Roti Bertoping Lalat (Terbaik ke-8; Melanjutkan Cerita)

Roti Bertoping Lalat (Terbaik ke-8; Melanjutkan Cerita)

Roti Bertoping Lalat

Oleh: Inet Bean

Terbaik ke-8 lomba Melanjutkan Cerita

 

Aku memandangi sekawanan lalat yang mengerubungi roti di atas meja dan tak bisa kutahan diriku untuk mengingat kejadian lima tahun lalu.

Sunyi, yang kudengar hanya bunyi sekawanan lalat yang mengerubungi mayat di atas dipan kayu di sebelahku. Sementara itu aku hanya bisa duduk meringkuk, memeluk kedua lututku. Menggigil dan ketakutan. Lapar dan haus. Menunggu kematian.

Ketika malam tak ada cahaya sama sekali, mataku seperti buta, hanya indra pendengaran dan penciumanku yang bekerja, dan bunyi mirip sekawanan lalatlah yang terdengar di telingaku, yang hingga kini jika terdengar terasa menusuk-nusuk kepalaku. Aku ingin meledakkan setiap lalat-lalat itu hingga menjadi abu.

Lima tahun lalu, waktu yang entah lama atau singkat karena seperti baru kemarin aku merasakan semua penderitaan itu. Siang itu terasa sangat panas, bibirku kering, tubuhku lebih kering. Aku tahu itu siang karena ada sedikit cahaya yang masuk dari lubang sirkulasi udara. Aku dan ibuku dikurung di dalam sel penjara, tetapi sepertinya sel penjara lebih baik daripada di sini. Ibuku sudah menjadi mayat, tiga hari yang lalu ia mengembuskan napas terakhirnya.

Kami jarang diberi makan, mungkin tiga atau seminggu sekali, tetapi lebih sering selama berhari-hari tak pernah ada makanan. Ketika ada, makanan yang diberikan sudah basi, bahkan lalat-lalat lebih dahulu memakan makanan itu sebelum aku. Ibuku jarang makan, bukan karena tidak lapar atau tidak selera makan, tetapi karena makanannya ia berikan padaku. Aku sudah menyuruhnya makan berulang kali, tetapi ia tidak mau. Hanya minum sesekali, suatu waktu sebelum Ibu hanya diam, ia pernah mengungkapkan hal yang sama sekali tidak kupahami.

“Nak,” ucap Ibu lemah. 

“Ya, Bu?”

“Kamu harus tahu, namamu Gavin Harald.”

“Harald? Bukannya namaku hanya Gavin?”

“Kamu adalah seorang Harald, Nak. Prajurit yang kelak berkuasa, kamu kuat. Kamu harus bertahan. Seseorang pasti akan menolongmu.”

“Aku tidak paham, Bu.”

Sejak itu, ibu tidak pernah berbicara sepatah kata pun. Meski berulang kali aku mengajaknya berbicara. Entah, ia tidak mau berbicara lagi atau berbicara begitu susah ia lakukan karena tubuhnya semakin kurus kering, hingga akhirnya meninggal.

Siang itu, saat pandanganku mulai kabur, seseorang membuka pintu sel. Tetapi aku hanya duduk meringkuk, hanya mataku yang mengikuti pergerakan lelaki yang kini sudah ada di depanku. Ia memeriksa denyut nadi ibu meski kurasa ia sudah tahu ibu sudah meninggal. Bunyi lalat-lalat brengsek itu masih terus menabuh telingaku.

“Siapa namamu?” tanyanya. 

“Gavin, Gavin Harald,” jawabku parau. Entah kenapa aku menambahkan Harald, mungkin aku berharap dia adalah seseorang yang dimaksud oleh ibuku, seseorang yang akan menolongku. 

Lelaki itu berperawakan tinggi, kuperkirakan umurnya seperempat abad. Ia memakai celana kain dan jaket kulit.

“Tristan Harald, senang bertemu denganmu. Di luar sana peperangan sedang berkecamuk. Bersiaplah untuk itu,” ucapnya.

Aku tidak paham dengan ucapannya, penglihatanku nanar, kepalaku berat, perlahan kesadaranku menghilang. 

Ketika terbangun aku sudah di tempat tidur yang nyaman, tidak bau dan tidak ada bunyi sekawanan lalat. Sejenak aku berpikir, mungkin aku sudah di surga, bukankah anak-anak yang mati akan masuk surga? Umurku baru dua belas tahun, masih pantas untuk dibilang anak-anak. 

Tak lama seorang lelaki berpakaian putih mendekat, ia tersenyum ramah.

“Bagaimana keadaanmu? Apakah ada yang terasa sakit?” tanyanya. 

Aku menggeleng lemah, tubuhku terasa lebih baik. Tidak pernah sebaik ini sejak aku di dalam sel terkutuk itu. 

“Syukurlah, kamu harus banyak makan makanan yang bergizi, minum yang cukup dan sering berjemur.”

“Ibuku di mana?”

“Beliau sudah dimakamkan dengan layak.”

Aku berusaha duduk, tetapi kepalaku tiba-tiba kembali berat, membuatku urung melakukannya. Aku menghela napas, tubuhku masih ringkih, hanya tulang berbalut kulit. Tulang belulang menonjol di sekujur tubuhku.

Tristan muncul dari balik pintu, ia mendekat.

“Bagaimana keadaannya, Dokter Reynald?”

“Masih buruk. Dia perlu banyak istirahat, tubuhnya dehidrasi parah, dan gizi buruk.”

“Perlu berapa lama dia pulih?”

“Mungkin satu atau dua bulan.”

“Terlalu lama.”

“Satu bulan.”

“Dua minggu. Kita tidak punya waktu selama itu.”

“Oke. Toh, tubuh seorang Harald istimewa.”

***

Dua minggu kemudian tubuhku sudah pulih, aku merasa seperti dilahirkan kembali. Kupandangi cermin di depan, tubuh kurus kering itu kini sudah lumayan berisi. 

“Gavin, kau sudah siap?” tanya Tristan. 

“Ya.”

Aku mengikuti pelatihan militer. Sebelumnya aku sama sekali tidak tertarik, tetapi Tristan menjelaskan asal-usulku. Sedari lahir aku sudah ditakdirkan menjadi seorang prajurit, karena seorang Harald adalah prajurit. Konon, seorang Harald sepadan dengan seratus prajurit, dan memang begitulah kenyataannya, ratusan nyawa berhasil kulenyapkan.

Lima tahun kemudian peperangan berhasil dimenangkan. Orang-orang yang diduga keluarga pemberontak ditahan di tempat aku dan ibuku pernah ditahan.

Tristan melemparkan roti bertoping lalat di sel penjara tersebut. Aku hanya diam, mengamati apakah seseorang di dalam sel akan mengambil roti itu atau tidak. Di luar dugaan, orang itu melemparkan roti itu kembali keluar.

Bibirku tersenyum tipis, semua perasaan berkecamuk di dalam diriku. Kenapa dulu hal itu tidak kulakukan? 

Tristan mengangkat pistolnya, lalu dalam hitungan detik, desingan peluru terdengar nyaring. 

Pekalongan, 28 Juni 2024.

Inet Bean, seorang istri, ibu dan guru yang masih mempunyai impian. 

 

Komentar juri, Erlyna:

Saat lomba ini diselenggarakan dan membaca dua paragraf yang menjadi pilihan untuk dilanjutkan, saya tidak berekspektasi akan menemukan cerita dengan genre fantasi (atau war-fantasy). Cerita ini berkisah tentang seorang bangsa “Harald” yang memiliki tubuh istimewa (yang sayangnya tidak dijelaskan dengan lebih rinci keistimewaan seperti apa yang dimaksud) terkurung dan kemudian dibebaskan untuk menjadi prajurit. 

Meski alurnya terlalu cepat untuk sebuah genre yang seharusnya memiliki gambaran “world building” yang detail, cerita ini memiliki ending yang memikat dan cukup berkesan sehingga meninggalkan gema setelah membacanya. Bagus! 

Event lomba Melanjutkan Cerita ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.

Grup FB KCLK

Leave a Reply