Saingan Bisnis

Saingan Bisnis

Saingan Bisnis

By: Reza Agustin

Cerita ini diawali dengan membosankan. Dimulai dengan kafe di seberang jalan yang mengubah tanda ‘close’ menjadi ‘open’. Lalu dua orang pelayan perempuan berseragam garis biru-putih membuka pintu dengan ekspresi wajah ogah-ogahan. Mereka mungkin tak menyukai pekerjaan sebagai pramuniaga ini, tetapi memaksakan diri bertahan demi amplop gaji yang tipis.

Mengusung nama bunga Magnolia, kafe tersebut menjadi magnet bagi para pengunjung sejak pembukaan resminya enam bulan lalu. Memiliki dua lantai yang dicat dengan warna dominan krem dan beberapa sentuhan warna biru di bagian kusen pintu maupun jendela, penampakan bagian luar kafe telah menarik banyak orang datang.

Masuk ke dalamnya, orang-orang akan dimanjakan dengan warna-warni manis pastel yang lembut pada meja, kursi, konter etalase, dan ornamen-ornamennya yang lucu. Sebenarnya, Magnolia memasang langsung targetnya pada anak-anak ataupun remaja perempuan. Namun, siapa menduga jika pengunjung kafe tersebut kini berasal dari beragam kalangan. Mulai dari anak-anak sendiri didampingi keluarga masing-masing, remaja-remaja putri beserta pasangan mereka, bahkan termasuk para bujangan tua yang mencoba pendekatan dengan para pelayannya yang jelita.

Magnolia tak hanya menjadi tempat makan, tetapi juga lokasi beberapa pemotretan. Tak jarang para selebritas media sosial menjadikan bagian luar kafe ataupun bagian dalamnya sebagai latar foto. Pihak Magnolia sendiri pun menyiapkan tempat khusus para pengunjung berfoto. Tak jarang stasiun televisi datang meliput. Ada juga beberapa aktris dan aktor ternama yang datang sendiri untuk berkunjung. Itulah yang menjadikan kafe tersebut begitu populer, sehingga menggempur usaha kuliner lain yang nyaris serupa.

Seorang lelaki dan perempuan makan es krim strawberry berdua. Mereka duduk menatap jalanan yang sibuk. “Aku tak bisa begini, terus,” ujar si lelaki, mengeluh.

Wajar saja ia mengeluh. Kedai es krim, jus, dan es buah yang dikelola bersama istrinya menjadi makin sepi belakangan ini setelah Magnolia resmi dibuka. Kedai mereka tak begitu jauh dari kafe yang tengah kondang itu, kurang dari lima puluh meter.

“Ya, mau gimana lagi, Mas. Orang-orang sekarang lebih pilih main ke kafe hits itu daripada kedai kita yang membosankan ini,” balas istrinya pasrah.

Karena pendapatan mereka yang menurun itu, dengan terpaksa stok es krim digunakan untuk mengganjal perut. Untuk balik modal saja rasanya sudah susah bukan main, apalagi untuk membeli beras. Setelah Magnolia ada, mereka menggantungkan pesanan dari aplikasi ojek daring. Namun, lagi-lagi Magnolia mencuri pelanggan mereka dari pesanan daring itu pula. Jika keadaan terus berlanjut, tak menutup kemungkinan jika nantinya mereka akan gulung tikar.

Di tengah kegundahan mereka, seorang perempuan muda berseragam Magnolia, datang ke kedai mereka dengan napas yang memburu.

“Anu, Mas, Mbak, maaf. Bisa pinjam kamar mandinya sebentar?” ujar perempuan tersebut sembari membekap plastik dalam pelukannya erat-erat.

“Iya, boleh. Langsung masuk aja ke dalam, Mbak. Kamar mandinya yang pintu warna biru,” sang istri menunjuk bagian dalam kedai yang memang tidak begitu luas.

Perempuan muda itu mengucapkan terima kasih, lantas memasuki bagian dalam kedai terburu-buru. Seramai itukah Magnolia, sehingga orang-orang tak mendapat jatah kamar mandi? Sekiranya itulah yang dipikirkan pasangan suami istri muda itu.

Tak berselang lama, perempuan muda itu keluar mengenakan pakaian yang berbeda. Seragamnya telah dilucuti dan digantikan dengan pakaian lusuh biasa. Plastik hitam yang kemungkinan berisi seragam lamanya justru dibuang ke saluran pembuangan di depan kedai.

“Lho, Mbak, itu kenapa plastiknya dibuang? Isinya apa?” tanya istri pemilik kedai.

Sambil berurai air mata, perempuan muda itu lantas menjawab, “Saya enggak bakal balik ke sana lagi, Mbak. Saya enggak sudi dijadikan pelacur. Ini mungkin kali terakhir saya di sini sebelum pulang kampung. Mungkin, enggak lama lagi, bakal banyak perempuan seperti saya yang melakukan hal sama. Terima kasih, Mas, Mbak. Saya pamit dulu.”

Perkataan perempuan muda itu ada benarnya. Hanya berselang beberapa hari, perempuan lain yang merupakan pramuniaga Magnolia datang lagi. Lalu beberapa hari lagi datang pramuniaga lain. Mereka memiliki masalah yang sama, yaitu berhenti bekerja dari kafe populer tersebut. Kali ini seorang perempuan yang usianya telah berada di penghujung angka dua.

“Saya kasir di sana, gajinya lumayan, sih. Lebih besar daripada pelayannya. Tapi saya enggak betah lagi. Di sana, banyak pelayannya yang dijual buat prostitusi ke artis atau orang-orang penting. Saya juga hampir terjerumus ke sana,” jelas perempuan muda itu sembari memesan jus alpukat cokelat dan beberapa potongan buah apel.

“Tapi, bukannya tempat itu sekarang terkenal banget, ya?” sang suami pemilik kedai bertanya.

Perempuan muda itu mengangguk mengiakan. “Awalnya emang masih bener, dua atau tiga bulan pertama pas dibuka. Tapi semakin banyak artis sama selebgram yang datang, fungsi kafe itu jadi berubah.”

“Ah, pantes beberapa hari belakangan ini banyak perempuan kabur dari sana,” imbuh sang istri.

“Mereka kasihan, Mbak. Anak-anak dari kampung yang putus sekolah, ditawari kerja jadi pelayan. Eh, malah dijerumuskan ke prostitusi. Mereka terlalu polos, makanya sampai dibodohi gitu.”

Tak seperti pelayan-pelayan sebelumnya yang kabur, perempuan ini lebih pintar. Juga lebih berduit. Ia meninggalkan beberapa lembar sepuluh ribuan di meja sebelum pamit pergi, “Jangan kaget kalau misalnya beberapa hari nanti bakal ada kunjungan polisi ke sini.” 

Benar katanya, dua hari kemudian polisi berdatangan menggerebek kafe dua lantai tersebut. Media massa mulai memberitakan tentang Magnolia yang menjadi tempat prostitusi para remaja belia. Sebuah skandal yang cukup berat untuk menutup kafe tersebut.

***

Semenjak Magnolia ditutup, kedai pasangan suami istri muda itu menjadi lumayan ramai lagi. Berkat sebuah pusat kebugaran olahraga yang dibangun di bekas gedung Magnolia, yang seluruh anggotanya laki-laki. Namun, pasangan suami istri muda itu memilih pindah lokasi daripada meneruskan usaha mereka di tempat lama yang kian ramai.

“Kita pindah aja, ya. Kayaknya tanah di sekitar sini emang dibangun buat hal-hal yang enggak bener,” ujar sang suami mengiringi kepindahan mereka.

TAMAT

Reza Agustin, lahir di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Orang yang mood-mood-an

Leave a Reply