aku yang mendengarkannya hanya bisa cengar-cengir, tapi aku tak diam saja karena ini juga bukan sepenuhnya salahku. Mereka juga mengapa tadi tak ada yang mau menjawab. Alhasil karena kesalahpahaman ini Roni yang kena hukuman, aku yang kena ocehan teman-teman dan anjas malah nyengir tak berdosa.
Santi Astuti, lahir di Karya Sakti, Lampung Utara Lampung. FB: Santi Kuningan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata