Salah
Oleh: Ayu Candra Giniarti
Kau pasti tahu rasanya kecewa.
Mencari jalan untuk menemukan rasa percaya seperti mencari jarum dalam jerami.
Aku tak tahu betapa rasa itu mudah berubah.
Mengalun indah mengikuti nada-nada kekesalan pada kesalahan.
Aku tak tahu betapa rasa itu terus menggelayut manja dalam dadaku.
Merusak otakku!
Hanya ada kamu, kamu dan kamu!
Selalu begitu.
***
[Sudut Pandang Rere]
Sore itu aku duduk di bawah payung besar. Untung saja aku mampir ke kedai makanan di pinggir jalanan, depan Pasar Beteng. Galabo itu buka ketika malam, maka sore ini masih banyak yang menyiapkan kedainya.
Oh iya, aku Rere, usiaku dua puluh lima tahun. Kala itu aku duduk mengamati titik-titik hujan yang mengguyur kota Solo. Rambutku yang tergulung rapi, membuat angin bebas menjelajahi leherku. Berkali-kali aku mengusapkan telapak tangan kananku ke arah belakang telinga. Bulu kudukku berdiri ketika sosok laki-laki tampan, berambut pirang dengan badan yang tegap berisi itu tiba-tiba berdiri di hadapanku.
“Ngapain tiba-tiba muncul gitu, sih! Tak kira setan!” ucapku kesal.
Dilon hanya diam lalu tersenyum, tak seperti biasanya.
“Kenapa orang ini? Masih bisa senyum-senyum gitu!” aku menggerutu kesal, sambil memalingkan wajah.
“Kamu ngapain masih di sini? Ngikutin aku? Denger ya, yang kamu lakuin ke aku itu jahat! Aku nggak akan pernah maafin kamu, Dilon!” Aku menatap wajahnya. Suaraku meninggi mengikuti derasnya hujan.
Dilon hanya diam. Menyesalkah? Aku jelas sekali melihatnya bersama perempuan di kafe depan kampus.
Saat itu aku berniat menghampiri adikku, Anne. Aku melintasi jalan depan kampus, sosok lelaki tak asing itu sedang duduk berdampingan dengan perempuan cantik berambut ikal. Dress tak berlengan membuat perempuan itu terlihat semakin memesona. Lengan putihnya melingkar di tangan kekar Dilon.
Mataku membulat. Gigiku beradu menahan marah. Aku rasa Dilon menyadari bahwa aku melihatnya. Dengan cepat ia melepaskan pelukan manja itu dan berlari mengejarku. Aku tak berhenti, aku memilih menambah kecepatan motorku. Tanpa kusadari, aku kini berada di tengah-tengah puluhan mahasiswa yang baru saja keluar dari kampus secara bersamaan.
“Kamu kenapa cuma senyum-senyum aja! Pergi kamu dari sini!” suaraku semakin meninggi diakhiri dengan tangisan yang pecah.
Aku menutup wajah dengan kedua telapak tanganku, setengah menunduk menahan tubuhku yang hampir jatuh terhuyung.
“Mbak! Mbak nggak kenapa-kenapa, to? Mbaknya sakit?” tanya seorang perempuan.
Aku menyadari, aku menangis terlalu kencang. Mataku menjelajah di setiap tempat, tetapi tak menemukan sosok Dilon.
“Mbak, Mbak liat laki-laki yang berambut pirang nggak?” tanyaku, dengan mata masih memburu sosok Dilon di setiap sudut.
“Nggak, Mbak,” perempuan itu menggelengkan kepalanya.
“Yang tadi di sini sama saya. Laki-laki rambutnya pirang, badannya agak berisi, tinggi tegap,” jelasku.
Perempuan itu tetap menggelengkan kepala.
Hujan tak lagi deras. Rintiknya semakin tak terdengar, tersapu angin. Awan di kota Solo kini berwarna abu-abu dengan semburat jingga di sisi lawannya. Rasanya begitu adil, ketika ada yang merasakan perih ada juga yang sedang jemawa memenangkan hati lelakinya.
Aku memutuskan untuk pulang ke indekos, di daerah Manahan. Sepanjang jalan, aku membendung air mata yang lagi-lagi membludak. Mataku menjadi sembap, hidungku pun memerah. Sesekali aku mengusap air mata itu dengan tangan kiriku.
***
[Sudut pandang Dilon]
“Rere! Tunggu, aku bisa jelaskan semuanya!” Aku melepaskan pelukan manja Sania.
“Ah, sial! Ke mana perginya?” Mataku mencari sosok Rere di tengah-tengah mahasiswa yang berhamburan keluar dari universitas di depan kafe itu.
“Dilon! Kamu mau ke mana?” teriak Sania.
Aku tak memedulikannya. Ini semua salah Sania. Sudah kubilang aku tak mau lagi dengannya, masih saja mengejarku. Ah, Mama juga! Sama saja. Aku heran apa yang mereka pikirkan.
Aku melaju kencang bersama motor besarku. Aku ke indekos Anne, adik Rere kekasihku. Namun, ia baru saja pulang katanya. Aku yakin Rere tidak pulang. Mungkin ia hanya ingin menutupi kesedihannya di depan adiknya itu dan pergi entah ke mana.
Aku segera mengejarnya, pasti belum jauh. Aku menambah kecepatan, dan sialnya ada mobil berhenti mendadak tepat di depanku. Aku berusaha menghindarinya dengan membelokkan setir ke kanan.
Bug!
BRAAAK!
Aku jatuh bersama motorku. Kepalaku rasanya berat, entah apa yang terjadi. Semuanya mendadak gelap dan aku tak ingat lagi. Dalam pikiranku, aku hanya ingin menjelaskan pada Rere. Aku ingin minta maaf kepadanya jika aku membuatnya sedih dan menangis.
***
[Sudut Pandang Rere]
Mama dan papa Dilon datang, mereka berjalan setengah berlari. Bahkan tak menyadari keberadaanku di kursi tunggu pasien di depan ruang ICU.
Aku tak ingin mengulur waktu mereka untuk bertemu anak semata wayangnya. Menatapnya pilu, tak mampu berbuat apa-apa. Air mataku kembali menganak sungai di pipiku.
Aku bisa apa? Seharusnya aku yang berada di tengah mereka dan menggenggam tangan Dilon. Seharusnya aku yang menjelaskan tentang bagaimana kondisi Dilon saat ini. Namun nyatanya, aku bahkan tak mempunyai kesempatan untuk menangisi kesalahanku.
Beberapa menit kemudian, tangisan itu pecah! Aku menoleh ke ruang itu dan berlari. Aku kenal suara tangis itu, mama Dilon. Aku berusaha masuk dan dua orang petugas melarangku. Salahku, aku tak mengenakan pakaian yang disediakan untuk membesuk pasien di ruang ICU.
Hatiku sakit, aku tak bisa lagi menahan diri. Aku tak bisa lagi menahan segala rasa yang berkecamuk dalam otakku, dadaku, hatiku! Hah! Aku ingin mengumpat diriku sendiri.
Aku jatuh tersungkur dengan air mata yang tak mampu berhenti menghujani wajahku. Anne dan Sakti segera membantuku untuk bangkit. Aku pasrah. Aku sudah cukup lelah.
***
[Sudut Pandang Dilon]
Aku melihat cahaya putih, begitu menyilaukan mata. Ada seseorang datang mengulurkan tangannya kepadaku. Aku meraih tangan itu dan berjalan mengikutinya. Dalam perjalanan itu aku berhenti, lalu ia menoleh padaku dan menganggukkan kepala sembari tersenyum.
Aku melangkah ke tempat yang berbeda dari ia berdiri. Aku melihat sosok Rere, ia marah, ia menangis. Aku ingin menggapainya, tetapi tak bisa. Sosok itu kembali menoleh padaku, aku menganggukkan kepala untuk segera mengikutinya kembali. Sebelum itu, aku tersenyum kepada Rere. Mungkin itu senyum terbaikku untuknya, dan untuk yang terakhir kalinya.
***
[Sudut Pandang Rere]
Satu tahun sudah berlalu, makam Dilon sudah kering, tapi aku masih selalu menyempatkan diri untuk memberinya seteguk air dan menghiasinya dengan wangi bunga.
“Kamu segitu cintanya ya, Re, sama Dilon,” ucap Metta, sahabat baruku di kantor.
Aku tersenyum, pandanganku menerawang jauh ke masa lalu. Aku menceritakan pada Metta, bagaimana rasa itu masih berkecamuk di dalam dada. Rasa yang entah aku menyebutnya apa, cinta mati atau belum bisa melupakan kekesalan pada tindakan diriku sendiri.
“Waktu itu …,” aku mulai bercerita pada Metta.
Aku melihat dari kaca, perempuan berambut ikal itu duduk di samping Dilon yang tengah berbaring tak berdaya. Aku mengurungkan niatku untuk masuk menemui Dilon. Aku kembali menangis, hatiku terluka.
“Mbak nggak tahu, De. Mbak harus berbuat apa? Di dalam sudah ada perempuan itu,” suaraku bergetar.
Anne membelai lembut pundakku. Ia meraih tangan kananku untuk mengikutinya duduk di kursi tunggu pasien di depan ruang ICU.
“Minum dulu, Mbak,” Anne menyodorkan botol minuman yang ia bawa.
Aku meneguknya. Kerongkonganku sudah tak kering lagi. Menangis membuatku merasa haus seiring amarah yang terus menguras emosi, sedih yang sulit terobati.
“Waktu Mbak Rere memergoki mereka, Mas Dilon ke indekosku, Mbak. Pas banget Mbak Rere sudah pulang. Mungkin Mas Dilon ngebut, Mbak. Dia buru-buru ingin menjelaskan sesuatu sama Mbak. Tapi, baru beberapa menit Anne duduk di dalam kamar, Mas Sakti datang.“ Anne menceritakan bagaimana ia mendapat kabar kecelakaan yang menimpa Dilon.
Aku masih terdiam, menunggu Anne meneruskan ceritanya.
“Kata Mas Sakti, orang-orang yang melihat kecelakaan itu bilang, Mas Dilon ngebut lalu menghindari mobil yang tiba-tiba ngerem mendadak di depannya, Mbak. Dia banting setir ke kanan, ternyata dari arah berlawanan ada truk yang melaju kencang,” Anne menceritakan sembari menahan ngilu membayangkan yang terjadi.
“Dilon …,” ucapku lirih. Air mataku menggenang di pelupuk mata. Bibirku mengatup rapat, menahan tangis yang membludak bersama rasa bersalah yang meraja dalam hati.
“Terus, kamu tahu nggak perempuan tadi itu siapa?” tanyaku tak sanggup menahan rasa ingin tahu.
“Hm …. Perempuan itu, mantannya. Dia datang atas permintaan ibunya Dilon. Tadi aku sempat ngobrol, Mbak. Katanya dia cinta mati sama Mas Dilon. Dia bilang, ibu Mas Dilon juga setuju kalau Mas Dilon balikan lagi sama dia. Tapi yang aku dengar dari cerita Mas Sakti, Mas Dilon itu beneran sudah nggak mau lagi sama mantannya itu. Tapi ibunya selalu minta Mas Dilon balikan lagi, karena dia itu anak sahabat ibunya Mas Dilon, Mbak,” terang Anne.
Aku menutup wajahku, memijit-mijit keningku yang terasa begitu sakit. Aku tahu bahwa takdir sudah membawanya pergi. Dan aku harus menerima dengan ikhlas. Meskipun rasa bersalah itu masih sulit aku hilangkan.
Ayu Candra Giniarti adalah nama yang diberikan oleh orangtuaku saat aku lahir, pada tanggal 28 Maret 1987 di sebuah kota kecil, Pemalang. Kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah ini yang menjadi saksi kehidupanku hingga sekarang aku menjadi istri dari seorang suami yang hebat, dan kini aku menjadi seorang ibu beranak dua. Aku bekerja sebagai apoteker di klinik swasta. Hobi menulisku mengantarkanku pada dunia literasi yang menumbuhkan beberapa cerita baru dalam buku yang kuterbitkan.
FB: Ayu Candra Giniarti
IG: @marthalena_boutique
Blog: catatanbubuayucandra.blogspot.co.id
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata