Sahabat Sekar

Sahabat Sekar

Sahabat Sekar

Siang itu Ayah pulang membawa sebuah kardus besar.

“Ayo kita lihat apa isinya,” kata Ayah sambil tersenyum menggoda.

Ayah, Ibu dan Sekar kemudian membuka kardus itu bersama-sama.

Sekar takjub melihat barang yang tersimpan di dalamnya. Wajahnya menampakkan rasa ingin tahu.

Apakah benda itu bisa membuatnya berjalan? Pikir Sekar. Hampir setahun sejak kecelakaan itu, Sekar tak bisa berjalan. Ke mana pun pergi ia selalu digendong Ibu.

“Ini namanya kursi roda,” Ayah menjelaskan.

“Ayo kita coba,” kata Ayah setelah selesai merangkai kursi roda. Ayah mengambil Sekar dari gendongan Ibu, kemudian mendudukkannya di atas kursi roda.

Ayah mendorongnya berkeliling halaman, melihat bunga-bunga di taman, melihat kolam di samping rumah dan melihat kebun di belakang rumah.

“Sekar suka?” tanya Ayah sambil menatapnya.

Sekar tersenyum. Wajahnya tampak cerah.

“Besok Sekar boleh ke taman sendiri, Ayah?” tanyanya riang setelah lama terdiam.

“Tentu saja boleh!” jawab Ayah sambil tersenyum.

Sejak saat itu kursi roda menjadi sahabat Sekar yang setia, menemani hari-hari Sekar. Menemani berkeliling rumah, ke taman, halaman belakang atau ke tepi jalan tanpa harus merepotkan Ibu.
Sekar bukan lagi gadis kecil yang pemurung.

Hari itu Ayah pulang membawa sebuah buku gambar dan satu set crayon.

“Horee … Aku bisa menggambar!” teriak Sekar bersemangat.

Setiap hari Sekar menggambar apa pun yang dilihatnya. Bunga, daun, pohon, rumput, kupu-kupu, bahkan semut pun ia gambar.

Sekar menghabiskan waktunya di halaman depan atau samping rumah. Ibu pun memberinya satu ruangan buat Sekar untuk menyimpan dan memajang hasil karyanya.

Saat hujan atau sakit, Sekar menghabiskan waktunya di ruangan itu dengan menggambar dan menggambar. Apa pun yang terlintas dalam pikirannya, ia tuangkan dalam kertas dan crayon.

Sekar ingin sekali membuat Ayah dan Ibu senang. Tapi ia sadar, dirinya hanya seorang anak cacat. Ia bahkan tidak bisa pergi ke TK seperti anak-anak seusianya.

Hari ini hujan turun sejak pagi. Sekar tidak bisa keluar rumah.

Seharian ia hanya menatap air hujan yang terus turun. Sepanjang hari Sekar membayangkan dirinya berlarian di bawah hujan dengan riang. Bercanda dan tertawa-tawa, berkeliling rumahnya dan melihat kolam ikan serta tanaman bunga milik Ibu. Ingin sekali ia merasakan dinginnya air hujan jatuh di telapak tangannya.

Sekar mengayuh kursi rodanya ke teras depan rumah sambil terus menatap hujan yang tak juga reda. Matanya terpejam. Kedua telapak tangannya terbuka. Sekar mencoba berdiri, kemudian melangkah pelan. Terus melangkah, hingga akhirnya ia benar-benar bisa merasakan air hujan menitik di atas telapak tangannya. Saat ia tengadahkan wajahnya, ia rasakan air hujan menitik di permukaan wajahnya.

“Sekar!” terdengar suara Ibu memanggilnya.

Sekar terkejut. Matanya terbuka.

Ternyata ia telah berdiri di tengah hujan deras. Kedua tangannya terentang menangkap air hujan yang berjatuhan di telapak tangannya. Kedua kakinya menyangga tubuhnya dengan kokoh.

Ibu berlari dengan tergopoh-gopoh lalu mendekapnya dengan penuh takjub dan rasa syukur.

“Alhamdulillaahh … kau bisa berjalan, Nak!” seru Ibu bahagia.

Sekar menatap ibu dengan penuh rasa takjub. Matanya tampak berkaca-kaca menyiratkan kegembiraan hatinya.

Kegembiraan hari itu terasa lengkap saat Ayah pulang dengan kabar gembira. Ya, akhirnya Sekar memenangkan lomba itu. Oh! Rupanya diam-diam Ayah mengikutkan salah satu karya Sekar dalam lomba melukis itu.

Mereka semua sangat bersyukur, Tuhan telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada keluarga itu.(*)

Penulis: Noery Noor

Grup FB KCLK
Halaman FB kami:
Pengurus dan kontributor
Cara mengirim tulisan
Menjadi penulis tetap di Loker Kita