Rumah Nenek (Part 2)
Oleh : Lusiana Mak Serin
Sudah hampir seminggu kami pindah. Ada beberapa hal yang terasa janggal dan mengganggu. Sejak hari kedua pindah, hampir setiap jam dua-tiga pagi aku sering mendengar orang berjalan lewat depan kamar. Mengapa aku tahu? Karena orang tersebut berjalan dengan menyeret alas kaki yang dipakainya, jadi terdengar jelas sekali. Tak lama terdengar suara orang menimba air di sumur yang ada di belakang. Letak sumur itu berhadapan dengan dua kamar mandi yang bersebelahan. Sumur tersebut masih jadi satu dengan dapur juga tempat cucian piring. Ya, Nenek masih punya sumur, bahkan tak pernah kering walaupun kemarau panjang. Ada pompa air otomatis yang dipasang Ayah setahun lalu. Itu kejadian pertama.
Kejadian kedua, beberapa kali jendela kamarku diketuk-ketuk pada pukul dua belas malam. Ketukan halus, sebanyak tiga kali. Setelahnya senyap. Lalu ada ketukan halus lagi pukul tiga dini hari. Mungkin itu ranting pohon yang memang berada tepat di sebelah jendela kamar, pikirku. Aku tak mau berpikir macam-macam. Takutnya tersugesti, dan malah membuatku semakin ketakutan tak jelas.
Siang ini aku berbisik pada Ibu saat kami sibuk belajar mengadon cake dengan Nenek. Menanyakan apakah Ibu mendengar suara orang berjalan, lalu menimba air di sumur. Tapi Ibu tak mendengar. Padahal beliau pada jam-jam segitu biasanya bangun untuk sholat malam.
“Jangan-jangan itu suara langkah kaki Ibu?” bisikku pelan.
“Ibu gak ada nimba air. Langsung hidupin pompa,” jawab Ibu, juga sembari berbisik.
Lalu, siapa yang sudah tiga hari ini mondar-mandir? Pertanyaan tanpa jawaban memenuhi kepala.
“Coba nanti Dya intip aja ya, Bu?”
“Kamu berani?” Ibu malah balik bertanya.
Aku menjawab pertanyaan Ibu dengan gelengan juga cengiran. Ibu mencolek hidungku dengan tangannya yang berlepotan adonan kue.
“Ibuuu!” protesku, sedang Ibu hanya tertawa melihat wajah cemberut yang kubuat.
***
Malam menjelang. Jam dinding di ruang tamu masih menunjukkan pukul delapan. Suasana sunyi. Namanya di pinggiran kota, belum terlalu malam tapi suasana sudah sepi. Bahkan tak terlihat tetangga yang wara-wiri seperti ketika masih di rumah lama. Sepertinya semua lebih senang berdiam diri dalam rumah. Hanya saja malam ini aku lapar. Ingin makan mi dok-dok yang lewat kemarin.
Pagi tadi ketika Ibu bertanya perihal penjual makanan yang lewat malam hari pada tetangga yang sedang asyik mengelilingi abang penjual sayur. Bukannya memberi tahu, mereka malah bercerita hal seram yang terjadi pada beberapa penjual makanan tersebut. Sebenarnya ada beberapa penjual makanan, hanya saja mereka lebih memilih jalan memutar, tidak lewat depan rumah Nenek.
Kalau dari cerita para penjual, sejak Kakek meninggal, beberapa kali mereka dijaili. Ada yang dengar suara kikik perempuan. Cerita lain, dagangannya diborong, tapi ketika pagi uangnya berubah jadi daun. Ada lagi yang didatangi sosok pocong sampai-sampai gerobaknya ditinggal di tempat. Karena hal tersebut, para penjual memutuskan untuk memilih jalan memutar. Walau lebih jauh, tapi risiko diganggu makhluk halus jauh lebih kecil.
“Mbak Dya ngapain sih mondar-mandir macam setrikaan Ibu aja?” celetuk Pramudya, adikku yang saat ini kelas dua SMP .
“Laper, Pram, nunggu penjual mi dok-dok.”
“Ntar dia lari, lagi, kayak kemarin pas dipanggil Ibu?”
Kami tergelak. Ya, kemarin Ibu berencana membeli mi dok-dok. Kata tetangga sebelah, mi dok-dok itu cukup enak. Karena penasaran, Ibu sengaja menunggu penjual mi tersebut lewat. Kebetulan kostum Ibu kemarin daster yang batiknya warna putih. Mungkin karena cerita seram dari teman sesama penjual, ketika tahu sosok berbaju putih melambai, tanpa ba bi bu si penjual mi lari terbirit-birit meninggalkan gerobaknya tepat di depan rumah.
Ibu tertegun melihat hal tersebut. Kami—aku, Pram, dan Mbak Lova—tertawa terbahak-bahak, kebetulan kami sedang berkumpul di teras rumah karena udara panas. Tak lama penjuak mi dok-dok kembali bersama seorang satpam, juga Pak Dedi tetangga sebelah rumah dan Pak RT. Setelah mengetahui situasi sebenarnya, akhirnya penjual mi tersebut mau memasak mi untuk kami. Selain untuk permintaan maaf, beliau juga ingin membuktikan bahwa minya memang benar-benar enak.
Hari ketujuh setelah pindah. Aku menatap kalender yang digantung di sebelah lemari. Besok sudah mulai kerja. Selama libur semester, aku bisa kerja dengan jam kerja penuh seperti orang-orang. Kalau perkuliahan sudah mulai aktif, mungkin hanya bisa empat atau lima jam, entahlah.
Jam weker menunjukkan pukul delapan malam. Terdengar Pram juga Mbak Lova sepertinya sedang berdebat. Suaranya terdengar dari pintu kamar yang belum menutup sempurna. Makin lama makin tinggi nada suara kakak perempuanku itu. Aku bergegas keluar kamar untuk melerai. Namun, begitu pintu terbuka, aku terbengong ketika mendapati hanya ada Ibu dan Ayah yang sedang asyik menonton TV. Lalu, ke mana Pram juga Mbak Lova?
“Yah, mana Pram sama Mbak Lova?”
Ayah mengernyitkan dahi. “Kamu lupa ya, Dya? Mbakmu sedang mengantar adikmu ke toko ATK, nyari bahan buat bikin ketrampilan besok lusa.”
Oiya, baru ingat kalau mereka berdua keluar sejak sebelum Isya tadi. Lalu, suara siapa tadi? Mirip sekali dengan suara mereka berdua. Aku menggaruk kepala yang tak gatal.
Brak! Terdengar seperti ada benturan. Ayah langsung melompat berdiri lalu melesat ke pintu depan, sedang aku dan Ibu saling menatap dengan khawatir. Aku mendengar suara, seperti suara Pram juga Mbak Lova. Keduanya terdengar mengaduh.
“Dya, tolongin Ayah!” teriak Ayah dari luar.
Aku berjalan cepat menuju teras depan. Begitu membuka pintu, terpampang pemandangan Pram yang dipapah Ayah, sedang Mbak Lova duduk di jalan semen sembari meniup-niup luka gores di lengannya. Terlihat motor Scoopy merah tergeletak dengan goresan parah di bagian depan. Spion terlihat pecah berantakan. Segera kudekati Mbak Lova. Jinsnya robek di bagian lutut, tapi sepertinya yang luka hanya bagian lengan, siku, juga punggung tangan.
“Mbak bisa berdiri?”
Mbak Lova mengangguk sembari menerima uluran tanganku. Aku menuntunnya dengan hati-hati, terutama ketika Ayah kembali keluar, berjalan melewati kami untuk memasukkan motor ke dalam garasi. Begitu masuk rumah, kami disambut Ibu yang sudah siap dengan kotak P3K. Aku mendekati Pram. Lukanya sedikit parah, terutama di bagian lutut kanan. Perlahan Ibu membersihkan luka adikku tersebut. Dilihat dari ekspresinya, sepertinya perih.
“Kalian ini kok bisa, sih, naik motor sudah sampai depan rumah, kok ya, pake nabrak pager?” omel Ibu. Mbak Lova menatap Ibu ragu, melihat sekeliling, entah memastikan apa.
“Nenek udah tidur, Bu?”
Ibu mengangguk menjawab pertanyaan Mbak Lova.
“Tadi aku liat perempuan rambut panjang duduk di salah satu cabang pohon mangga, setelahnya denger ‘hihihihi’ gitu. Eh, abis itu dia terbang lewat di depan motorku, ya aku kagetlah. Makanya nabrak pager.”
“Kamu tahu gak, Dik?” Aku menanyai Pram.
“Tahu. Mukanya serem banget. Berdarah-darah. Awalnya aku gak tahu. Kirain jemuran siapa gitu kebawa angin. Kan tadi pas banget anginnya gede. Eh, kok ada tangan sama kakinya. Abis itu malah denger dia ketawa. Kan serem. Kaget pas tahu tahu dia nyamber. Apalagi Mbak Lova yang bagian nyetir, pasti kaget.”
Ayah saling pandang dengan Ibu, tanpa mengucapkan apa pun. Hanya saja kulihat ekspresi keduanya tampak begitu was-was.
“Hihihihihi.” Terdengar suara tawa perempuan yang membuat bulu kuduk meremang. Terdengar jauh, tapi jelas. Kami saling pandang.
“Ayah dengar?” tanya Mbak Lova, memecah keheningan.
“Aku dengar, Mbak,” ujarku.
“Pram juga.”
“Ibu juga.”
Kami saling berpandangan. Segera Ayah menutup pintu. Entah mengapa suasana berubah mencekam. Rasanya ada sesuatu yang membuat bulu kuduk meremang.
“Dya, Mbak tidur di tempatmu, ya?” tanya Mbak Lova. Aku segera menggangguk.
“Kita tidur bersama aja, nanti biar Ayah tidur dengan Pram,” putus Ibu, yang langsung kami setujui. Hasilnya, kami sudah berdesak-desakan di ranjang kamarku. Sempit.
“Sepertinya ranjang tempat Ibu lebih besar, biar Ayah tidur di tempat Pram saja. Kita pindah ke kamar Ibu.”
Kami segera pindahan ke tempat Ibu sambil membawa selimut masing-masing. Entah kenapa malam ini suasananya berbeda. Lebih mencekam. Sepertinya berawal dari sore tadi ketika mendengar suara Mbak Lova bertengkar dengan Pram.
Kulirik Ibu dan mbak Lova belum juga tidur, keduanya terlihat gelisah.
“Bu, ingat pas tadi Dya nyari Mbak Lova?” Aku membuka pembicaraan.
“Kenapa nyariin Mbak?” Kakak perempuanku itu bertanya.
“Sebenarnya tadi Dya denger Mbak Lova berantem sama Pram. Bahkan Dya denger bukannya makin tenang, malah suara Mbak Lova makin kenceng berantem sama Pram. Dya lupa kalau Mbak pergi sama Pram. Makanya pas buka pintu, niatnya mau ngelerai, ternyata gak ada. Bingung. Tadi suara siapa?” tuturku akhirnya. Tak ada jawaban dari keduanya, aku menatap Ibu juga kakakku. Kami saling tatap bergantian.
Tiba-tiba terdengar gedoran dari pintu depan yang membuat kami terlonjak kaget karena saking kerasnya. Aku melirik jam meja glow in the dark. Sudah pukul sepuluh lewat. Siapa yang bertamu malam-malam begini? Bahkan menggedor-gedor pintu rumah orang.
Gedoran kembali terdengar, kali ini lebih keras, tapi tak ada suara assalamualaikum ataupun permisi.
“Kita lihat bareng-bareng, yuk,” ajak Mbak Lova.
Kami bangkit perlahan. Ketika membuka pintu kamar, ternyata Ayah, Pram, bahkan Nenek juga Bi Darmi ikut bangun. Gedoran masih terdengar, malah semakin kencang.
“Siapa jam segini menggedor-gedor pintu rumah orang? Tak sopan,” gerutu Ayah sembari berjalan ke arah ruang tamu.
Aku menyipitkan mata, mencoba melihat sosok yang tampak berdiri di balik pintu kayu yang tengahnya diberi kaca tembus pandang dan ditutup dengan kelambu tipis. Sesosok wajah menyeringai seram ada di balik pintu.
“Ayah, jangan dibuka!” teriakku, tepat ketika Ayah hampir memutar kunci yang tergantung di pintu.
Ayah menoleh menatap kami dengan pandangan bingung, sedang aku menggeleng kuat-kuat sembari menunjuk sosok wajah yang mengintip di balik kelambu dengan tangan gemetar. Ayah mundur perlahan ketika melihat apa yang kutunjuk. Wajah itu … menyeringai.
Gedoran kembali berlangsung, bahkan tak cuma di pintu depan, tapi juga di jendela, di pintu samping, juga di pintu belakang. Suasana berubah mencekam. Mbak Lova mulai menangis terisak.
“Kenapa kalian ini? Jangan takut. Mari wudhu, kita sholat sunnah bersama. Haris, kamu jadi imam,” perintah Nenek tegas.
Akhirnya kami beranjak ke sumur, mengambil wudhu bergantian, walau gangguan masih berlangsung. Segera bersama-sama menggelar sajadah di ruang tengah. Suasana terdengar ramai dengan gedoran-gedoran juga kikik tawa perempuan yang terdengar dari jauh tapi terasa dekat.
“Jangan takut, jangan terpengaruh. Fokus. Segera mulai saja, Ris.”
Bersambung …
Seorang wanita yang mem-branding diri dengan nama Lusiana Mak Serin yang menunjukkan bahwa dia seorang emak-emak. Walau begitu, tak ingin disebut tua, lebih suka dengan kata dewasa. Biasa menulis status gaje. Hanya saja beberapa tahun belakangan ini mulai mencoba serius dalam dunia kepenulisan. Mumpung ada di negara orang, ingin belajar dunia tulis menulis sebanyak-banyaknya. Karena tahu andai di rumah akan kesulitan membagi waktu. Untuk nama akun sosial media di FB atas nama Lusiana Ayuningtyas dan untuk IG atas nama Lusiana_Mak_Serin
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata