Sabil
Oleh: Triandira
Senyummu langsung tersungging begitu Sabil turun dari mobil yang kami tumpangi. Kehadiran putri kecilku itu memang sudah lama kau rindukan. Gelak tawanya, tingkah konyolnya, dan wajah bulat yang ia miliki adalah hal yang paling kau nantikan selama ini, terlebih semenjak Ayah tiada. Lelaki paruh baya yang semasa hidupnya tak pernah sekali pun merokok itu, telah meninggalkanmu dalam kesendirian.
Setiap hari kau hanya berteman sepi. Melakukan berbagai aktivitas seorang diri di sebuah rumah bercat putih yang tak begitu besar, di depannya terdapat halaman yang dipenuhi rumput gajah. Kemudian di beberapa sudut dekat kolam tertanam bunga hias seperti anggrek, alamanda, geranium dan melati yang tumbuh subur di dalam pot. Kau sengaja merawatnya sebagai hiburan, sekaligus pengisi waktu luang ketika rutinitas lain telah rampung kau kerjakan.
Melihat suasana rumah yang tampak asri, aku jadi teringat dengan masa kecil. Dulu, aku sering berlarian dan bermain boneka di bawah pohon mangga yang kini batangnya menjadi tiang ayunan. Mainan yang terbuat dari ban mobil bekas itu memang sengaja kau letakkan di sana, agar Sabil betah dan mau menginap cukup lama saat kami datang berkunjung.
“Eyang …!” teriak bocah itu sambil berlari ke arahmu. Kalian berpelukan, saling melepas rindu setelah sebulan tak bertemu. Kesibukanku di tempat kerjalah yang menjadi penyebabnya. Begitupun dengan Mas Aryo, suamiku itu juga tak kalah sibuk sehingga sulit bagi kami untuk mewujudkan keinginan Sabil berjumpa denganmu.
“Wah, cucu Eyang sudah besar rupanya. Bagaimana kabarmu, Sayang?”
“Aku baik. Bagaimana dengan Eyang?”
Kau tersenyum lebar. “Alhamdulillah. Eyang juga baik. Ya, sudah. Ayo, kita masuk.”
Setelah mencium tanganmu seperti yang putri kami lakukan, aku dan Mas Aryo mengikuti langkahmu memasuki rumah. Entah karena saking senangnya atau karena banyak yang ingin kau ceritakan, kalian terus berbincang sambil sesekali tertawa. Apalagi saat Sabil menunjukkan gigi kelincinya yang telah copot, kau terpingkal hingga aku pun dibuat geli melihatnya.
Namun, kebahagiaanku sedikit terusik saat menyadari sesuatu. Ternyata, beberapa hal dari dirimu sedikit berubah. Mas Aryo bilang ini hanya perasaanku, tapi aku yakin kalau kau … berbeda dari biasanya.
***
Ini hari kedua kami menginap di rumahmu. Ah, tidak. Lebih tepatnya rumah kita. Tempat kalian—kau dan Ayah, membesarkanku. Ditemani dinginnya cuaca sebab hujan turun semalaman, aku beranjak ke dapur untuk membantumu menyiapkan sarapan.
“Sabil masih tidur, Nad?” tanyamu dengan wajah semringah. Kuperhatikan, semenjak kedatangan kami kemarin wajahmu tak pernah lepas dari senyuman.
“Iya, sepertinya dia cukup lelah setelah bercengkerama dengan Ibu semalam.”
Kau terkekeh. Gadis kecilku itu memang cerewet hingga kalian terlalu asyik bercerita. Tak ayal, saat larut malam tiba barulah kalian tertidur di kamar yang sama, sesuai keinginanmu.
“Anakmu itu emang lucu, Ibu sampai tertawa terus dengerin ceritanya.” Aku menggeleng pelan dengan lengkung kecil di bibir. “O iya, Nduk. Ibu lupa nggak nyiapin lauk buat Sabil, nanti saja ya, Ibu belikan telur di warung depan. Dia suka telur mata sapi, kan?”
“Nggak papa, Bu. Nggak usah repot-repot kayak gini, biar nanti Nadya saja yang membelinya atau makan seadanya saja. Lagi pula dia sudah terbiasa makan yang pedas-pedas.”
“Kamu itu ngomong apa? Ibu sama sekali nggak merasa direpotkan,” kau menyela ucapanku sambil mengulek bumbu di atas layah. Kulit jarimu yang sedikit keriput seketika menarik perhatianku, dan di detik itu juga ada yang berdesir lembut di hatiku. Entah waktu yang berlalu begitu cepat, atau aku yang tak pernah peduli terhadapmu. Sudah setua itukah dirimu saat ini, Ibu?
“Nad,” panggilmu dengan tepukan kecil di bahuku yang tertutup baju berwarna merah maroon, “tolong kamu lanjutin ini dulu, ya. Ibu mau ke warung sebentar.”
Aku mengangguk, tak membantah lagi ucapanmu yang bersikeras ingin membeli lauk untuk Sabil, lantas mengambil alih hal yang tadi kau kerjakan. Itu karena aku sudah hafal betul dengan sifatmu yang keras kepala. Seperti kata Ayah, jika kau sudah menginginkan sesuatu maka tak ada seorang pun yang bisa mengubahnya. Karena jika tidak, dulu kau pasti sudah menyetujui keinginanku dan Mas Aryo untuk memboyongmu tinggal di kota, bersama kami.
Usai memasukkan sisa sayuran yang belum dimasak ke dalam kulkas, kau bergegas pergi. Namun belum terlalu jauh dari tempatku berdiri, tiba-tiba saja tubuhmu terhuyung ke belakang hingga gelas yang tergeletak di atas meja tersenggol oleh tanganmu. Benda bening itu pun langsung pecah dan serpihannya jatuh berserakan di atas lantai.
“Ya Allah,” jeritku karena kaget. Beruntung, tanganku berhasil menyangga tubuhmu yang hampir membentur keramik. “Ibu kenapa?”
Kutepuk pelan pipimu sambil memanggil Mas Aryo yang tengah mencuci mobil di halaman. Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya ia datang lalu menggendong tubuhmu masuk ke dalam kamar.
Di atas ranjang dengan seprai bermotif bunga, kau terbaring lemah dengan wajah pucat. Sama pucatnya ketika kau jatuh pingsan di hari kematian Ayah. Suami yang sangat kau cinta.
***
“Nad ….”
“Pergilah, jika tidak kamu akan terlambat nanti,” balasku dengan mata berkaca-kaca.
“Apa kamu yakin dengan semua ini? Atau begini saja, sebaiknya aku izin—”
“Aku yakin, Mas,” selaku cepat sebelum Mas Aryo menuntaskan kalimatnya. Malam itu, hari ketika kami melarikanmu ke rumah sakit, hanya air mata yang selalu kutunjukkan di hadapannya. Begitupun dengan Sabil. Cucumu yang satu itu bahkan selalu menanyakan keadaanmu kepadaku. Ia nampak sedih dan takut, tak ubahnya diriku yang kini hanya bisa menatap wajahmu dengan penuh penyesalan.
“Kuharap dia terlelap sampai kalian tiba di sana nanti.” Kukecup lembut kening anakku yang tengah berada di gendongan Mas Aryo. Sepertinya ia sangat mengantuk sampai-sampai perlakuanku barusan tak sedikit pun mengusik ketenangannya saat tidur.
“Maaf ya, Nad. Aku ….”
“Nggak papa, Mas. Jangan terlalu memikirkannya. Aku yakin, insyaallah kita semua bisa melewati semua ini. O ya, sampaikan salamku pada ayah dan ibumu. Maaf karena—”
“Ssttt … kamu ini bicara apa? Mereka juga orangtuamu, bukan? Jadi sudah sepantasnya mereka membantu, dan aku yakin itu bukan masalah.”
Seperti air yang menyegarkan, ucapan Mas Aryo barusan sedikit menenangkan hatiku yang sedang gelisah. Apa kau tahu? Dari kami bertiga, lelaki inilah yang paling tegar. Mungkin ia sama menyesalnya denganku, yang sempat menganggap remeh keinginanmu untuk berjumpa dengan Sabil.
Tak jarang, janji kami untuk berlibur dan menginap di rumah tempat kau tinggal, tak pernah terwujud. Berbagai alasan kami utarakan kepadamu melalui telepon, bahkan terkadang melalui pesan singkat. Ah, jika mengingat hal itu rasanya tak pernah habis penyesalanku.
“Ya, sudah. Kalau begitu aku pulang dulu,” pamit Mas Aryo kemudian.
“Hm, hati-hati di jalan.”
Mas Aryo mengangguk pelan. “O ya, kabari aku secepatnya jika Ibu sudah sadar nanti.”
“Iya, Mas.”
Lelaki berkacamata itu pergi usai aku meyakinkannya lagi, perihal keputusanku untuk menemanimu dan merelakan Sabil pergi bersamanya. Bukan hal yang mudah memang, tapi kami tak punya pilihan selain berpisah untuk sementara waktu.
Sabil harus sekolah, dan aku tidak mungkin membiarkannya di sini lebih lama lagi. Sebenarnya aku tak tega meninggalkan ia tinggal bersama orangtua Mas Aryo, yang kebetulan rumahnya berdekatan dengan rumah kami. Tapi melihat kondisimu seperti sekarang, sulit bagiku untuk mengabaikannya.
“Maafkan Nadya, Bu. Maaf.”
Tangisku kembali pecah. Dada pun terasa sesak saat melihatmu terbaring lemah dengan mata yang masih tertutup. Terlebih wajahmu, bukan lagi terlihat pucat namun lebih parah dari itu.
Kulit tubuhmu menguning, dan itulah yang membuat Sabil merasa takut ketika berdekatan denganmu. Sebuah kenyataan yang begitu perih untuk dihadapi. Apalagi setelah dokter yang merawatmu memberiku kabar yang tak kalah mengagetkan.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, kau menderita penyakit Thalassemia. Keganasan penyakit ini telah menyebabkan organ dalam yang kau miliki mengalami kerusakan sehingga tidak berfungsi dengan baik. Tidak hanya itu, aku dan Mas Aryo pun masih dibuat bingung dengan pilihan yang harus kami ambil. Semua metode penyembuhan yang bisa kau tempuh sama-sama memiliki risiko yang tinggi terhadap kesehatanmu di kemudian hari. Namun, membiarkanmu tersiksa seperti ini juga bukan hal yang kuharapkan.
“Nduk ….”
Cepat-cepat kuusap air mata di wajahku begitu melihatmu terbangun. Kau sudah cukup menderita, dan aku tidak ingin terlihat lemah di hadapanmu, meski nyatanya berat untuk kulakukan. Cairan bening itu pun kembali menggenang di pelupuk mata ketika kau menggumamkan sesuatu.
“Di mana Sabil? Ibu masih kangen sama dia, Nad.”
Aku terhenyak. Tak mampu lagi berkata-kata, dan hanya bisa mengelus pelan lenganmu yang kurus itu. Maafkan aku, Ibu. Saat ini, aku terpaksa menjauhkamu dari Sabil. Bukan karena aku tak sayang, tapi karena tak ingin menyakitimu lebih dalam.(*)
Tentang Penulis:
Triandira, penggemar Spongebob dan Harry Potter yang belakangan ini menyukai cerita bergenre romance dan fantasi. Bisa dihubungi melalui akun FB dengan nama Triandira, email: wahyutriandira1@gmail.com
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata