Rumah Hantu

Rumah Hantu

Rumah Hantu

Oleh: Veronica Za

“Aku nggak mau ikut!”

“Ayolah, Rene. Kamu nggak usah takut. Kita ‘kan rame-rame masuknya,” bujuk Marry yang terus saja mendesak. Aurel dan Vano menunggu di depan rumah hantu yang berdiri di sudut paling sepi tempat festival halloween berlangsung.

Aku menangkap kekecewaan di mata bulatnya. Tentu saja Marry tak ingin menjadi obat nyamuk di antara kemesraan Aurel dan Vano. Aku melirik ke arah pasangan yang baru satu bulan jadian itu. Jemari mereka saling terpaut seakan tak bisa lagi dipisahkan. Mau tak mau aku pasrah saja menuruti keinginan Marry.

Kami berempat menatap bangunan tua yang mirip dengan rumah sakit itu dari dekat. Lampu yang remang dan suara-suara menyeramkan samar terdengar dari luar. Jendela dan pintu dipenuhi bercak darah, seolah pernah ada seseorang yang ditembak di sana. Aku merasakan cengkeraman yang kuat dan sedingin es berasal dari tangan Marry.

Di antara keseluruhan festival yang berlangsung, hanya tempat ini yang sepi akan pengunjung. Padahal para cosplayer halloween banyak berkeliaran di tengah stan-stan yang ramai menjajakan souvenir dan makanan.

Vano yang merupakan satu-satunya pria di sini, akhirnya melangkah lebih dulu sambil tetap menggenggam erat kekasihnya. Sedangkan aku dan Marry mengekor di belakangnya. Baru beberapa langkah berjalan, kami disambut wanita berambut panjang dengan rambut yang terurai di wajahnya.

Suara kikikan terdengar menggema dari sound system yang terpasang di setiap ruangan berbeda menyesuaikan dengan jenis hantu yang mereka temui. Aku melirik ke arah Marry yang semakin kuat mencengkeram lenganku. Matanya terpejam kala melihat hantu wanita itu kian mendekat.

“Aaakh!”

Suara teriakan terdengar bersahutan dari ketiga sahabatku itu sambil setengah berlari menghindari si hantu. Aku yang terseret oleh Marry, menoleh ke arah hantu yang tengah menyeringai. Bibirnya robek dari telinga kanan hingga ke telinga kiri. Pantas saja mereka kalang kabut, pikirku sambil menahan tawa.

Kami sudah berhenti berlari saat sampai di depan pintu selanjutnya. Gemetar, Vano membuka pintu kayu itu sehingga menimbulkan bunyi berderit yang menyeramkan. Lagi-lagi suara kikikan yang menyambut di sana tanpa sosok sang hantu.

Perlahan, kami melangkah menuju sisi pintu yang lain dengan harapan ruangan ini memang tak berpenghuni. Sialnya, seratus meter mendekati pintu, kami dikejutkan oleh sosok yang tiba-tiba muncul dari balik lemari tua. Tak ayal kami berempat lari tunggang-langgang melihat hantu pria yang menjinjing kepalanya sendiri. Di lehernya yang putus itu dipenuhi darah yang membuatku sedikit bergidik ngeri.

Aku mencari keberadaan Vano dan Aurel yang terpisah akibat kemunculan hantu tadi. Sepertinya mereka masuk ke pintu yang berbeda dengan kami. Mata Marry memerah menahan tangis. Ia sudah mencapai puncak ketakutannya.

“Kamu masih kuat?” tanyaku iba.

“Kamu nggak takut?” Marry malah balik bertanya dengan suara yang bergetar.

Aku menggeleng. Sejak masuk tadi aku memang tak merasa takut, hanya terkejut dengan kemunculan hantu yang tiba-tiba itu. Tak ada hantu yang bisa menakutiku atau lebih tepatnya sudah terbiasa dengan mereka. Ya! Aku seorang indigo. Tak pernah satu hari pun aku melewatkan hari tanpa melihat mereka.

Kami melanjutkan perjalanan menuju pintu berwarna merah tua yang tertutup rapat. Suara berderit kembali memekakkan telinga. Entah kenapa terasa ada yang berbeda di ruangan ini. Sunyi senyap tanpa sedikit pun suara.

Mataku menyapu ruangan yang mirip ruang operasi itu. Ada berbagai jenis alat-alat operasi yang digunakan para dokter. Bedanya, semua itu sudah penuh dengan bercak darah yang membuat Marry tak mau membuka matanya.

Di atas ranjang ada sesosok pria seumuran mereka tengah duduk dengan kaki menjuntai. Tatapannya terarah pada kedua kakinya yang bergoyang lemah. Sesekali terdengar suara gumaman yang keluar dari bibir pucatnya. Penasaran, aku mencoba mendekat sambil menarik tangan Marry.

Meski sudah mempersiapkan diri, aku tetap saja terkejut saat wajah sepucat susu itu tiba-tiba menoleh dengan cepat. Sosok itu sama sekali tidak menakutkan malah terlihat tampan. Ia turun dari ranjangnya dan menghampiriku yang terpaku.

Degh! Perasaan tak nyaman mulai menghampiriku saat jaraknya semakin dekat. Bibirku mendadak kelu dan tak bisa bergerak sedikit pun. Aku bahkan tak lagi merasakan tangan Marry yang berkeringat. Hawa panas menjalar ke seluruh tubuh. Aku terpejam mencoba menahan tekanan yang semakin kuat. Aku kalah!

***

Aku membuka mata di tengah ruangan serba putih yang dipenuhi orang-orang berbaju biru dan menggunakan masker. Tangan mereka berbalutkan sarung tangan medis layaknya dokter yang tengah mengoperasi pasiennya. Mereka hilir mudik seolah tak melihat keberadaanku.

Aku berjalan menuju sisi ranjang yang berada di tengah ruangan. Monitor jantung dan segala macam alat operasi tersaji di meja kecil. Aku terperangah saat melihat pasien yang terbaring lemah dengan tubuh dipenuhi selang dan kabel yang tak kuketahui kegunaannya.

Wajahnya sama persis dengan hantu pucat yang tadi kutemui. Aku tersadar, dia bukan hantu bohongan melainkan sungguhan. Apakah ia ingin aku tahu sesuatu? Baru kali ini aku berada di situasi seperti ini.

Dokter mulai mengoperasi jantung pemuda itu dengan cekatan. Awalnya operasi berjalan lancar dan terkendali hingga menjelang akhir tindakan, jantung itu tak kunjung berdenyut kembali. Segala cara dilakukan tapi tak membuahkan hasil. Dokter bedah itu menyerah dan menentukan waktu kematian pasien. Ia pun berlalu setelah memberi perintah dokter junior untuk menutup luka operasi. Sayangnya, tindakan tak terpuji malah dilakukan oleh dokter itu.

Sam–begitu nama yang kudengar, ia tak segera menutup luka melainkan mengambil kedua ginjal pasien itu. Dengan picik ia bekerja sama dengan salah satu perawat di sana. Setelah mendapat yang ia inginkan, dengan segera ia menutup luka tadi seolah tak ada yang salah. Aku menangis menyaksikan kebiadaban dokter gila itu memanfaatkan organ tubuh pasien yang meninggal.

Perlahan pandanganku kabur tertutup cahaya putih nan menyilaukan.

***

“Aku hampir mati saking takutnya waktu kalian tiba-tiba menghilang. Aku pikir kita akan gagal menemukan jalan keluarnya.”

Vano dan kedua sahabatku masih saja semangat saat membahas malam itu sambil menikmati bakso di kantin sekolah. Aku sendiri malah tak mengingat bagaimana cara kami keluar dari rumah hantu itu.

“Oh iya, di kelasku ada anak baru pindahan dari luar kota. Namanya Ares. Katanya dia kenal sama kamu, Ren. Ternyata teman pendiam kita ini punya kenalan cowok ganteng begitu. Pantas saja sampai akhir SMA begini masih belum pacaran juga!” ledek Aurel yang memang berbeda kelas denganku.

“Ares? Aku nggak punya teman yang bernama Ares!”

“Masa? Tapi, dia bilang kalau kalian saling kenal.”

“Hah?”

“Eh, tuh dia orangnya ke sini. Ares!” teriak Aurel sambil melambaikan tangan.

Sontak aku menoleh ke arah yang ditunjuk Aurel. Cowok itu sama persis dengan sosok hantu itu. Yang berbeda kali ini, dia tersenyum. Pun wajahnya yang tak sepucat susu.

Dia terus melangkah, mengikis jarak di antara kami hingga sebatas dirinya bisa mendengar suara yang berdegup kencang di dadaku.

“Hai, Rene! Apa kabar?” (*)

 

Tangerang, 08 Juli 2018

Veronica Za, seorang pemimpi yang masih setia dengan impiannya.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata