Rujakan
Oleh: Respati
Terbaik ke-11 Tantangan Lokit 7
“Mas! Positif! Aku hamil!” seru Dania riang.
Dia mengabarkan hasil testpack-nya kepada suaminya. Saking gembiranya Dania tak sempat bertanya posisi suaminya.
Di ujung telepon, dengan nada setengah berbisik, ia menjawab, “Ya, Sayang. Nanti Mas telepon lagi.”
Tut … tut … tut
Kedua alis Dania bertaut. Ada apa kok dimatikan, ah barangkali sedang ada meeting di kantornya. Padahal ini berita bahagia yang sengaja ia kabarkan kepada suaminya.
Dania menggeser layar ponselnya ke atas untuk mencari nomor sahabatnya, Kalina. Ia ingin mengabarkan berita bahagia ini.
“Halo … Kal! Kal, aku hamil!” serunya begitu Kalina menjawab teleponnya.
“Hai! Dan! Alhamdulillah. Aku ikut senang.”
Kalina diam beberapa saat. Sementara Dania terus bercerita bagaimana bahagianya menjadi wanita hamil. Dania tak sadar hal ini juga mengiris hati Kalina.
“Kalina! Kok diam? Aku ganggu kamu?”
“Ngg … gak … gak kok.” Kalina mendehem, seperti ada yang menghalangi tenggorokannya.
“Kal, kita rujakan, yuk.”
Kalina melebarkan matanya. Dia ingin menolak, tapi ada rasa tak tega menolak permintaannya yang memelas.
“Kalina … ayolah … sudah lama kita gak ngobrol, kan?”
“Mmm … a—aku … ada pengajian siang ini, Dan.”
“Selesai pengajian aja , ya … Aku tunggu.” Dania tak menyerah, terus berusaha membujuk Kalina.
Kalina menghela napas panjang, ia tidak bisa lagi menolak permintaannya. Dania bersorak gembira karena akhirnya dia yang menang, berhasil membujuk sahabatnya yang makin jarang bertemu itu.
Dania lalu menuju ke mini market dekat rumahnya untuk membeli beberapa buah. Belimbing, mangga, nanas, jambu, bengkuang, mentimun, pepaya, dan … ada yang kurang sepertinya. Tapi apa? Dahi Dania berkerut sambil mengecek belanjanya. Seluruh bumbu sudah masuk keranjangnya, gula merah, kacang tanah, terasi dan asam jawa.
Dania mendorong keranjang belanjanya menuju kasir. Sambil ia terus mengingat-ingat belanja yang masih kurang.
Setelah berpikir keras dan tak menemukan jawaban, Dania mengambil ponselnya.
“Mas! Aku mau rujakan, tapi seperti ada yang kurang. Apa ya, Mas? “
“Buahnya lengkap?” tanya suaminya di ujung telepon.
“Lengkap,” jawabnya mantap.
“Coba sebutkan.”
“Mangga, bengkuang, pepaya, nanas, mentimun, jambu, belimbing dan … “
“Kedondong? “
“Oh iya, Mas. Kedondongnya gak ada.”
“Coba tanya ke penjaganya. “
Tanpa mematikan ponselnya Dania bertanya ke kasir.
“Mbak, ada kedondong?” kasir itu bertanya ke bagian buah.
“Maaf Ibu, sedang kosong. “ jawab kasir.
Dania kembali berbicara dengan suaminya di telepon. “Mas! Kosong kedondongnya. Mas bantu cari, ya … “ pintanya manja. Rengekan menjadi andalan Dania untuk mendapatkan yang ia mau.
Suaminya hanya menghela napas dan mengiyakan. Terdengar suara gembira Dania saat suaminya menyanggupi untuk mencari kedondong.
Telepon terputus, Dania segera mendorong kereta belanjanya–yang sempat berhenti–menuju kasir. Membayar semua belanjaan lalu pulang.
***
Jarum jam dinding belum bergeser ke angka 2. Masih sekitar setengah jam lagi. Dania sedang mengupas dan memotong buah yang tadi pagi dibelinya.
Bel rumah berbunyi tiga kali. Itu mungkin Kalina. Biasanya pengajiannya selesai jam dua. Bisa jadi masjid tempat pengajiannya tak jauh dari rumah Dania, jadi sebelum jam dua Kalina sudah sampai.
“Assalamualaikum,” ucap Kalina dengan senyum termanisnya.
“Walaikumussalam, Kal … apa kabar? Kamu makin cantik, Kal, “ Dania menyambut Kalina.
“Kamu yang makin cantik, Dan. Aura orang hamil.” Suara Kalina lirih. Datar tanpa penekanan.
“Masuk yuk, Kal,” ajak Dania. Tubuhnya yang kecil membuatnya bergerak lincah. Dengan baby doll polkadot-nya, Dania sangat imut.
Kalina melangkah mengikuti Dania ke ruang makan melewati ruang tamu. Ada foto pernikahan Dania ditempel di dinding. Kalina hanya melihat sekilas dengan ekor matanya. Ia pun melanjutkan langkah kakinya ke ruang makan.
Di atas meja makan penuh dengan buah-buahan dan kulitnya. Sebagian buah sudah dipotong-potong, dan masih ada yang lain di dalam plastik dan belum dikupas.
“Dania … ka–kamu … gak salah rujakan sebanyak ini?” tanya Kalina sambil terbelalak.
“Kamu bisa bawa pulang nanti, Kal.”
Kalina tak menyangka Dania menyiapkan acara rujakan mereka dengan buah sebanyak ini. Padahal hanya mereka berdua yang akan makan.
“Duduk, Kal,” disilakan tamunya duduk.
Kembali Dania memegang pisau dan mulai mengupas mentimun. Kalina duduk, dia masih bingung hendak melakukan apa karena sebagian besar buahnya sudah Dania kupas. Dania lalu mengambil dua piring dan memasukkan beberapa potong buah-buahan yang bercampur.
Belum selesai menata buah, terdengar klakson mobil. Oh, ya Dania ingat dia memesan kedondong. Dania berjalan cepat ke depan. Itu pasti klakson mobil suaminya.
Sesampainya di pintu, Dania tidak melihat ada suaminya di sana. Hanya ada satu plastik kedondong di atas meja selasar. Lalu siapa yang mengantar kedondong ini? Tidak mau dipusingkan dengan siapa pengantar kedondongnya, Dania memilih masuk sambil mengangkat bahunya.
“Siapa, Dan? Suamimu pulang?” tanya Kalina begitu Dania sampai ke meja makan lagi.
“Bukan … ada yang antar kedondong. Gak tahu siapa. Mungkin orang suruhannya.”
Kalina tertegun. Dia seperti sedang berada di masa tujuh tahun lalu. Kilasan masa lalunya tiba-tiba sangat nyata. Menari-nari di pelupuk matanya.
“Kal!” Dania memanggil sekali lagi. Kalina terkejut. Dia baru saja melamun.
“Ma—maaf.“
“Kamu melamun? Eem … jangan bilang kamu ingat zaman kita kuliah dulu.”
Kalina tersenyum tipis. Dania benar. Kalina melamunkan ingatan tentang mereka. Persahabatan mereka bertiga.
“Na! Setop, Na!” cegah Wisnu. Ia terpaksa berteriak meminta Kalina berhenti. Wisnu selalu memanggilnya ‘Na’—panggilan sayangnya.
“Nu … hargai keputusanku,” pintanya sambil sesenggukan.
Kalau sudah begitu Wisnu segera merangkulnya, merengkuh ke dalam dekapan tereratnya. Dia ingin kekasihnya ini tenang.
Selembar kertas–berlogo sebuah rumah sakit–yang mereka bincangkan sejak sore terbang bersama angin. Menerbangkannya jauh, meninggalkan dua manusia bimbang ini.
Di bawah siraman cahaya putih bulan yang menampakkan separuh wujudnya, mereka berpelukan. Sesal, pasrah dan ikhlas sulit menyatu di hati keduanya.
***
Wisnu masih di belakang meja kerjanya. Sebenarnya pekerjaannya sudah selesai sejak pukul empat. Dan ia pun sudah bisa meninggalkan kantor. Tapi hal itu tak dilakukannya, bahkan dia sengaja mengambil pekerjaan Maro yang kebetulan cuti.
Lima puluh persen lagi pekerjaannya selesai. Tanggung, itu jawabannya ketika Dania meneleponnya.
“Mas lembur?”
“Iya, Maro cuti istrinya melahirkan. Mas gantikan sementara,” Wisnu mencoba menjelaskan setenang mungkin.
“Kalau aku melahirkan nanti, kamu juga cuti kan, Mas?” ucapnya manja.
Entah apa lagi yang mereka bicarakan di telepon. Kalina memilih menjauh, ia berdiri mematung di balik jendela lebar di ruang tamu. Kalina tahu mengapa Wisnu tiba-tiba lembur.
Kalina melirik foto besar yang dipajang di dinding. Ada perasaan berdesir yang menjalar dalam dadanya.
“Menikahlah dengan Dania. Dia lebih sempurna daripada aku.”
“Tapi aku mencintai kamu bukan Dania!” protes Wisnu. Lelaki berkulit putih itu tetap menggenggam tangan Kalina seberapa pun wanita itu menepisnya.
“Dia mencintai kamu, Nu. Sangat mencintai kamu,” tegas Kalina. Ia masih berusaha melepaskan genggaman tangan Wisnu.
Kali ini tangan Kalina terlepas. Dilihatnya wajah murung Wisnu. Pria yang baru saja menyelesaikan ujian tesisnya itu seperti tanpa daya. Lunglai. Ajakannya menikah setelah tesisnya selesai pupus sudah. Kalina tetap pada pendiriannya.
“Kal … Yuk kita makan rujaknya. Mas Wisnu lembur,” serunya dari dapur.
Kalina tersenyum tipis. Untuk alasan kehamilan Dania, Wisnu lebih memilih tidak menemuinya. Kalina tahu, Wisnu menjaga perasaannya. Dan kalaupun posisinya bertukar tempat dengan Dania, acara rujakan tidak akan pernah terjadi. Karena Kalina tidak akan pernah bisa memberinya anak.
*Airmolek, setelah memesan rujak.
Respati, belajar jadi penulis.
Tantangan Lokit adalah lomba menulis yang diadakan di Grup KCLK
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata