Ruby
Oleh: Evamuzy
Aku mengenalnya setahun lalu, sejak menjadi pendengar setianya. Seorang announcer di salah satu radio di kota sebelah. Pria berusia 26 tahun yang pintar, baik dan ramah. Membuat pendengar perempuan entah itu gadis atau Ibu-ibu mudah menjadikannya seorang idola. Termasuk aku.
“Ciyeee … dengerin dia terus.” Suara kak Andin saat masuk ke kamarku dan mendengar suara siapa yang terdengar dari radio portabel samping nakas. Suara yang selalu terdengar hampir setiap malam.
“Kapan-kapan mau nemenin Adek ke El Shinta nggak, Kak?”
“Mau ketemu Aaron?” tanyanya.
“Main saja. Biar nggak penasaran seperti apa aslinya.”
“Ok. Aku mau.”
Pertemuan pertama dengannya.
Siang itu kami pergi dengan sepeda motor matic milik kak Andin. Aku diboncenginya. Jelas, karena sampai kuliah semester enam ini saja aku belum bisa menyetir. Ibu dan Ayah terlalu khawatir denganku. Akhirnya ke mana-mana aku harus menggunakan jasa ojek online saat kak Andin atau Ayah sibuk, tak bisa mengantar.
Sepeda motor warna merah itu melaju di jalanan kota yang panas dan ramai. Tak sampai macet memang. Sebab daerah kami tak seramai ibu kota atau kota-kota besar lainnya, meski sudah ada beberapa gedung bertingkat berjejer rapi di sini. Beberapa bioskop, tempat hiburan, kafe atau pusat perbelanjaan pun telah ada.
Akhirnya setelah lebih kurang satu jam perjalanan, kami sampai di tempat tujuan. Bangunan berukuran sedang—hampir sebesar rumah kami—bercat biru muda, dengan daun pintu berpasangan dan jendela-jendela kaca berjumlah empat buah. Sederhana. Terdapat pula pagar besi setinggi muka menyambut kami saat baru datang. Sebuah bagasi tertutup bertuliskan “Selain karyawan di larang masuk” ada di sebelah kanan bangunan utama, tak berjarak atau bersekat. Sementara sebelah kiri bangunan, kerangka-kerangka besi berwarna biru tua menjulang tinggi bermeter-meter. Dari ujung kerangka besi itu jugalah radarnya sampai di sudut kamarku.
“Wah. Ada tamu. Siapa ya ini?” Seorang perempuan cantik dengan hidung mancung dan pipi sedikit cabi menyambut kedatangan kami. Elsabrina namanya. Salah satu penyiar di sana juga. Kudengar dia dan Kak Aaron adalah sahabat dekat. Hubungan spesial lebih dari teman dengan umur si perempuan lebih tua tiga tahun dari si lelaki. Cemburu? Kurasa tak ada hak untuk itu.
Beberapa kali dari radio portabel yang diletakkan di sudut kamar, kudengar suara mereka berdua memandu acara yang sama. Benar, keduanya terdengar sangat akrab. Sesekali suara Kak Elsa merajuk dan merayu pada Kak Aaron, kemudian ditanggapi santai oleh lelaki ramah itu. Bagi pendengar lainnya, mereka pasangan penyiar yang lucu dan menggemaskan.
“Aku Syabil Kak, dan ini Kak Andin.” Kami bertiga bersambut tangan bergantian. “Ini pasti Kak Elsa?” Lanjutku membuka pembicaraan.
“Wah. Langsung ketebak nih. Dari mana tahunya?” Wajah cantiknya semakin indah saat senyum itu tercipta.
Cantik banget. Batinku.
“Suaranya cantik, orangnya pasti cantik. Jadi nggak salah lagi. Ini Kak Elsa,” jawabku.
“Duh, bisa saja. Syabila Hanun ya? Yang dari kota sebelah itu? Wah, pasti perjalanannya melelahkan,” kalimatnya ramah.
“Lumayan, Kak.”
“Oh iya. Ada yang diam-diam penasaran sama kamu, loh. Pasti dia seneng banget lihat siapa yang datang sekarang. Tunggu dia selesai siaran, ya. Sebentar lagi.”
Benar memang, dari radio portabel yang diletakkan di atas meja kecil sudut ruang tamu itu, terdengar suara ramah dari penyiar kesayangan.
“Ok, habis ini kita ketemu sama si gadis cantik nan bawel Elsa Emerald di acara kesayangan ‘Break Time’ sampai jam dua siang nanti. So, Saya Aaron Ruby, See you tomorrow and bye-bye. El Shinta sahabat di hati.”
Dari yang terlihat memang mudah mengetahui dengan siapa para tamu baru ingin bertemu. Siapa lagi kalau bukan si artis radio ini, si pria idola banyak orang.
Langkah kaki seseorang semakin dekat bersama terdengarnya melodi terakhir dari acara yang baru saja diselesaikannya. Pria dengan t-shirt warna abu-abu dan celana bahan pas di badan sepanjang lutut, tersenyum ke arah kami.
“Wah, ada tamu. Hai,” sapanya.
“Iya nih. Nungguin dari tadi tau,” Kak Elsa yang menjawabnya. Sepertinya sok bersungut-sungut sambil mengerucutkan bibir, berpura-pura sebal. Terlihat sepertinya hanya ingin melihat reaksi lelaki yang telah meletakkan dirinya pada sofa itu.
“Oh iya. Maaf, harus selesaikan siaran dulu. Jadi, ini siapa yah?”
“Ini Syabil kak. Dan ini kakakku, Kak Andin.”
“Syabila Hanun?!” Ada rona terkejut di wajah lelaki itu. Membuatku sedikit tak percaya. Apa iya, aku benar-benar ditunggu kehadirannya?
“Iya, Kak,” jawabku dengan melempar senyum.
“Pantas saja mataku kedutan beberapa hari ini. Ternyata akan bertemu dengan kamu. Kamu apa kabar?”
Entah itu sekedar basa-basi atau benar, yang pasti kalimatnya menyenangkan hati.
“Eh, aku pamit bentar, ya. Ruang siar sudah menunggu. Kamu, Ar. Seneng ya … puas-puasin ngobrol deh, sebelum gadis manis ini pulang.” Kak Elsa menyela, segera bangun dari sofa ruang tamu untuk menuju ruang siar.
Kami bicara banyak hal. Tentang kotaku, tentang lagu kesukaan juga tentang kegemaran masing-masing. Darinya aku tahu kalau pria ini suka sekali dengan warna putih dan lagu-lagu romantis. Cita-citanya adalah membahagiakan orang-orang sekitarnya. Mengesankan.
“Kamu tahu nggak? Aku pernah diprotes seorang pendengaran karena menurutnya lagu-lagu yang dia request jarang diputar sementara lagu yang diminta oleh seorang pendengaran bernama Syabila Hanun dipastikan diputar. Bahkan tak jarang jadi close song.”
“Oh ya.” Aku terkekeh. “Terima kasih untuk lagu-lagu yang selalu diputarkan.”
“Sama-sama.”
***
Satu waktu pernah kutanyakan padanya lewat pesan di gawai.
Kenapa semua penyiar selalu bersikap manis kepada banyak orang?
Bukankah setiap bidang pekerjaan harus demikian? Terlebih di dunia hiburan. Bisa sepi radioku kalau penyiarnya jutek-jutek.
Hmm … akan selalu begitu?
Iya. Apakah kau cemburu?
Tidak.
Tidak salah lagi, bukan?
Hening.
Untuk cemburumu. Enjoy this song ….
Bisakah ku menggapai bintang yang bersalut indah
Bisakah ku menebak masa cinta kan tercipta
Bisakah kuhuraikan segala misteri dunia
Bisakah ku mengucap cinta untuk selamanya ….
Ingin kupupuskan segala tanda tanya
Yang terbelenggu di jiwa
Sulitkah mahuku cuma untuk mengucapkan cinta ….
Aku bersahaja, Rossa feat Taufik Batisah
***
Sekarang.
31 Desember.
Ada apa dengan tanggal ini? Yang tepat hari ini. Perayaan berakhirnya satu kalender? Bukan itu bagiku. Tanggal bungsu ini adalah tanggal ulang tahunnya.
Aku berniat memberikannya sebuah hadiah ulang tahun. Dengan menggunakan bus dari kota kecilku aku menuju tempatnya. Waktu tempuh tak beda jauh dengan saat aku menggunakan motor bersama kak Andin.
Gamis cantik warna peach bermotif bunga-bunga dan kerudung warna senada juga tas selempang kecil yang melingkar di badan membuatku siap bertemu dengannya. Sendirian? Apa tidak malu seorang gadis menemui laki-laki seorang diri, juga dengan penampilan demikian? Bukan begitu. Yang kudengar tiap hari ulang tahunnya, ruang tamu El Shinta akan ramai oleh para gadis dan ibu-ibu penggemarnya. Sekadar mengucapkan selamat atau tak sedikit pula yang membawa kado terbaiknya. Jadi aku tak perlu khawatir akan menemuinya seorang diri.
Perjalanan dengan bus kurasakan lancar. Setelah turun di depan jalan kecil bernama “Delima”—alamat El Shinta—aku berjalan menuju studio radio itu. Langkah kaki aku pelankan. Berusaha agar detak di dalam sana ritmenya ikut memelan juga. Benar, meski telah mencoba setenang mungkin, bertemu dengannya selalu berhasil membuat hati merasa beda. Sudut itu semakin berwarna sepertinya.
Aku sampai di depan gerbang. Kuhentikan langkah sebentar. Benar saja, di teras studio radio itu, kulihat seorang pria yang sedang sibuk ramah tamah dengan beberapa perempuan. Hampir semuanya cantik dan menawan.
Pulang? Jangan!
Aku sudah melakukan perjalanan lumayan jauh. Kulangkahkan kaki menuju ruang tamu, melewati dia yang lagi-lagi seperti gula-gula dikerumuti semut hitam.
Di atas meja ruang tamu, kuletakkan kotak hadiah berwarna putih dengan tali pita warna tosca. Di dalamnya secarik kertas ucapan ulang tahun terselip pada lipatan rapi baju koko modern warna tosca. Warna yang kurasa cocok untuk kulit bersihnya.
Pakai ini untuk event Ramadhan yang akan datang. Selamat ulang tahun.
-Syabil-
Kalimat yang kutuliskan itu bermaksud agar dia tak salah paham atas perbedaan dan tebing tinggi yang menjulang di antara kita. Keyakinan. Bahwa Tuhan memamg satu, namun kita yang tak sama.
Gawaiku berbunyi saat sedang duduk di kursi belakang bus menuju pulang.
Sebuah pesan di aplikasi WhatsApp bertambah.
Kau di mana? Pulang? Aku melihatmu. Kupikir kau akan menunggu di ruang tamu. Maaf, aku harus menemui mereka dulu. Hadiahnya bagus, aku suka, akan aku pakai. Terima kasih gadis istimewaku.(*)
Evamuzy, gadis asal kota kecil di Jawa Tengah. Penyuka literasi dan sepi
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata