Bel berdentang tiga kali, menciptakan suasana riuh seperti denging lebah atau ramai pasar hewan kala musim kurban tiba. Murid sekolah menengah keluar dari kelasnya satu demi satu, berdua, bergerombol, pelan, berlarian. Perlahan kelas-kelas itu menjadi sunyi, lalu sekolah tua yang banyak mengalami pemugaran itu lengang. Seisi halaman—di mana bendera merah putih baru dikibarkan pagi tadi—mendadak hanya berisi desau angin. Tenang, sunyi.
Afina bergeming di bangkunya, di dalam salah satu kelas tujuh yang berada paling ujung timur, tepatnya di samping perpustakaan. Di depan kelasnya tampak lapangan voli dengan sisa-sisa rumput yang belum tercerabut di sudut-sudut pavingannya.
Dulu, sebelum Afina menjadi salah satu murid di sekolah itu—yang kemudian seiring waktu beralih menjadi guru pendidikan kewarganegaraan, ia sering bediri bersandar di dekat pintu perpustakaan sambil memandangi anak putri seusianya bertanding voli. Kala itu, halamannya masih berupa tanah cokelat yang tandus, sebab kota mereka amat jarang mendapat percik hujan di penghujung tahun.
“Kamu suka bermain voli?” tanya seorang pustakawan yang tiba-tiba keluar. Namanya Pak Ibra. Afina bisa membacanya dari nama bordiran di dada guru tersebut.
Malu-malu Afina mengangguk. Namun, ia tak berani mengeluarkan suara. Gagang sapu lidi—yang bahkan panjangnya hampir sedagu anak laki-laki—itu menjadi alasan. Kalau tak ingat dengan jabatan barunya sejak dua minggu yang lalu sebagai tukang sapu dan serabutan di kantor tata usaha, ia sudah mau berkata lantang bahwa sejak SD ingin sekali masuk tim voli.
“Saya permisi, Pak. Mau ke gudang.”
Afina pamit seraya memegang erat sapu itu. Ia berlalu ke gudang, menyimpan peralatan kebersihan sekaligus menyimpan harapan-harapan yang kadung bertunas di kepalanya. Lulus SD dengan nilai bagus bukan jaminan ia bisa melanjutkan sekolahnya. Kakek satu-satunya orang tua yang dimiliki Afina terlalu tua untuk bekerja sebagai kuli panggul di pasar. Harta terakhir yang Kakek miliki hanya dua ekor kambing yang baru bisa ditukar dengan uang musim kurban berikutnya. Itu pun jika kambing betina mampu menghasilkan dua ekor anak kambing.
Keesokan harinya Afina seperti mendapat lotre dengan hadiah utama. Ketika ia baru menyeret daun-daun kering pepohonan dengan sapunya, Pak Ibra memanggilnya. Afina lantas mengekor di belakang pustakawan sekaligus guru sejarah itu menuju kantor kepala sekolah.
Kata Pak Ibra, “Saya daftarkan kamu sekolah di sini. Saya juga tanggung biayanya. Tapi buktikan sama saya, kamu akan belajar dengan baik, Fin.”
Hati Afina berlonjakan, memantul-mantul seumpama sedang bermain trampolin di pasar malam. Ungkapan terima kasihnya juga melambung tak henti lewat pujian saat ia pulang ke rumah dan menceritakan keberuntungannya kepada Kakek.
“Saya akan sekolah lagi, Kek. Ya, meski setiap pagi akan terus membawa sapu itu sebelum saya belajar di kelas. Saya harus membuat Pak Ibra bangga,” ucap Afina seraya menyeka peluhnya. Peluh yang seakan-akan keluar demi menunjukkan betapa hangat perasaannya detik itu.
Semenjak saat itu, Afina kembali bersekolah. Ia menunjukkan betul-betul kepada Pak Ibra bahwa uang yang guru itu keluarkan untuknya tidak sia-sia. Setiap senggang ia ke perpustakaan, memilih satu-dua buku untuk menambah wawasannya. Ia juga masuk tim voli putri dan berlatih setiap pulang sekolah. Di dalam kelas pun, ia lebih asyik mempelajari struktur kenegaraan daripada bergurau dan mengobrol dengan teman-temannya.
Suatu kali di bulan Mei, saat Afina sibuk menyiapkan ujian kenaikan kelas sembilan, Kakek meninggal. Afina mengeluh dan takut hilang harapan, seolah-olah seluruh usahanya yang masih di tengah jalan itu akan berhenti sebab rapuhnya hati saat sendirian.
Namun, lagi-lagi Pak Ibra datang. Pria yang masih melajang itu memboyong Afina ke rumah kontrakannya. Selain menjadi guru dan orang tua asuh, Pak Ibra juga seperti teman bagi Afina.
“Apa Bapak tidak mau menikah? Saya pikir, seandainya Bapak menikah, tentu ada yang membantu Bapak menilai ulangan itu,” tanya Afina suatu kali.
Mereka berdua duduk berhadapan di dalam kelas sepulang sekolah. Oleh karena Pak Ibra tak kunjung keluar dari kelasnya mengajar, Afina menghampirinya. Ternyata di meja guru itu masih berjajar buku-buku ulangan para siswa dan ia masih sibuk memberi nilai. Afina yang mulai biasa membonceng motor, terpaksa menungguinya.
“Saya tidak bisa menikahi orang yang saya sayangi, Fin,” jawab Pak Ibra sembari membetulkan kaca matanya. Wajahnya yang datar memang jarang tersenyum, kecuali jika Afina berhasil menciptakan gurauan.
“Kenapa, Pak? Apa beda agama? Atau karena beda tingkat kehidupannya?” Afina bertanya lagi.
“Seandainya perasaan cinta bisa setara dengan permasalahan itu, tentu lebih mudah dijalani. Tapi saya benar-benar mempertimbangkan perasaannya.” Pak Ibra menjelaskan sambil membereskan tiga buku ulangan. Sebentar lagi akan selesai. “Kelak, saat kamu sudah dewasa, kamu akan mengerti, Fin. Percuma saya jelaskan sekarang, saat ini yang harus kamu pikirkan hanya belajar. Itu saja. Ya?”
Afina mengiyakan. Kemudian, seperti apa yang diucapkan Pak Ibra, tahun-tahun berikutnya yang ada di pikiran Afina hanyalah belajar dan belajar. Ia tidak pernah lagi bertanya kenapa guru baik hatinya tidak kunjung menikah walau usianya hampir menginjak angka tiga puluh lima. Hingga Afina lulus SMA dengan hasil keringat pria itu, ia tidak mendapati seorang perempuan pun bertandang ke rumah maupun dekat dengan Pak Ibra.
“Pak, di kampus saya ada seorang dosen yang masih belum menikah. Memang tidak cantik sekali, tapi saya kenal baik dan paham karakternya. Saya yakin Bapak akan cocok dengannya. Kenapa tidak mencoba penjajakan?”
“Sudah sering saya katakan, Fin. Jangan memandang hal lain selain buku-buku tujuan cita-citamu. Saya tegaskan sama kamu, saya sudah mencintai seseorang, dan tidak ingin membuatnya terluka. Apa sekarang kamu sudah cukup dewasa untuk memahami apa itu cinta?”
Afina menggeleng. Tentu saja ia tak paham. Ia hanya tahu bahwa sebagian temannya mengisi akhir pekan dengan pasangan masing-masing, sedangkan ia akan menghafal lebih jauh perundang-undangan Indonesia. Kata mereka, dengan memiliki pacar itu berarti cinta mereka tidak bertepuk sebelah tangan.
“Kalau Bapak punya orang yang dicintai, kenapa Bapak tidak melamarnya?”
Pak Ibra tercenung, diam tanpa ada jawaban. Raut datarnya yang terbingkai kaca mata semakin menyembunyikan rahasia dalam-dalam. Hingga beberapa hari kemudian ia sering terlambat pulang ke rumah, bahkan beberapa kali menjelang malam baru mengetuk pintu. Kalau Afina bertanya, Pak Ibra hanya menjawab sekenanya. Rapat dewan guru, ada piket perpustakaan menjelang penerimaan siswa, atau bertandang ke rumah teman.
Tatkala Afina menyelesaikan skripsinya, Pak Ibra belum juga menikah. Sengaja Afina membawakan undangan wisuda ke sekolah tempat Pak Ibra masih mengajar. Lagi, di dalam kelas itu mereka duduk berhadapan.
“Saya ingin Bapak hadir di acara wisuda bersama orang yang Bapak cintai. Saya rasa kali ini saya cukup dewasa untuk menanyakan siapa perempuan yang Bapak jaga perasaannya. Seistimewa apa dirinya?”
“Fin, kamu sudah berhasil sekarang. Bapak minta, kelak kamu mengajar di sekolah ini juga. Berikan dedikasi terbaik untuk anak-anak lainnya. Bapak bangga sama kamu.”
“Kenapa Bapak mengalihkan pembicaraan? Sudah cukup Bapak memikirkan saya selama ini, sekarang giliran saya. Apa yang bisa saya lakukan untuk Bapak?”
“Tidak. Tidak perlu, Fin. Saya sudah mendapatkannya.”
“Apa maksudnya?” Afina masih mengajak berdebat demi memuaskan keingintahuannya. Namun, Pak Ibra tak pernah menjawabnya. Tidak pernah.
***
Delapan tahun itu telah berlalu, meninggalkan jejak yang luntur karena hujan yang datang sesekali. Namun, saat Afina duduk dalam mangu di sebuah bangku ketika murid-muridnya telah pulang, kenangan itu kembali mencuat seperti rumput di sela-sela paving.
Siang itu ia menunggu di antara berpuluh mahasiswa dengan toga di genggaman. Wali murid pendamping banyak yang sudah mengambil pose foto dengan anak-anak kebanggannya. Namun, Afina masih setia menanti Pak Ibra.
Sorak-sorai, dengung tawa, dan ucapan selamat seakan-akan pecah dan berserakan di keheningan isi kepalanya. Pertanyaan yang tertulis di syaraf otaknya duduk manis dan menantikan jawaban. Bukan tentang apa dan kenapa Pak Ibra tak hadir di acara wisudanya, melainkan apa benar kini ia cukup dewasa untuk memahami perasaan Pak Ibra.
Pertanyaannya terjawab manakala Afina sampai di rumah. Ya, akhirnya ia dipandang cukup dewasa oleh Pak Ibra untuk mengerti apa itu cinta. Afina tidak marah karena pria itu tak hadir di acara kelulusannya. Ia pun tak berani menyela dan mendebat tentang siapa perempuan yang dicintai oleh Pak Ibra.
Akan tetapi, Afina hanya bisa menyesal kenapa Pak Ibra harus gantung diri tersebab cintanya. Itu karena … ia.
‘Saya mencintai kamu, Fin. Dan saya menjaga perasaanmu. Jadi, jangan pernah merasa bersalah,’ tulis Pak Ibra di halaman terakhir buku memoarnya.
Mulai detik itu, Afina berusaha melupakan segalanya. Tentang awal ia kembali bersekolah, tentang uang yang diberikan Pak Ibra tiap bulannya, tentang buku-buku yang pernah dibelikan untuknya, tentang cinta yang—ternyata—tidak pernah ia rasakan selama hidup dengan Pak Ibra, juga tentang Pak Ibra yang mengidap penyakit kelamin.
Namun, Afina menyadari satu hal, bahwa usahanya selalu sia-sia ketika ia harus duduk sendiri di bangku kelas dalam kesunyiannya. Kenangan yang ia miliki terlanjur bertunas dan tumbuh di dalam kepalanya. Ia mencuat seperti rumput yang tumbuh di sela paving lapangan voli, membuatnya enggan untuk jatuh cinta hingga detik ini.
Malang, 7 Januari 2021
Dyah Diputri. Pecinta diksi yang tak sempurna