Rumah Tanpa Tiang
Penulis : Rizqa A Harefa
Bagaimana sebuah rumah tanpa adanya fondasi?
Bagaimana sebuah madrasah tanpa adanya kepala sekolah?
Nyatanya, rumah akan mudah menjadi roboh.
Nyatanya, madrasah akan berantakan tanpa adanya yang memimpin.
———-
Aku melangkah gontai, terhuyung dengan rasa sakit yang merongrong kepala. Pelipisku masih dibasahi darah segar oleh lemparan gelas kaca atas tragedi yang tak dikehendaki.
Kerikil-kerikil tajam menusuk kaki yang tidak beralas. Meninggalkan rasa nyeri pada langkah berikutnya. Tetapi, masih ada sakit teramat sangat. Sakit tak berobat, tak kunjung sembuh karena tidak ada penawarnya.
Banyak harapan yang telah kubisiki di bumi, semoga terdengar di langit dengan kejutan yang paripurna. Tetapi hingga saat ini, sabar menjadi penolong sejati. Berlapang dada atas suratan hidup yang belum memihak bahagia. Pendar cahaya masih tak menampakkan diri untuk menyinari kegelapan masalah yang tengah melingkari antara aku, wanitaku, dan laki-lakiku.
Masih saja berjalan mencari tempat bernaung sementara. Menghindari amarah durjana dari dua insan yang dulunya saling mencinta.
Aku heran, mengapa mereka saling menyalahkan? Padahal, mereka selalu satu pemikiran.
Mengapa mereka saling menghujat dan mencaci? Padahal mereka saling menyayangi.
Ah, sungguh naif diriku yang belum mengerti dunia orang dewasa. Yang semestinya selalu diajari tentang akidah dan akhlak. Yang selalu dibimbing empati dan rasa syukur. Yang selalu dilimpahi kasih sayang.
Nyatanya? Mereka tertalu berat untuk berpaling dan memahami, bahwa ada buah hati yang ingin dimengerti.
Mereka dibuai dengan indahnya dunia, berambisi mencapai puncak kejayaan dalam pandangan manusia, tetapi lupa mendapat keridaan Maha Pemilik Jiwa.
Aku remaja labil yang dewasa sebelum waktunya, mendambakan keluarga bahagia seutuhnya. Bukan sarapan teriakan maupun serapah dari laki-laki yang seharusnya menjadi imam dan pelindung, yang menyakiti sesuka hati pada perempuan yang telah diikatnya dengan ikatan mitsaqan ghaliza. Melupakan amanah yang akan diminta pertanggungjawabannya.
Aku tak tega melihat wanitaku selalu dikasari, padahal seharusnya dikasihi layaknya bidadari. Laki-laki itu lupa akan janji untuk selalu mengasihi. Ia semakin beringas tak punya hati.
Dan wanitaku hanya menangis setiap kali pasangan hidupnya melayangkan tamparan, menghardik dengan kata-kata sampah, merasa diri paling jemawa.
Dan siapa yang ingin bertahan dalam rumah bagaikan neraka? Rumah tanpa tiang yang kuat, sewaktu-waktu akan roboh diguncang angin besar.
“Ma, yuk, kita kabur. Kita cari kehidupan yang layak di luar sana.” Aku mencoba membujuk wanitaku untuk keluar dari rumah.
Ia menggeleng kuat.
“Mama tidak akan pernah keluar dari rumah ini, Nak. Rumah ini terlalu banyak kenangan untuk ditinggalkan.”
Ah, madrasah pertamaku yang begitu penyayang. Memberi cinta sehangat mentari kepada anak dan suami. Tetapi sayang, suami tak pandai menjadi kepala sekolah yang mengatur kehidupan yang dipimpinnya. Ia membangun rumah tanpa tiang, karena terlalu terpesona dengan fatamorgana dunia.
Laki-lakiku itu, pantaskah kupanggil Papa? Tak menafkahi dan mendidik, berlaku seperti iblis bertampang manusia, ia telah berubah. Bukan laki-laki yang selalu memanjakanku. Menghadiahiku dengan banyak kado saat salatku tidak bolong, saat puasa dikerjakan sebulan penuh, saat prestasi sekolah membanggakan. Ya, laki-laki pertama dalam hati, suami romantis penyayang istri, sangat baik memperlakulan belahan jiwa. Tetapi dalam sekejap berubah menjadi laki-laki yang kejam.
“Perempuan jalang! Kau tak pantas jadi istriku lagi! Dirimu tak seindah dulu!” teriak Papa saat Mama salah menyuguhkan sarapan.
Mama hanya mampu meminta maaf, dan tamparan keras sebagai jawabannya.
Aku hanya mengintip di balik pintu kamar. Takut bila terjadi sesuatu kepada Mama.
“Aku bosan padamu. Aku akan mengurus surat perceraian.”
“Salahku apa, Mas?” Mama mulai terisak.
“Salahmu apa? Berkaca kau wanita bodoh!” umpat Papa sambil menyeret Mama ke depan kaca yang terletak di ruang keluarga.
“Kau lihat! Kau sudah tak cantik lagi. Lambat melayani. Dan tak mendengar perintah suami.”
Tanganku bergetar. Ingin rasanya aku memukul mulut Papa. Laki-laki jahat yang tak bersyukur memiliki istri yang sempurna.
“Mas, jangan ceraikan aku,” pinta Mama mengiba sambil berlutut di kaki Papa.
“Baik, kalau kau tak mau diceraikan, tapi kau harus menuruti permintaanku.”
Aku memasang telinga baik-baik, menunggu kalimat berikutnya keluar dari mulut Papa.
“Kau harus bersedia pindah agama. Kembali kepada agama yang aku anut dahulu.”
Aku terperangah. Menahan sesak di dada. Kulihat Mama mundur menahan isakan. Aku benci melihat seringai Papa yang merasa menang.
“Sampai kapan pun, aku tidak akan meninggalkan agamaku, Mas.”
“Tak pindah agama, berarti kita cerai!”
“Teganya kau, Mas ….”
Papa tertawa terbahak-bahak, suaranya mengisi ruangan. Aku ketakutan. Dan pemandangan berikutnya yang membuatku hancur, saat Papa menancapkan belati di ulu hati Mama. Aku menjerit histeris meminta pertolongan. Papa mengejarku. Aku lari ke luar rumah. Berteriak semampu yang aku bisa. Sebuah gelas kaca melayang tepat di atas kepalaku. Darah segar merembes memberi warna lain pada hijab yang kukenakan.
Aku terus berlari dan berlari mencari perlindungan. Menghindari kejaran laki-laki yang pantas kupanggil iblis. (*)
Rizqa A Harefa, seorang ibu pencinta literasi. Mengais ilmu walaupun usia semakin bertambah. Mengarungi lautan literasi untuk berkarya dan menyampaikan kebaikan melalui tulisan.
Editor : Fitri Fatimah
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.