Sahabat Sepanjang Usia
Oleh: Dyah Diputri
“Percayalah, Aruni. Ketika seorang sahabat menikahimu, maka tak ada lagi pria yang lebih mengerti tentangmu.”
***
Kulangkahkan perlahan kaki ini menuju altar resepsi pernikahanku. Setelah ijab kabul tadi pagi, kini aku resmi menjadi istri Adnan. Dia menggandeng tanganku mesra, lengkap dengan senyum semringah menunjukkan kemenangannya. Kemenangan atas diriku. Sedang di sana, jauh di kerumunan para tamu, seorang pria memandang tajam kepadaku. Sekilas mata kami bertemu. Kemudian seperti merasa sadar diri, ia memalingkan wajah dan berlalu.
Aku tak bisa diam berdiri mendapat perlakuan seperti itu dari pria bernama Syarif itu. Dadaku bergetar hebat, kemudian perlahan cairan hangat luruh di pipiku. Riasanku luntur, biarlah. Aku tak peduli dengan semua orang yang berbaris untuk menyalamiku, juga pada Adnan yang mulai mengingatkanku pada status dan acara ini. Aku berlari … mengejar Syarif!
“Aruni!” Teriakan Adnan terdengar. Aku terus berlari dan mencari Syarif.
Dia di sana! Hampir masuk di mobilnya.
Brak! Pintu mobil kubanting begitu saja, aku duduk di sebelah Syarif. “Kenapa kau harus pergi?” omelku.
“Kau gila, Aruni! Kenapa mengejarku?!”
“Aku tak peduli dengan pernikahan ini, Syarif. Kau tahu aku tak mencintai Adnan!”
“Lalu, apa maumu?”
Napasku tercekat. Dari kaca mobil kulihat Adnan mulai mendekat ke arah kami. “Pergi dari sini! Cepat!” bentakku.
Mobil melaju meninggalkan Adnan yang berdiri lemas di sana. Dari kaca spion kulihat ia hanya menunduk dan meremas rambutnya.
***
“Setelah ini polisi akan datang ke rumahku karena aku telah membawa kabur istri orang!” Syarif mengomel.
“Aku hanya mencintaimu. Aku tak bisa menikah dengan Adnan.”
“Tapi kau sudah menikah dengannya, Aruni.”
“Itu kehendak ibuku. Mengertilah, Syarif!” rajukku.
Syarif membelai pipiku. Membuatku tak tahan untuk menyandarkan kepalanya pada bahunya. Dia kekasih yang kucinta. Sedang Adnan … sedari kecil kami bersahabat. Dia pria yang baik. Sangat baik walau aku tak bisa memaksa hatiku untuk mencintainya. Sedikit perasaan bersalah meninggalkannya di acara pernikahan kami tadi.
***
Apartemen Bougenville nomor 11.
Sudah tiga hari aku berdiam di sini bersama Syarif. Setiap waktu Syarif menawarkan untuk mengantarkanku kembali pada Adnan, tetapi kutolak. Sungguh, aku tak siap pulang dengan status sebagai istri Adnan. Hingga kemudian Adnan berdiri di depan pintu apartemen, menjemputku.
“Aku menjemputmu demi ibumu,” singkat saja ucapannya.
Adnan menggandengku dan membawaku pergi, sementara Syarif seperti sudah tahu akan kedatangan Adnan. Merelakanku begitu saja. Ada apa ini?
***
Tiba di rumah sakit. Kepalaku seperti akan pecah. Melihat Ibu terbaring tak berdaya dengan berbagai selang menempel di kulitnya.
“Ibu terkena serangan jantung,” Adnan berucap pelan.
“Karena aku?” isakku.
Adnan membisu. Menciptakan taburan penyesalan yang mendarat di dadaku. Mataku tak henti mengeluarkan cairan yang terasa panas. Mendidihlah renungan-renungan di otakku. Bodohnya aku, tak pernah berpikir bahwa ulahku bisa membuat Ibu jadi seperti ini.
Lama aku menunggu, tetapi Ibu tak kunjung sadar. Aku hanya sendiri duduk di sampingnya. Mengucap maaf tanpa ada balasan. Hatiku perih.
“Pulang dan istirahatlah! Biar aku yang menjaga Ibu.” Adnan menepuk bahuku. Aku terbangun dari tidurku. Mengusap-usap mata dan menggeliat sebentar.
Ah, Adnan. Ia masih di sini. Bahkan sejak datang menjemputku, aku tak menanyakan kabarnya sama sekali. Ia pun tak murka atas tingkah konyolku.
“Kau yang harusnya istirahat. Sudah tiga hari kau menunggui Ibu sendiri di sini.”
Adnan mengulas senyum tipis kepadaku. Heran, mengapa hatiku berdesir menatap senyumnya.
“Adnan, aku—”
“Aruni. Aku mengerti. Setelah ibu sembuh kita bisa mengurus perceraian.” Adnan membuang muka. Menyembunyikan rasa sakit hatinya sendiri tanpa ingin aku tahu. Walau bisa kuraba, hati pria mana yang tak sakit melihat wanitanya kabur dengan pria lain saat resepsi pernikahan.
Adnan memang pendiam dan sulit kutebak. Selama persahabatan kami terjalin, akulah yang lebih dominan menguasai hari. Apa pun yang ingin kulakukan, Adnan hanya mengekor di belakangku. Apa pun yang membuatku senang, ia akan memberikannya untukku. Namun, ketika ia setuju dengan permintaan Ibu untuk menikahiku, aku jadi membencinya. Jelas-jelas ia tahu aku mencintainya Syarif.
“Adnan, maafkan aku.” Kutahan tangannya ketika ia hendak berlalu.
“Tidak, Aruni. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku menyakitimu. Sampai kapan pun kau tak akan bisa suka padaku.”
“Karena bagiku kau sahabatku, Nan.”
“Yah, sahabat. Hanya sahabat.”
***
Setelah seminggu Ibu mulai sadar. Dokter bilang bisa rawat jalan, maka aku dan Adnan membawa Ibu pulang ke rumah. Lalu tentang status pernikahanku, aku dan Adnan kompak membuat skenario semanis mungkin agar beliau tak kembali syok.
“Ibu, minum obat dulu,” ujarku sambil meletakkan nampan berisi air putih dan obat-obatan resep dokter.
“Adnan mana, Run?” Ibu bertanya sebelum memasukkan butir-butir obat ke mulutnya.
“Kerja, Bu,” jawabku simpel sembari menyodorkan segelas air putih.
“Kamu … belum bisa menerima Adnan?”
Deg! Pertanyaan Ibu mengulik rasa takut di dalam hati. Bagaimana aku menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaannya selanjutnya?
Ibu seperti tak benar-benar menanti jawabanku. Ibu bangun dari tempat tidurnya dan berjalan pelan mendekati meja rias. Aku ingin membantunya berjalan tapi wanita berusia 52 tahun itu menolak halus.
“Ini.” Ibu menyodorkan sesuatu yang diambilnya dari laci meja rias. Sebuah undangan pernikahan dengan nama … Syarif dan Helia.
Rasanya bola mataku hampir keluar membaca undangan itu. Pernikahan orang yang kucinta dengan wanita lain yang tak pernah kukenal.
“Apa ini, Bu?” Aku meminta penjelasan, sejelas-jelasnya.
“Itu alasannya mengapa Ibu menikahkanmu dengan Adnan. Syarif sudah menghamili wanita itu.”
Tungkaiku lemas seketika. Napasku memburu, dikejar perasaan benci yang bertalu di hati. Aku benci Syarif, sangat membencinya!
“Kau tahu, Aruni. Adnan menolak menikah denganmu, tapi Ibu terus memaksanya. Bagaimana lagi? Ibu hanya percaya pada Adnan. Ibu enggak mau kamu payah hati duluan karena pria itu. Lebih dulu menikah lebih baik. Setidaknya kau jadi lebih kuat menghadapi kenyataan karena Adnan ada di sampingmu.”
“Lalu aku tak bisa membaca kebaikan Adnan. Seburuk itukah aku, Bu?”
“Kau hanya belum tahu yang terjadi,” ungkap Ibu sembari membelaiku, “percayalah, Aruni. Ketika seorang sahabat menikahimu, maka tak ada pria lain yang lebih mengerti tentangmu.”
Benar yang Ibu bilang. Sahabat akan selalu mengerti dan akan lebih mengerti. Terlebih ketika cinta tumbuh di antaranya.
***
“Mana yang lebih pas untukku?” Dua gantung baju dengan warna dan desain berbeda kutunjukkan pada Adnan.
“Mau pergi ke mana?” tanyanya.
“Ke pernikahan Syarif.”
Adnan bergeming. Berkali-kali mata pria itu berkedip, tetapi tatapannya tegas menyorotku. Iba, mungkin. “Jadi, kau sudah tahu? Apa dia memberitahumu?”
Aku menggeleng lemah. Garis bibir kupaksa untuk menggeser sudutnya. Namun, ah … entahlah! Sulit sekali. “Adnan, kau mau mengantarku?”
Dia mengulum senyum kemudian mengelus puncak kepalaku. Rasanya tentu berbeda dengan sebelum kami terikat tali pernikahan. Lugas ia berkata, “Jangankan mengantarmu, menjadi sandaran saat kau ingin menangis di sana pun aku mau.”
Aku tercenung. Saat kedewasaan menuntutku berpikir lebih bijak—tak hanya memikirkan ego pribadi—aku tersadar … ada baiknya aku menangis detik ini. Pada waktu yang tepat, bersama orang yang tepat. Sahabat sepanjang usiaku.
Malang, 30 Agustus 2018
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna. Akun FB: Dyah Maya Diputri.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata