Rumah Seniman
Oleh: Erlyna
Di ujung tikungan kompleks perumahan, ada sebuah rumah yang selalu mencuri perhatianku. Rumah itu tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Sejak pertama kali melihatnya, yang ada di pikiranku adalah rumah itu mirip karakter seseorang.
Jika diibaratkan sebuah profesi, rumah itu adalah seorang seniman. Misterius dan nyentrik. Di halamannya, tumbuh sebuah pohon dengan daun-daun kecil rimbun yang menjulang menyelimuti atap. Di bagian batangnya, terpasang sebuah papan bekas bertuliskan larangan parkir di depan pintu yang dicat seadanya. Terkadang sebuah sapu lidi ikut bersandar di batang pohon yang berbentuk mirip tubuh ular. Sapu lidi itu sepertinya biasa digunakan untuk menyapu halaman dari guguran daun-daun di atasnya. Terlebih lagi, tepat di sisi kanan pohon itu, tergeletak alat-alat kebersihan lain seperti ember, serok sampah dan sapu ijuk yang terlihat sudah usang.
Tentu saja semua terlihat tidak terawat. Rumah “seniman” itu sudah lama kosong. Bahkan tempat itu sudah tidak berpenghuni sejak aku pindah ke sini dua tahun lalu. Alat-alat kebersihan itu biasa digunakan warga yang kebetulan mendapat giliran membersihkan kompleks.
Sementara pintunya yang berwarna merah pudar, dipenuhi tempelan kertas aneka rupa. Di antaranya ada daftar harga barang-barang kebutuhan pokok, daftar aneka es dan pemberitahuan bahwa rumah tersebut juga menjual gas 3 kg. Semua tulisan-tulisan itu sudah luntur dan tidak keruan. Penampilannya semakin mencolok karena kaca yang menghiasi pintu itu pecah, menyisakan ruang gelap di dalam sana. Dilihat dari pecahannya, sepertinya bekas lemparan batu.
Namun, ada yang menarik dari jajaran kertas-kertas usang itu. Sebuah kertas yang terlihat belum lama ditempel, seolah-olah menatap tajam saat aku iseng membacanya. Pemberitahuan dari sebuah koperasi simpan pinjam. Katanya rumah ini disita sebagai jaminan. Sepertinya pemilik rumah ini terlilit utang dan tidak sanggup membayarnya.
Di samping pintu ada sebuah jendela terbuka dengan kaca hitam di dalamnya. Sehelai kain putih kehitaman melambai-lambai di antara keduanya. Konon kata orang-orang yang sering membersihkan halaman rumah ini, jendela tersebut tidak mau tertutup meski dicoba berkali-kali.
Seorang laki-laki pernah iseng mengintip ke dalam kegelapan lewat kaca hitam jendela itu, katanya dua buah cahaya menyilaukan menghadang. Seperti sepasang mata yang menantang dan terlihat marah.
Aku tidak percaya dengan hal-hal mistis. Yang kudengar, dinding bercat oranye yang memudar itu sebetulnya berwarna senada dengan pintu dan jendela. Dinding itu berubah warna karena terlalu sering terkena cahaya matahari. Lantainya yang berhias keramik warna putih, dihiasi noda-noda hitam di beberapa titik. Seperti warna darah yang mengering. Lega sekali rasanya. Semua masih terlihat sama, seperti terakhir kali aku memasuki rumah ini lima bulan yang lalu, untuk gantung diri.
Purworejo, 2 Maret 2019
Erlyna, perempuan sederhana kelahiran Jakarta yang menyukai dunia anak-anak. Hobi makan, melamun dan menyaksikan anak-anak menciptakan keajaiban.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata