Penulis: Hadi Kurniawan
Gadis itu terlihat sedang pilu. Isnanto melihatnya sendirian di sudut sekolah. Isnanto mengenalnya. Dia bernama Maya—seorang gadis yang pandai melukis. Awan di atas sana terlihat asik berarak. Mendung membuat warna biru berubah murung. Isnanto mendekati Maya. Di tangannya sudah ada beberapa snack dan minuman gelasan.
“Nah buat kau. Lagi capek kan?” Isnanto menyodorkan apa yang dibawanya.
Maya menerima begitu saja. Tapi mukanya masih terlihat sedih. “Aku kalah, Is. Mimpiku buat jadi pelukis sudah terkikis.” Maya menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Sesekali Isnanto mendengarkan gadis itu tergugu.
***
Isnanto menemani Maya siang itu. Taka da sedikit pun niat untuk pergi. Isnanto memang teman sejati. Di sebuah galeri sanggar lukis dekat Kampung Warna Warni, Maya dengan semangat mengikuti ajang pencarian bakat melukis. Hobinya melukis sudah dia tekuni sejak SMP. Itu artinya sudah tiga tahun ini Maya belajar melukis. Tapi ternyata, seberapa lama pun dia belajar melukis, juri tetap saja tidak memberikan kesempatan untuk Maya.
Maya merasa down.
Pengumuman itu sudah dibacanya berulang kali. Nama Maya Kwartiana benar-benar tidak termasuk dalam daftar pemenang.
“Aku malu sama diriku, Is,” ucap Maya. Isnanto masih mendengarkan gadis itu, dia sesenggukan. Isnanto merasakan kepiluan di hati Maya. Ada rasa simpati yang berlebih, tapi perasaan semacam apa ini, Isnanto tak dapat mendeskripsikannya. Yang jelas, gadis itu sudah berhasil menyita perhatiannya akhir-akhir ini.
“May, aku dak peduli apa pun hasilnya. Menang kek, kalah kek, itu adalah hal biasa kali. Aku tetap bakal jadi sahabat kau. Aku bakal terus ada untuk kau. Jadi kau jangan sedih lagi.”
Tapi sepertinya semakin Isnanto menceracau begitu, justru malah membuat Maya semakin tergugu. Kali ini pipi Maya terlihat ada garisan. Air dari kedua matanya yang menciptakan garisan itu. Garis lurus yang memudarkan bedaknya, tapi tak berhasil membuatnya jelek. Maya tetap terlihat cantik, meski bagaimana pun keadaannya. Setidaknya, seperti itu yang dilihat oleh Isnanto.
“Kasih tau aku, satu hal yang bisa bikin kau dak sedih lagi. Peh lah, May!” pinta Isnanto.
Maya jadi tercenung. Air matanya terus mengalir. Terpancar kekecewaan, namun dia tak tahu harus menyalahkan siapa. Dia juga bingung dengan dirinya sendiri. Kadang Maya merasa telah kehilangan kunci keberhasilannya. Hingga membuatnya putus asa seperti sekarang ini.
“Aku fak tahu, Is. Aku cuma mikir, sekarang lebih baik aku berhenti melukis. Aku tuh pelukis yang gagal, Is. Aku malu sama kau.” Maya masih sesenggukan lagi. Isnanto sampai heran, kok Maya sesenggukan melulu. Di sisi lain, Isnanto bingung, tentang bagaimana cara menenangkan gadis ini.
Isnanto jadi geregetan.
“Maya, dengar aku. Hidup itu kadang kayak cabai. Rasanya pedas. Tapi dari rasa yang pedas itu, banyak kok yang senang memakannya. Meskipun ada pula yang dak senang. Paham dak maksud aku?”
Maya terdiam.
“Dalam hidup, suka atau pun idak, itu posisinya berdampingan. Mungkin para juri yang sekarang ini dak suka dengan karya kau. Tapi, May, aku yakin, di luar sana pasti banyak yang suka dengan apa yang sudah kau hasilkan.” Isnanto menghentikan omongannya.
“Kau berlebihan, Is. Ini serupa mencari jarum di tumpukan jerami. Dak mungkin, Is. Impossible.”
“Kau jangan lemah begitulah. Kau harus berpacu. Layaknya kuda, yang terus berlari kencang, meski jalanan penuh lumpur sekalipun. Percayalah pada diri kau, Maya. Kau pasti bisa!”
***
Gara-gara Isnanto, Maya jadi bangkit lagi. Gara-gara Isnanto, Maya berubah menjadi gadis yang penuh semangat. Semuanya gara-gara Isnanto. Gadis yang tadinya minderan itu kini berubah menjadi gadis yang penuh obsesi. Maya akan melakukan apa saja untuk mewujudkan mimpinya menjadi pelukis.
Kini siapa yang tidak tahu Maya. Pelukis muda yang karyanya pernah ditawar orang seharga dua miliar rupiah.
“Aku seneng, Is.” Maya terlihat jejingkrakan setelah mendengar tawaran seorang bule asal Norwegia. Karya Maya dianggap artistic dan berkarakter. Makanya orang itu berani membayar sebegitu mahalnya.
Isnanto ikut senang melihat Maya bahagia. Namun ada kekecewaan di mata Isnanto. Iya, Isnanto ingin Maya penuh semangat. Iya, Isnanto senang dengan keadaan Maya yang sekarang. Tapi tidak untuk sikapnya. Maya berubah jadi ambisius dan arogan.
Malam Minggu lalu Isnanto mempunyai dua lembar tiket menonton konser dangdut. Isnanto berniat mengajak Maya ke Kompi. Tapi ketika menceritakan kabar itu, Maya bilang, “Sori, Is. Aku sibuk. Aku dak ada waktu buat ke acara begituan. Pergilah kau sendiri. Aku mau melukis saja di rumah. Besok bakal ada orang Arab yang mau lihat lukisanku tentang Lapangan Kurma.”
Jedaar!!
Rasanya ada petir yang menyambar tubuhnya. Isnanto langsung melemas. Darahnya seolah-olah surut. Isnanto tidak menyangka kalau Maya akan berubah menjadi seperti ini.
Maya seolah-olah lupa, siapa orang yang selalu memberikan motivasi untuknya. Maya lupa, kalau Isnanto pernah jadi satu-satunya orang yang memujinya walaupun dunia menolak.
Isnanto menunggu Maya keluar dari kelasnya. Tak lama muncullah gadis berkuncir kuda itu. Isnanto menyambut senyumnya. “Kau sekarang berhasil ya. Aku pengen kamu pake ilmu padi. Padi itu makin berisi makin merunduk. Jadilah orang yang selalu…,” tiba-tiba omongannya terhenti. Ada panggilan di ponsel Maya yang membuat Isnanto menggantungkan ucapannya.
“Halo. Iya saya Maya. Apa? Serius, Om?” Maya sepertinya terlihat gembira. Isnanto jadi tertunduk layu.
“Iya, Om. Baik, Om. Akan saya usahakan,” kata Maya lagi.
Isnanto sudah malas untuk melanjutkan omongannya tadi.
“Ohya, kamu mau ngomong apa tadi?” tanya Maya.
“Udah lupakan saja,” jawab Isnanto lesu.
“Kau tahu dak, aku dapat pesanan untuk melukis semangka dengan ukuran besar. Kamu tahu dak tawarannya berapa? Lima belas juta, Is.”
***
Mulai hari ini sepertinya Isnanto harus menjaga jarak untuk beberapa waktu dengan Maya. Gadis yang sempat membuat dadanya berdebar, membuat hidupnya berwarna, dan Isnanto amat yakin kalau semua rasa itu adalah cinta.
Tapi kali ini, Isnanto harus rela kalau hal itu pupus.
Selang tiga tahun kemudian. Di meja paling pojok, sore itu Isnanto menjadi satu di antara ratusan peserta dalam pembukaan galeri lukisan Maya. Isnanto mulai merasa, bahwa Maya sudah tidak butuh dirinya lagi. Maya sudah bisa mandiri tanpa dirinya. Isnanto melengkungkan senyuman, lalu dengan langkah gontai, dia pergi dari galeri itu. Tanpa Isnanto sadari, Maya kepayahan mencari-cari dirinya. Saat Maya mendapat pertanyaan dari wartawan Silampari TV, “Adakah seseorang yang paling berarti bagi Anda, Nona Maya?”
Matanya celingukan ke sana sini. Tapi Isnanto sudah tak ada lagi.(*)
Blog www.hadikurniawan.com, BBM : D37F371A.