Rumah Nenek (Part 3)
Oleh : Lusiana Mak Serin
“Allahu Akbar.” Ayah mulai takbiratul ikhram. Suara gedoran di pintu, jendala, depan, samping, maupun belakang perlahan berkurang, tak berapa lama gedoran berhenti, berganti dengan suara lengkingan kesakitan juga jeritan yang membuat bulu kuduk merinding. Aku juga Mbak Lova saling menatap. Seram rasanya.
“Ayo, sholat,” ujarnya tanpa suara.
Setelah sholat usai, keadaan kembali sunyi. Suara jangkrik terdengar bersahutan. Suasana yang tadi terasa mencekam, entah mengapa seperti menguap. Damai rasanya.
“Baru ini Nenek mendapat gangguan seperti ini. Apa karena sekarang kalian ada di sini?” Nenek membuka pembicaraan sembari melipat mukena.
“Berarti sebelumnya sering, Nek?” tanya Pram, kaget. Nenek tersenyum sembari mengangguk.
“Tapi tak sampai seperti tadi. Paling hanya dengar suara tawa, atau jendela Nenek diketuk-ketuk lirih. Kadang terdengar suara orang berjalan dari ruang tengah trus ke belakang, nimba air di sumur,” terang Nenek yang membuatku ikut kaget.
“Beberapa malam, dari awal pindah sampai kemarin, Dya denger suara itu, Bu,” ujar Ibu, memberi tahu Nenek.
“Kamu buka pintu pas dia lewat? Atau malah ngintip lewat lubang kunci?” tanya Nenek, yang kujawab dengan gelengan kepala.
“Dya tak berani, Nek. Jadi belum pernah tahu apa atau siapa yang lewat.”
“Sebenarnya sejak kalian memutuskan pindah kemari, Nenek ingin sekali memberi tahu kalian tentang rumah ini. Banyak hal, tapi entah mengapa tak kunjung mendapat keberanian. Tapi karena kejadian tadi, lebih baik Nenek ceritakan semuanya.”
“Memang ada apa, Bu? Kenapa dengan rumah ini?” Ayah terlihat penasaran.
“Dulu, Nenek sebenarnya tidak tinggal di sini. Tapi sejak Mbah Buyut Kakung juga Putri sering sakit, beliau berdua menginginkan Nenek merawat beliau. Kakek pun setuju. Akhirnya kami tinggal di sini. Mbah Buyut Kakung itu termasuk orang yang ‘bisa’. Ngerti ‘kan maksud Nenek?”
“Bisa, maksudnya dukun gitu ya, Nek?” Pram bertanya dengan polos. Nenek mengangguk.
“Mbah Buyut dulu sering mengobati orang. Orang kesurupan, orang sakit yang tak normal, bahkan terkadang ada yang minta bantuan untuk dilariskan jualannya. Tapi beliau anti bila harus berbuat jahat. Tak ingin berurusan dengan ilmu hitam. Karena itu bisa dibilang musuh Mbah Buyut Kakung itu banyak. Yaitu, musuh dari orang-orang yang ditolong, karena santet yang dikirimkan gagal menyengsarakan korban. Ketika ada orang yang kena teluh atau santet datang ke rumah, kemudian sembuh karena ditolong Mbah Buyut Kakung, tak lama Mbah Buyut Putri akan sakit, terkadang Kakek, kadang Nenek. Bahkan kadang ayahmu, juga saudaranya. Entah Bude, Om, Paman. Kan dulu anak-anak Nenek masih kecil-kecil. Jadi, dukun yang santetnya dihilangkan Kakek Buyut, tak lama akan membalas. Kalau tak kena Kakek Buyut, minimal keluarganyalah.”
“Katanya santet itu bisa buat orang lain meninggal. Tapi alhamdulillah, Nenek masih hidup sampai sekarang,” celetuk Pram, yang langsung kena cubit Ibu. Nenek tersenyum.
“Kata Kakek Buyut, rumah ini sudah dikasih pagar gaib. Jadi kalaupun tembus, akibatnya tidak fatal.”
Kami manggut-manggut mendengar penjelasan.
“Lalu, apa yang terjadi?” Ibu mencoba bertanya.
“Sejak Kakek Buyut sakit-sakitan, kami makin sering diganggu. Melihat kondisi kami yang memprihatinkan, Kakek memutuskan untuk minta diajari bagaimana cara menangkal santet, agar kami tidak diganggu lagi. Sebenarnya tujuan Kakek baik, hanya saja caranya yang salah.”
Ayah terlihat mengangguk-angguk. Cerita Nenek mulai membuat kami paham.
“Berarti Kakek selama ini memiliki ilmu seperti itu ya, Nek?” tanya Pram dengan polosnya. Nenek mengangguk membenarkan.
“Mungkin di situlah setan menjerumuskan manusia. Tujuan Kakek sebenarnya baik, tapi dilakukan dengan cara yang salah. Walaupun Kakek juga tak pernah menggunakan ilmunya untuk kejahatan. Hanya untuk menjaga kami.”
“Setelah Kakek meninggal, gangguan mulai terjadi, begitu ya, Bu?” tanya Ayah. Nenek mengangguk.
“Sebenarnya, ayahmu waktu itu agak sulit meninggalnya. Karena beliau ingat pusakanya. Siapa yang akan menjaganya nanti. Sedangkan ayahmu tahu, kamu tak akan mungkin mau. Bahkan di hari-hari ketika sakitnya mulai parah, satu ketika ayahmu menangis. Beliau minta maaf telah salah jalan, bahkan menyesal. Tapi, Ibu berharap tobatnya ayahmu diterima Allah.” Aku melihat ada setetes bening yang turun dari mata Nenek, tak lama beliau terisak, pundaknya berguncang.
“Bu, doakan saja, semoga Ayah mendapatkan tempat terindah,” ujar Ayah, mencoba menghibur.
Brak! Terdengar suara benturan dari pintu belakang yang membuat kami semua terlonjak. Aku melirik jam dinding yang sudah menunjuk pukul sebelas. Terdengar tawa lirih yang mendirikan bulu roma. Suaranya dari kamar Bi Darmi.
“Ayah, Bi Darmi,” bisik Ibu. Mbak Lova memegang lenganku erat sampai terasa sakit.
“Mbak, sakit.”
“Maaf, maaf.”
Kriieeettt ….
Terdengar suara pintu dibuka. Bi Darmi muncul dengan senyum sinis yang tampak mengerikan.
“Kalian akan menerima pembalasan dariku, karena kakek buyut kalian, ayahku mati mengenaskan.” Suaranya rendah, seperti bukan suara Bi Darmi.
“Kamu kenapa, Darmi? Eling, Mi. Istigfar.” Nenek tampak antara mengiba juga sedikit takut. Rasanya menakutkan melihat Bi Darmi yang tertawa cekikikan padahal tak ada hal yang lucu, bahkan tatapan matanya membuat merinding.
“Mbok pikir aku kesurupan? Aku waras! Asal kalian tahu ya, sudah lama aku memendam dendam sama kalian. Gara-gara mbah buyut kalian membalikkan santet yang dikirim bapakku, bapakku mati, dan ibuku menjanda. Kalian gak akan merasakan bagaimana pedihnya hidup kami kala itu. Belum lagi diusir dari rumah kami sendiri. Sejak itu, Ibu mulai mengajariku bagaimana balas dendam. Dia mengajari ilmu milik Bapak. Saat mbah buyutmu mati, kami merasa waktunya tepat untuk membalaskan dendam. Karena tak ada yang akan melindungi kalian. Sayangnya kakek kalian tahu yang dihadapi mbah buyut kalian. Hasilnya, kami kembali mengurungkan niat, tatkala tahu suamimu belajar membentengi rumah ini. Kematian suamimu merupakan kesempatan besar buat kami, hai Suryani. Hahahahaha.”
Kami merapat. Ayah mencegah Nenek hendak berdiri dengan memegang lengan beliau.
“Bi Darmi, maaf. Tapi untuk apa balas dendam? Sedangkan kami saja bahkan tak tahu seperti apa kesalahan juga kejadian yang menimpa bapaknya Bi Darmi.” Ayah sepertinya berusaha membujuk.
“Diam, kamu! Kamu bisa ngomong begitu, karena kamu tak pernah merasakan seperti apa rasanya kehilangan bapak, juga terusir dari rumah sendiri. Bapakku dulu orang yang ditakuti, tapi setelah mati, malah kami yang diusir. Biadab kalian semua!” Bi Darmi menunjuk kami, terlihat tak terima.
“Kalian akan diteror. Sampai satu per satu dari kalian mati mengenaskan. Lihat saja, dan aku akan menikmatinya. Hahahahaha!” Bi Darmi berjalan perlahan ke belakang. Semua pintu masuk digedor tanpa henti. Pram memeluk Ibu erat. Kulihat dia terisak ketakutan. Mbak Lova memegang erat lenganku, ekspresinya sama dengan Pram, ketakutan. Begitu pun Ibu pun. Tapi, tak kulihat sedikit pun ketakutan pada wajah Ayah, malah hanya tampak kesedihan.
“Jangan pernah takut oleh jin. Kita manusia. Makhluk paling sempurna,” kata Ayah, terlihat tegar. Ketukan di pintu dam jendela mulai melemah.
“Ayah, mereka mulai pergi.” Ibu melepas pelukan Pram. Mbak Lova juga sudah mulai tenang. Sebenarnya aku juga sama takutnya dengan Mbak Lova. Bagaimana tidak? Di tempat baru tiba-tiba saja diteror makhluk tak kasatmata.
“Ini teguran untuk Ayah. Harusnya Ayah membimbing kalian lebih keras lagi. Mulai sekarang, kita akan sholat berjemaah. Tak ada yang tak ikut kecuali datang bulan. Setelah Maghrib kita akan membaca Al-Qur’an bersama sampai masuk waktu Isya. Radio boleh hidup dari pagi sampai sore, tapi lebih baik kita mendengar murotal,” perintah Ayah. Kami mengangguk.
“Dya, besok sudah mulai kerja, ‘kan? Apa langsung mulai kost?” Tiba-tiba ayah mengajukan pertanyaan padaku.
“Iya, Ayah, besok Dya sudah mulai kerja. Tapi karena perkuliahan belum masuk, jadi sampai dua bulan ke depan Dya masuk seperti karyawan lain, delapan jam kerja. Nanti Dya pulang kok, Yah.”
“Bagus. Jadi Ayah masih bisa ngontrol kalian. Ini bukan karena Buyut Kakung atau siapa pun. Ini karena kita. Kita tak dekat dengan Allah. Jadi Allah menguji kita lewat Bi Darmi. Nikmati saja prosesnya, jangan mengeluh, jangan merasa kita paling menderita. Setelah ini kita juga harus sering-sering mengadakan pengajian di rumah. Undang tetangga kanan-kiri sembari perkenalan, juga silaturahim. Nanti Ayah akan meminta tolong ustaz-ustazah teman Ayah untuk mengisi pengajian.”
Kami mengangguk setuju. Mencoba legowo dan menerima keputusan Ayah.
***
Sudah seminggu aku bekerja. Alhamdulillah teman juga atasan semuanya baik. Hari ini aku memutuskan untuk pulang lebih cepat, tak ingin kumpul bersama teman-teman karena setelah Maghrib akan ada pengajian.
“Dya, kamu beneran gak ikut kita hari ini?” Mbak Aira mendatangi mejaku dengan wajah sedih.
“Maaf banget ya, Mbak. Hari ini di rumah ada pengajian setelah Maghrib sampai Isya, jadi aku harus bantu bantu ibu juga kakakku.”
“Pengajian?”
Aku mengangguk.
“Orang luar boleh ikut gak, Dya?” Tiba-tiba saja Kak Dhisti nimbrung. Aku tersenyum mendengar pertanyaan salah satu seniorku tersebut.
“Kak Dhisti mau ikut? Hayuklah, biar pesertanya nambah,” jawabku. Wajah di hadapanku berubah cerah.
“Ra, mending ke rumah Dya aja, yuk. Kita gak pernah, loh, dateng ke kajian-kajian. Mumpung ada kesempatan.” Kak Dhisti membujuk kak Aira yang terlihat bete.
“Tapi kostumku begini, apa gak salah kostum nanti?” Kak Aira menunjuk rok sepan di bawah lutut miliknya.
“Gampang, Kak, nanti aku pinjami mukena. Jadi pakai mukena aja nanti.”
“Kalau gitu berangkat sekarang, yuk,” ajakku.
Mereka berdua yang langsung mengangguk dan segera bersiap-siap. Namun, belum apa-apa, seruan seseorang menghentikan langkah kami.
“Wooyy, kalian bertiga, kita nanti jadi gak?” seru dari Kak Bram.
“Sori, Bram, kita mau ke rumah Dya,” jawab Kak Dhisti.
“Ada apa? Kenapa tiba-tiba? Ada makan-makannya, gak?” Kak Bram menoleh padaku. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban.
“Wah, jangan-jangan si Dya ulang tahun. Ya udah, aku ajak anak-anak sekalian, deh. Kan sayang kalau hidangannya sisa.” Mendengar ucapan Kak Bram, Kak Aira terkikik geli.
“Gak papakah, Dya, kalau banyak yang ikut?”
“Gak papa, Kak. Kami udah nyiapin makanan sama kue juga, kok. Sekalian buat perkenalan juga,” jawabku sembari nyengir.
Tak berapa lama semua sudah siap berangkat. Sebelumnya aku sudah menelepon Ibu untuk menambah persiapan hidangan karena para senior di kantor akan ikut. Ibu mengiyakan. Aku membayangkan pengajian pertama hari ini akan ramai. Semoga para senior nanti tidak kaget.
Bersambung …
Seorang wanita yang mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak Serin yang menunjukkan bahwa dia seorang emak-emak. Walau begitu, tak ingin disebut tua, lebih suka dengan kata dewasa. Biasa menulis status gaje. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini mulai mencoba serius dalam dunia kepenulisan. Mumpung ada di negara orang, ingin belajar dunia tulis menulis sebanyak-banyaknya. Karena tahu andai di rumah akan kesulitan membagi waktu. Untuk nama akun sosial media di FB atas nama Lusiana Ayuningtyas dan untuk IG atas nama Lusiana_Mak_Serin.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata