Sahur Kesiangan
Oleh : Melati ER
“Ha … sudah pukul 04.20. Pada ke mana sih sampai enggak ada yang bangunin?” gerutuku sembari keluar kamar dan lari ke dapur. Namun, meja makan pun kosong tidak ada makanan, bahkan kompor gas pun mati karena gasnya habis.
“Duuuh, kenapa aku lupa, semua orang di rumah, kan, lagi pada pergi berlibur.” Sejak satu hari sebelum puasa tiba, mereka nyekar ke daerah Cirebon tempat makam Eyang. Sementara aku masih harus bekerja tanpa libur, meskipun puasa hari pertama.
Tidak ada waktu lagi meski hanya untuk membuat mi seduh sebagai makan sahur hari keduaku, suara panggilan imsak sudah ramai terdengar. Padahal sahur hari pertama, petugas ronda begitu perhatian hingga menggedor pintu rumah karena lampu ruang makan masih gelap.
Ya sudahlah, minum air putih saja, walau hanya dengan 600 ml. Karena galon air juga kosong di atas dispenser. Untung masih ada tiga biji kurma sisa yang kumakan kemarin dari Citra, teman kerja dari bagian personalia.
Kenapa aku apes banget sih pagi ini? Aku seolah menyalahkan keadaan yang sedang kujalani.
Sekali teguk, air pun lenyap dari botol berpindah ke perutku. Alhamdulillah, lumayan masih bisa sahur dengan air putih dan kurma.
Kuhela napas panjang dan duduk di kursi makan. “Ternyata bila sendirian, ketika bulan Ramadan rasanya sedih. Sudah dua hari sahur sendiri, tapi bila buka puasa, enggak terasa karena masih di jalan,” gumamku sembari memegang botol air minum yang baru saja diteguk airnya hingga tak bersisa.
Kuraih ponsel yang sedang di-charger semalam di atas nakas dekat meja makan. Setelah tersambung dengan WiFi, aku pun membuka laman WhatsApp. Baru terbaca kalau ternyata Mama dan Dian, adikku, sudah kirim wapri hingga dua puluh kali, belum lagi telepon Mama ada dua puluh lebih panggilan yang tak kujawab.
“Assalamualaikum, Mama,” sapaku.
“Waalaikumsalam. Ya ampun, Nona, kamu tidur apa pingsan sih? Udah lihat berapa kali kami mencoba hubungi kamu tuk sahur, enggak ada satu pun yang diangkat.”
Ketika mendengar suaraku, Mama langsung memberondong pertanyaan, hal itu aku maklumi, beliau panik juga, sudah dipastikannya bila aku tidak bangun tuk sahur. Selain itu beliau juga khawatir bila anak gadisnya menginap di rumah teman, tanpa seizinnya.
“Iya, Ma, maaf … aku lupa banget kalau harus sahur, dan satpam kompleks tidak gedor pintu untuk bangunin,” jawabku pelan karena terselip rasa kesal pada diri sendiri.
“Pasang alarm aja, Sayang. Enggak bisa ngandalin orang lain.”
“Siap, Ma. Aku salat Subuh dulu. Met shaum, Mama.”
“Sehat selalu, Sayang.”
Percakapan pun terputus. Aku melanjutkan kegiatan pagi.
Setelah salat Subuh, kugelar matras yoga untuk melakukan beberapa pose agar badan tetap fit meskipun tanpa sahur untuk beraktivitas sepanjang hari, hingga waktu beduk Magrib sore nanti.
Bulir-bulir keringat mulai menyelinap keluar dari pori-pori dan rasa segar pun menjalar di seluruh badan. Tepat satu jam bergerak, kusudahi. Kini tinggal penurunan atau relaksasi agar ototnya tidak kaget. Setelah keringat sudah menurun, aku pun segera mandi karena harus berangkat kerja.
***
“Hai, Non … gimana sahurmu tanpa keluarga?” tanya Mirda sambil menampakkan deretan gigi dari senyuman yang dipaksakan.
“Aman dong,” jawabku singkat. Daripada puasaku batal setiap ketemu dia, ada saja yang membuat hati kesal.
“Mbak Nona, dipanggil Pak Indra di ruang meeting,” kata Mbak Tati sekretaris barunya Pak Indra.
“Hmm, ada apa aku dipanggil ke ruang meeting,” gumamku.
Meski ada pertanyaan berkecamuk dalam pikiran, aku pun tetap melangkah ke ruang meeting.
Perlahan pintunya kugeser. Untuk perempuan normal, jika melihat Pak Indra sendirian, pastinya ingin menemani. Wajahnya yang tampan perpaduan antara Belanda dan Indonesia, sikapnya yang cool dan tidak suka melihat perempuan seronok, mampu membuat hati bertekuk lutut.
“Selamat pagi, Pak. Ada apa saya dipanggil ke ruangan ini?” tanyaku pelan.
“Hmm, sebentar lagi akan ada tamu datang dan membahas tentang gambar dari desainmu. Makanya tolong disiapkan proposalnya dan bantu saya meyakinkan klien kita.”
“Siap, Pak!” seruku dengan sedikit tersenyum kepadanya.
Sambil menunggu tamunya, aku berusaha mempersiapkan proposal seperti yang diminta Pak Indra.
“Non, barusan Pak Indra telepon dan mencari kamu, segera cetak proposalnya, dan sini aku bantuin, pasti lebih cepet.”
“Wah, gimana nih, failnya hilang. Siapa yang bisa benerin?” Aku mulai panik, padahal semua gambarku ada di situ. Sudah panggil teknisi pun keadaannya masih sama. Keringat dingin mulai mengucur, tak terbayangkan bila memang benar-benar hilang.
“Ya Tuhan, kenapa hari ini begitu berat untukku.”
Kembali, Pak Indra memanggilku dengan perantaraan sekretarisnya.
“Mbak Nona, sudah ditunggu di ruang meeting.”
“Iya, aku segera ke sana.”
Mau gimana lagi, berbagai cara sudah dilakukan, tetap failku enggak bisa kebuka.
Akhirnya aku berusaha menenangkan hati, minta izin untuk salat Duha dua rakaat. Dalam doa, kuselipkan permohonan agar proposal penting hari ini bisa segera ditemukan.
Hatiku pun bersorak setelah keluar dari ruangannya, Pak Indra tidak jadi meeting dengan kliennya sekarang. Masalah fail, aku akan coba ketik ulang, bila tetap tak bisa dibuka.(*)
Bumiku, 25 April 2021
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata