Ronda

Ronda

Ronda

Oleh : Cokelat

 

Aku menaikkan sarungku hingga leher. Hujan deras yang mulai mereda masih menyisakan hawa dingin yang menancap seperti menusuk-nusuk di kulit ari. Angin kencang baru saja berputar-putar di atas gardu berukuran dua kali dua meter, tempat aku dan Parmin kini meringkuk. Suasana di sekeliling kami gelap gulita. Tak ada satu rumah pun yang menyalakan pelitanya di malam badai seperti ini. Sungguh sial nasibku dan Parmin, badai datang saat giliran kami berjaga.

Sudah menjadi tradisi selama bertahun-tahun, setiap malam harus ada tiga lelaki dewasa yang berjaga di gardu dan berkeliling kampung. Sekawanan babi liar dan anjing hutan sering masuk dan mengganggu hingga ke pemukiman. Bahkan konon hewan yang lebih buas sering berkeliaran di saat-saat tertentu. Belum lagi cerita mistis yang beredar di tempat terpencil ini, menuntut kami harus turun tangan menjaga keamanan.

Seharusnya malam ini Badrun ikut berjaga bersama kami. Namun, pinggang lelaki mandul itu kambuh encoknya. Jadi, dia minta izin untuk pulang lebih dulu. Dan sialnya, tak ada satupun lelaki desa yang bersedia menggantikannya secara mendadak. 

Aku mendengar bunyi pemantik, lalu melihat wajah Parmin yang berkult legam menjadi kemerahan di balik api. Setelah rokoknya menyala, api itupun ia dipadamkan. Dan kami berdua tenggelam lagi dalam kegelapan. 

Tiba-tiba angin kencang berembus dari arah gunung. Tak lama setelahnya, hujan kembali turun dengan deras. Dalam keremangan aku bisa melihat deretan pohon kakao di kebun sebelah gardu menari-nari, menimbulkan desau yang entah mengapa mampu membuatku merinding.

Aku menatap ke arah Parmin. Dia terus mengisap rokoknya dan memandang jauh ke arah gunung di belakang desa kami. Lelaki itu tampaknya tidak peduli dengan keadaan di sekeliling kami. Dia sepertinya asyik bermain dengan pikirannya sendiri. Apakah dia memikirkan istrinya yang konon lari bersama seorang lelaki ke kota dengan membawa anak mereka satu-satunya? Aku tak berani mengungkitnya. Tak ada satu orang pun di kampung ini yang berani.

Kejadiannya sudah lama, jauh sebelum aku pindah ke sini karena menikah dan mengikuti Lastri, janda cantik kampung ini. Aku hanya mendengar cerita itu dari mulut ke mulut. Konon, sejak saat itu Parmin semakin tertutup dan pendiam.

Tak ada tanda-tanda hujan akan reda. Aku meneguk kopi dingin dalam botol plastik yang disiapkan Lastri sesaat sebelum aku meninggalkan rumah.

Ah, Lastri …. pikiranku tiba-tiba melayang kepadanya. Sedang apa dia sekarang? Seorang diri di gubuk kayu kami yang sederhana, dia pasti sedang berbaring kedinginan di ranjang.

Aku ingat bagaimana tadi malam selepas Isya, dia memandangku dengan khawatir saat aku berpamitan. Setiap bulan, saat tiba giliranku berjaga di gardu, Lastri akan melepas kepergianku seolah itu pertemuan kami yang terakhir. Aku bisa maklum, dia pasti tak ingin aku mengalami nasib seperti suami pertamanya, yang meninggal karena diserang hewan buas saat giliran meronda keliling kampung. 

Kudengar, mayat lelaki itu ditemukan keesokan harinya dalam keadaan menyedihkan di kebun ketela, jauh dari pemukiman warga. Warga langsung menguburkannya dan tak membiarkan Lastri melihat jasad suaminya itu.

Aku mengeratkan pelukan pada lututku. Udara malam ini benar-benar menusuk. Belum lagi ditemani Parmin yang tak banyak bicara, membuat suasana terasa semakin mencekam. 

Satu jam lewat tengah malam, Parmin tiba-tiba berdiri.

“Aku akan berkeliling.” Dia mengenakan capingnya lalu meraih kentongan.

Aku buru-buru ikut berdiri. Apa dia akan tetap berkeliling dalam keadaan seperti ini? Hujan memang mulai reda, tapi tetap saja ….

“Tunggulah di sini, jangan ke mana-mana. Ingat! Apapun yang terjadi, tunggulah di sini.”

Aku tak menjawab, hanya menatap Parmin yang melangkah menjauh dengan ditemani cahaya redup dari senter di tangannya. Sosok itu perlahan menghilang dalam keremangan malam.

Parmin akan berjalan memutar  mengelilingi kampung. Itu adalah rute yang sudah ditentukan. Setiap satu atau dua jam, lelaki yang bertugas meronda akan bergantian berkeliling. Namun, di saat-saat tertentu kami tak harus berkeliling, misalnya saat ada badai seperti malam ini. Brengsek! Kenapa lelaki itu ngotot berkeliling?

Aku masih mendengar pukulan kentongan Parmin. Semakin lama semakin mengecil, lalu akhirnya suara itu menghilang di kejauhan. Dia seharusnya berputar ke belakang kampung, kemudian kembali ke gardu lewat pematang-pematang ladang atau kebun.

Sudah lewat satu jam, dan Parmin belum juga kembali. Ke mana lelaki itu? Hujan kembali turun dengan deras. Angin pun tak mau kalah, berembus dengan kencangnya. Berputar-putar, seolah atap rumbia yang menempel pada kayu-kayu di atas kepalaku akan beterbangan ke segala arah. Aku duduk di sudut gardu, tak bergerak dan merapal segala doa. Ini kali pertama aku berada di gardu seorang diri. 

Aku merasa menunggu selama berjam-jam sampai akhirnya sosok Parmin muncul dari arah berlawanan dengan tempatnya pergi tadi. Tak sadar, aku menarik napas lega.

“Kau tak usah ganti berkeliling, sebentar lagi Subuh.” Dia mengucapkannya tanpa ekspresi, lalu berbaring pada tikar tipis di lantai gardu.

Aku diam. Sebenarnya rasa penasaran berkecamuk dalam dadaku, tapi aku segan untuk bertanya. Dari mana dia sampai selama itu?

Saat azan Subuh berkumandang dari kejauhan, Parmin bangkit dari tidurnya. Aku ikut berdiri untuk bersiap pulang. Seperti biasa, aku akan mampir dulu di langgar satu-satunya di kampung kami untuk salat.

Aku hendak mengucapkan salam perpisahan pada Parmin saat menyadari kalau lelaki itu bertelanjang kaki. Tak ada sandal jepit yang biasa menempel di kakinya. Aku ingat, semalam dia memakai sepasang sandal jepit bertali merah dengan tanda huruf P yang diukir di bagian depan keduanya. Kedua sandal jepit itu terkena cahaya senterku semalam. Aku bahkan menendang salah satunya saat turun dari gardu dan bergegas ke kebun cokelat untuk membuang isi kantong kemihku yang hampir penuh.

“Kau kehilangan sandalmu.”

Parmin menunduk, melihat pada kedua kakinya lalu mengangguk.

“Ya. Semalam aku mengejar seekor babi hutan sampai ke pinggir hutan. Tanah sangat becek. Aku sampai lupa di mana sandal kananku terlepas. Pasti tertanam di suatu tempat. Aku  kembali mencarinya, tapi tak menemukannya. Akhirnya, sandal kiriku kubuang saja sekalian.”

Aku memandangnya. Baru kali ini dia berbicara sepanjang itu denganku. Kami memang tak akrab. Untung aku bertanya soal sandalnya, secara tak langsung aku akhirnya tahu mengapa dia begitu lama berkeliling kampung. 

Setelah selesai merapikan barang bawaan masing-masing, kami pun berpisah.

Selesai salat Subuh, aku bergegas pulang. Rumahku dan Lastri berada di ujung kampung yang satunya, berlawanan arah dengan gardu. Aku tak sabar ingin segera bertemu istriku. Menikmati kopi panas buatannya, lalu tidur sebentar sebelum berangkat ke kebun untuk membersihkan rumput.

Pintu rumah tertutup rapat, mungkin Lastri masih tidur. Biasanya dia sudah bangun jika tahu aku hampir tiba di rumah dari meronda. Aku mengitari rumah lewat halaman samping. Sandalku sangat kotor, aku harus mencucinya terlebih dahulu di sumur yang terpisah di bagian belakang rumah.

Saat melewati jendela kamarku, tiba-tiba mataku menangkap sebuah sandal jepit bertali merah yang bagian belakangnya tertanam sebagian ke dalam tanah. Aku mengernyit. Itu sebuah sandal bagian kanan dengan huruf P yang diukir di bagian depannya. Bukankah ini sandal jepit Parmin? Bagaimana bisa ada di bawah jendela kamarku? (*)

Kamar Cokelat, 18 Mei 2021

 

Cokelat, jatuh cinta pada cokelat dan semua turunannya.

Editor : Nuke Soeprijono

 

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply