Rumah Makan Hijau dan Kenangan-Kenangan di Dalamnya
Oleh: Shaa
Terbaik 16 Lomba Cerpen Autofiksi
Tidak banyak yang berubah dari wanita yang selalu mengikat serbet hijau di lengan kirinya ketika saya datang, pun begitu dengan rumah makan bernuansa hijau yang masih berdiri kokoh tepat di ujung persimpangan. Yu Ama, begitulah ia biasa disapa, terbengong-bengong sebentar begitu melihat saya masuk. Tangannya yang sedang sibuk membersihkan meja dengan serbet lusuh, seketika berhenti lalu terangkat ke udara, membentuk huruf C yang ia tempelkan di mata, lalu bergerak hingga ke atas kepala. Gerakan yang berarti Bulan, nama saya.
Saya tersenyum manis sambil mengangguk. Rupanya, beliau masih mengenali saya, bahkan setelah hampir sepuluh tahun lamanya saya tidak datang. Sosoknya masih sehangat dahulu, begitu juga dengan tatapan matanya yang selalu terlihat tulus, bedanya kini kelopaknya dihiasi kerutan-kerutan yang menggelambir. Ah, seharusnya saya datang berkunjung lebih cepat.
Saya menarik sebuah kursi di bagian sudut belakang, yang kemudian diikuti oleh Yu Ama yang bertanya apa yang hendak saya pesan, dengan menggunakan isyarat tangannya.
Dahulu, saat saya berusia delapan tahun, Ibu yang harus bekerja sampai malam sering meninggalkan saya sendirian. Kesepian membosankan kerap merundung saya, yang akhirnya membuat saya memberanikan diri untuk berjalan-jalan keluar meski sebenarnya Ibu melarang. Namun, saya yang waktu itu baru saja pindah ke lingkungan baru, sama sekali tidak memiliki teman.
Langkah-langkah gontai saya pun sampai ke depan rumah makan hijau. Di depan rumah makan itu, duduk seorang anak perempuan yang sedang membaca sebuah buku di pangkuannya, sambil menggoyang-goyangkan kakinya.
Saya yang sempat ragu, akhirnya memberanikan diri untuk menyapa. Awalnya ia tidak menanggapi sapaan yang bahkan saya ulang sampai lima kali. Ia baru menimpali begitu saya mencolek pundaknya dan ia balas tersenyum. Saat itulah saya menyadari bahwa gadis berkepang dua itu tidak bisa mendengar.
Ia memperkenalkan diri bernama Maya dengan menunjukkan coretan di bagian depan buku yang dibacanya. Senyumnya manis, dengan lesung pipi yang tidak terlalu dalam. Saat saya baru saja duduk, muncul seorang wanita berambut pendek menghampiri. Ia menatap saya beberapa saat, lalu mengajak saya masuk ke dalam rumah makan.
Entah mengapa kala itu saya tidak berusaha menolak dan mengikutinya dengan canggung. Mungkin karena saya kebetulan juga sedang sangat lapar. Setelah duduk, wanita yang mengikatkan serbet hijau di lengannya itu memberi saya semangkuk mi yang baru saja matang, lengkap dengan telur dan sayuran.
Saya diam, mulai ragu-ragu apakah boleh memakannya atau tidak. Namun, wanita itu lalu mengacungkan jari telunjuknya. Saya saat itu tidak tahu apa artinya dan mengira bahwa ia mempersilakan saya makan. Belakangan, saya baru memahami bahwa arti jari telunjuknya kala itu adalah ia sedang memberi tahu bahwa hidangan itu adalah yang paling populer di rumah makan miliknya.
Saya tersenyum saat tersadar dari lamunan. Di hadapan saya, Yu Ama masih berdiri, seolah-olah menunggu sambil membiarkan saya sibuk sebentar dengan kenangan-kenangan masa lalu yang menyeruak di dalam kepala.
Saya mengangkat tangan, mengacungkan jari telunjuk di depan mulut, yang langsung dibalas anggukan Yu Ama. Wanita itu segera pergi ke dapur di balik meja panjang yang difungsikan untuk kasir.
Hening yang kembali datang mengajak ingatan-ingatan saya kembali merasa terpanggil. Dahulu, selain sering menghabiskan waktu bersama Maya dengan membaca buku sepulang sekolah, saya sering membantunya membersihkan meja rumah makan. Kala itu, tempatnya selalu ramai sebab itulah satu-satunya rumah makan yang ada. Orang-orang terus datang dan pergi tanpa henti. Saya menikmati sekali momen-momen itu sebab rasanya tidak kesepian lagi.
Hampir seharian penuh saya habiskan di rumah makan itu, menemani Maya yang hanya tinggal berdua dengan ibunya. Dan meski selalu dilakukan berulang-ulang, saya sama sekali tidak pernah merasakan bosan sebab sering kali orang-orang yang datang mengajak kami bercanda, menceritakan banyak hal tanpa diminta, yang hanya kami balas dengan senyum atau tertawa. Dan tanpa sadar, sejak saat itu pula saya mulai mempelajari bahasa isyarat.
Saya menatap meja-meja tua yang masih tampak kuat. Salah satu dari meja itu, pernah melukai dahi saya hingga berdarah, yang bahkan bekas jahitannya masih terlihat jelas hingga sekarang. Kala itu, saya dengan penuh percaya diri membawa nampan berisi piring kotor yang lebih banyak dari seharusnya. Akhirnya keseimbangan saya goyang dan saya jatuh membentur ujung meja. Piring-piring pecah berhamburan, tetapi Yu Ama yang kebetulan melihat langsung mendekati saya, mengangkat tubuh kurus saya lalu berlari keluar mencari pertolongan menuju rumah sakit.
Ah, kenapa mata saya tiba-tiba basah?
Saat hendak mengeluarkan tisu, Yu Ama datang dengan semangkuk mi yang saya pesan. Dengan perasaan yang sulit diungkapkan, saya menatap mangkuk itu dan membiarkan air mata saya berjatuhan semakin deras.
Yu Ama menggenggam pundak saya dengan erat, seolah-olah tahu betul apa yang tengah saya rasakan dan berusaha memberi kekuatan.
Saya lalu meletakkan telapak tangan di dagu, menggerakkannya ke depan tanda terima kasih, kemudian mulai menyantap mi yang saya pesan.
Masih sama. Semuanya benar-benar masih sama. Entah itu dahulu atau sekarang, Yu Ama benar-benar mempertahankan cita rasa masakan buatannya. Ia tetap bertahan dengan rumah makan sederhana miliknya, meski kini semakin sepi sebab kalah saing dengan tempat makan lain yang lebih modern dan kekinian.
Saya menghabiskan semangkuk mi itu dengan cepat. Tepat saat suapan terakhir, tangan saya bergetar hebat hingga menyebabkan sendok yang saya pegang terjatuh. Sepasang mata saya tertuju pada sebuah foto dua orang anak perempuan yang dipajang di atas pintu masuk, foto saya dan Maya sedang tertawa sambil merapikan meja. Foto itu diambil oleh seorang fotografer yang kebetulan mampir. Ia memotret momen indah itu dan mengatakan bahwa ia ingin kembali menjadi anak-anak saat melihat kami. Itu adalah saat terakhir saya bersama Maya, sebelum ia meninggal keesokan paginya sebab tertabrak mobil saat sedang berjalan sendirian.
Foto berukuran cukup besar itu, seolah-olah sengaja dipasang di sana, untuk menyambut kedatangan saya.(*)
Sawah Besar, 29 Desember 2024
___
Komentar Juri, Lutfi rosidah:
Setiap datang ke suatu tempat yang lama tak kita kunjungi, di situ akan banyak kisah yang kembali berkelebat, tak semua indah, malah lebih sering kenangan sedih mendominasi ingatan. Begitulah, seolah penulis ingin membagi kepedihannya pada pembaca lewat narasinya.
Penulis berhasil membuat saya menarik napas dalam setelah membaca akhir cerpen ini. Semoga Maya mendapat tempat terbaik di sana.