Rumah
Oleh : Vianda Alshafaq
Jam tangannya terasa berdetak dengan cepat seperti detak jantungnya yang bergemuruh, melampaui jumlah detak normal per menitnya. Ditatapnya tumbuhan-tumbuhan yang semakin tertinggal jauh di belakang, semakin jauh dan semakin jauh lagi. Sesekali dia mengulurkan tangannya dari jendela mobil, menanti beberapa tetes air yang datang dari langit. Dia sedang dalam perjalanan menuju … rumah.
Ada apa dengan rumah sehingga dia selalu mendapat surat dari wanita yang wajahnya sudah kisut, ibunya, agar dia segera pulang? Rasanya enggan sekali untuk datang ke rumah yang lebih layak disebut gubuk itu. Namun, dia juga tak tega selalu mengabaikan surat-surat yang diantar tukang pos. Dia selalu terbayang wajah ibunya ketika melihat surat-surat itu tergeletak begitu saja di atas meja dan tak pernah dia buka.
Jalanan tidak begitu ramai. Entahlah, mungkin semesta tengah mendukungnya untuk pulang sehingga dia tak perlu merasakan yang namanya kebosanan selama perjalanan. Dia memejamkan matanya, menikmati semilir angin yang menampar wajah, dingin, nyaman, dan entahlah, tak bisa digambarkan.
Mobil itu berhenti tepat di depan rumah. Ditatapnya rumah itu lamat-lamat. Dinding dari anyaman bambu yang sudah usang, pintu dari susunan papan yang sudah reot, dan atap rumbia yang terlihat sangat lapuk. Lalu, matanya menangkap sebuah jendela berkaca plastik yang sudah berlumut karena sudah terlalu lama terpajang di sana dan sering terkena percikan air hujan. Tangganya yang hanya terdiri dari tiga anak tangga, terlihat sangat lapuk. Entah masih bisa menjadi pijakan sebelum memasuki rumah itu atau akan patah ketika sepasang kaki bertumpu di atasnya.
“Eh, Neng. Kapan pulang?” tanya seseorang yang baru saja lewat di depan rumah itu kepadanya.
Ah, sebegitu pengtingkah bertanya perihal pulang? Entah ada apa dengan pulang sehingga kata itu selalu menjadi buah bibir orang-orang yang selalu mencoba menghubunginya. Entah melalui pesan singkat, sosial media atau bahkan dengan surat. Apalah artinya sebuah kepulangan? Toh, semua orang nanti juga akan pulang. Pulang ke ‘rumah’ yang sesungguhnya.
Dia selalu membenci apa saja mengenai kepulangan. Apa gunanya membicarakan kepulangan ketika kepulangan itu sendiri adalah bukti sebuah kepergian? Kepulangan adalah hal paling busuk dalam hidupnya. Kepulangan adalah pengakuan bahwa dia sudah ditinggalkan. Kepulangan adalah kematian yang menyuguhkannya secangkir kopi panas yang akan membakar kerongkongan.
Tak ingin membuang waktu terlalu lama, dia masuk ke dalam rumah itu dengan hati-hati. Takut anak tangga yang sudah lapuk itu tak mampu menanggung beratnya. Tangannya mendorong pintu dengan pelan, takut terlepas dari engselnya yang sudah sangat lemah. Rumah ini … bukan lagi rumah. Lebih layak disebut gudang yang ditinggal puluhan tahun mengingat keadaannya yang sangat memprihatinkan.
Di pojok ruangan, di sebuah kursi goyang, dia melihat wanita renta duduk dengan senyum manis. Senyuman yang sudah dipersiapkan sejak sekian tahun lalu untuk menyambut kepulangannya. Dia menghampiri wanita berkerudung putih yang sudah lusuh itu. Dikecupnya tangan yang sudah terlihat seperti kumpulan tulang berbalut kulit. Tidak lagi dia temukan otot-otot yang dulu sering dia urut ketika wanita itu merasa pegal atau hanya sekadar ingin diurut olehnya.
“Aku pulang, Ibu”
Tiba-tiba seorang kerabat memasuki rumah itu. Kerabat itu menatapnya aneh dan marah.
“Akhirnya kau pulang. Sudah dua tahun aku menuliskan surat yang berisi permintaan agar kau pulang. Entah untuk surat yang mana kepulanganmu hari ini,” ujarnya seperti mencemooh.
Tanpa menjawab apa pun, dia berdiri lalu berjalan menuju kamar yang sudah dipenuhi sarang laba-laba. Dia melihat secarik kertas usang di atas dipan kayu tanpa kasur. Dengan segera dia mengambilnya.
“Sejauh apa pun kepergian, muaranya tetaplah kepulangan. Semuanya tetap akan kembali ke rumah.”
Hanya itu kalimat yang tertulis di sana.
Dia menengok ke belakang, ke arah pintu. Wanita renta yang dia panggil Ibu, berdiri di sana. Ditatapnya wanita itu dengan mata yang sudah mulai basah. Sebentar lagi air langit yang tadi dia tunggu untuk menetes di tangannya, akan berpindah ke matanya sendiri.
“Aku pulang, Ibu.”
Kerabat tadi melambaikan tangannya, memintanya untuk mendekat.
“Kami tidak berani mengambil keputusan untuk membuatkannya rumah yang jauh dari rumah ini. Jadi, kami mengantarnya pulang ke belakang rumah ini,” ujar kerabat itu sembari memeluknya erat dan sesekali menepuk-nepuk bahunya.
Sepertinya kemarahan lelaki itu sudah hilang.
Dia masih diam. Tak membalas pelukan itu. Tidak juga menangis. Hanya bergeming di tempat, seperti sebuah patung yang sering dijumpai di toko-toko baju. Dengan langkah pelan, dia menuju ke belakang rumah. Yang ditujunya sudah jelas, rumah baru sang ibu.
Dibacanya baik-baik tulisan di batu nisan itu. Tulisannya masih sangat jelas karena memang baru tiga puluh delapan hari yang lalu dipasang. Di sana tertulis nama lengkap ibunya serta tanggal lahir dan tanggal … kematian. Ah, tidak! Tanggal kepulangan! Bukankah orang selalu mengumumkan sebuah kematian dengan kalimat “telah pulang ke Rahmatullah …?”
***
Ini sudah hari ke-40. Dia tengah mengemasi barangnya untuk segera pergi dari rumah itu. Kursi goyang tua itu kembali bergerak-gerak.
“Ibu, kau pulang lagi hari ini. Nikmatilah kepulanganmu hari ini, Bu. Besok kau tidak bisa lagi kembali. Kau hanya akan menetap di rumahmu yang baru.” [*]
Vianda Alshafaq, seorang mahasiswa yang sedang lelah dengan tugas-tugasnya. Bisa dihubungi melalui akun Facebook: Vianda Alshafaq
Editor : Respati
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata.