Romantika Titanic
Oleh: Uzwah Anna
Kapal telah menabrak gunung es ketika Jack dan Rose bertengkar hebat akibat berebut handphone. Rose cemburu pada Ruth Dewitt Bukater—ibu kandungnya sendiri—sebab diam-diam Jack menaruh hati padanya. Tentu saja hal semacam itu bisa terjadi pada siapa pun. Meski sebenarnya usia pemuda berambut pirang itu terpaut cukup jauh dari Ruth, tapi merupakan hal yang wajar jika dia melirik perempuan beranak satu itu. Sebab Ruth merupakan seorang janda yang masih berparas cantik, tubuhnya juga masih langsing, hampir mirip dengan badan Rose, putrinya.
Suasana yang senyap mendadak riuh.
Para penumpang kapal terbangun, kaget oleh suara benturan. Mereka keluar menyaksikan bongkahan es yang jatuh di lantai kapal. Para bocah sengaja menendang-nendang bongkahan putih tersebut seperti sedang bermain sepak bola.
Tak mau kalah, Rose juga turut mengambil bongkahan es lantas melemparkannya pada Jack, sebagai ungkapan kekesalannya. Namun, sayang gadis berusia tujuh belas tahun itu tak pernah belajar praktik melempar dengan baik dan benar, makanya meleset. Dia menyasar kepala Jack, tapi justru Cal yang menjadi korbannya. Hidung lelaki berusia tiga puluh tahun ini langsung mimisan.
Melihat darah yang cukup deras mengalir dari hidung tunangannya, Rose panik. Dia tak tahu mesti bagaimana. Namun, dia teringat sesuatu yang pernah diajarkan di sekolah: es sifatnya membekukan. Oleh karenanya, secepat mungkin Rose mengambil es seukuran jari kelingking, kemudian menyumpalkannya pada hidung Cal.
Ternyata meski berasal dari keluarga terpandang, Rose terlalu bodoh. Bagaimana bisa dia memasukkan es runcing ke dalam lubang hidung Cal. Bukannya darah membeku, justru luka makin parah. Darah baru berhasil ditangani ketika mereka semua tersadar bahwa air telah menggenang ke hampir seluruh badan kapal. Semua orang mulai panik menyelamatkan diri, termasuk Jack, Rose, dan Cal.
Cal mendapat dua pelampung. Dia memberikannya pada Rose dan satu lagi untuk dirinya sendiri. Sayangnya, Jack tak mendapat pelampung. Dia terlalu sibuk membalas chat dari Ruth sehingga saat petugas membagikan pelampung, terlewat begitu saja.
Jack Panik. Dia menghampiri Rose dan berusaha merebut pelampungnya. Cal tak terima melihat kelakuan Jack pada tunangannya. Karena itu lelaki pewaris perusahaan baja di Pittsburgh ini mengeluarkan senjata api demi mengancam Jack.
Mengangkat kedua tangan, Jack mundur beberapa langkah. Dia mencari cara agar dirinya bisa selamat dari senjata api di tangan Cal juga bisa terhindar dari maut akibat tenggelamnya kapal.
Tiba-tiba Rose mengumpankan diri di depan moncong senjata api itu. Dia menjadi tameng untuk Jack. Gadis cantik itu tak rela jika pemuda yang dicintainya dengan sepenuh jantung, paru-paru, sekaligus lambung mesti mati di tangan Cal.
“Apa-apaan kau, Rose? Minggir! Biarkan peluru ini menghabisi gigi tongos pemuda sialan itu.”
Jack tongos? Iya, tongos.
Hanya perempuan rabun—termasuk Rose—saja yang menganggap pemuda pirang itu, tampan bak Leonardo Decaprio. Buktinya sejak berada di kapal Titanic, Jack mengejar-ngejar Ruth. Namun, tak sekali pun janda cantik itu memandangnya. Justru dia jijik dengan pemuda berusia dua puluh tahun itu sebab setiap kali berbicara liurnya selalu muncrat!
“Jika kau ingin membunuhnya, maka langkahi dulu mayatku, Cal,” ancam Rose. Ucapannya terdengat menggelikan. Semacam ABG sedang berebut pacar.
“Serius? Kalau kena tembak jangan nagis, ya. Awas ngadu ama mamamu?”
“Ciyus!” Rose mengangguk penuh keyakinan.
Percakapan mereka terhenti begitu saja. Sebab Titanic terbelah menjadi dua.
Cal jatuh ke air yang dinginnya minta ampun. Sementara, demi rasa terima kasihnya—karena tindakan heroik barusan—Jack menarik tangan Rose menuju buritan. Meski panik, sesaat mereka masih bisa bernapas. Namun, beberapa menit berikutnya bagian buritan tersebut turut tenggelam. Seluruh penumpang kapal seperti semut. Berkecipak-kecipak demi tetap hidup di lautan lepas.
Rose berteriak memanggil nama Jack. Penumpang pemilik tiket di kelas tiga Titanic itu sempat menghilang sebab tenggelam. Namun, karena dia cukup pandai berenang akhirnya dia bisa kembali menemukan Rose, anak dari janda yang dicintainya.
“Jack, kukira aku akan kehilangan dirimu,” ucap Rose seraya menggigil. Kulitnya yang memucat akibat dingin semakin membuat lipstik di bibirnya nampak merah. Maklum lipstik perempuan kelas satu di Titanic bukan barang murahan. Jadi tak akan pudar meski terendam air laut sedingin es.
Mata Jack mulai terbuka. Dia menyadari kecantikan Rose justru pada saat situasi mencekam semacam ini.
“Rose, kau cantik sekali malam ini,” ucap Jack. Bibirnya membiru, bergetar sebab kedinginan.
“Ciyusss? Mi apa?” balas Rose.
Rasanya ingin sekali Jack menjitak Rose dengan sikap alay-nya tersebut. Setelah dipikir-pikir, pantas saja perempuan itu alay, soalnya usianya masih tujuh belas tahun. Mungkin saja Rose juga pernah boncengan bertiga dalam satu motor. Atau main di fly over bersama teman-temannya.
Jack menemukan papan kayu, sepertinya itu adalah bekas pintu masuk menuju ball room. Dia membantu Rose untuk menaikinya. Berhasil. Namun, tidak dengan dirinya. Berkali-kali ketika berusaha menaikinya, baik Rose maupun dirinya sendiri terjatuh. Jadi sebagai lelaki yang cukup umur, dia mengalah. Membiarkan Rose goleran di atas papan.
Lewat beberapa lama. Bantuan yang ditunggu tak juga datang. Tubuh pemuda yang mendapat tiket Titanic melalui game poker itu semakin kedinginan.
“Rose, gantian. Aku naik ke papan, kau nyemplung,” pinta Jack.
“Nggak Mau. Dingin, Jack.”
“Sama, aku juga.” Jack geram. Padahal yang mendapatkan papan itu adalah dirinya. Namun, tega sekali Rose tak mau bergantian. Tahu begitu maka di tak akan pernah mengijinkan gadis itu menaikinya. Sial!
Seraya memandangi kerlip bintang di langit, Rose bernyanyi. Lagu Baby Shark mengalun indah dari bibir berlipstik merah.
Beberapa sekoci penyelamat datang. Mereka berteriak apakah masih ada yang hidup di antara sekian banyak mayat.
Mendengar hal itu, Rose menghentikan lagu kesekian yang berjudul Despacito. Dia sengaja menyanyikan lagu itu agar tetap bersemangat, sehingga bisa sedikit mengusir rasa bosan dan dingin. Gadis itu membalik badan. Dia berusaha membangunkan Jack yang mengatupkan kelopak mata.
“Jack, bangun, sahur. Imsak sebentar lagi.” Rose membekap mulutnya sendiri. Sekejap, dia baru sadar bahwa ini bukan bulan Ramadan. Ternyata peristiwa barusan cukup membuat otaknya linglung.
“Sekoci penyelamat telah datang, Jack. Bangun!” Rose mengguncang-guncang tangan pemuda yang sangat dicintainya. Namun, karena tak ada reaksi, dia mengguncang lebih keras, “Jack, kau marah karena aku tak mau bergantian nyemplung, eh? Yaelah … gitu aja marah, Jack.”
Jack masih tetap membisu. Kristal-kristal es mulai menghinggapi wajahnya.
“Jack, bangun. Sekoci udah mendekat.”
“Jack, kau mati? Bo’ong bisulan, loh,” Rose mengancam.
Setelah diguncang beberapa kali, tapi belum juga ada reaksi dari Jack, maka saat itulah Rose baru menyadari bahwa Jack telah tewas.
Tersedu, Rose mengucap salam perpisahan untuk pemuda di hadapannya, “Jack, berbahagialah di sana. Aku berjanji akan menemukan pemuda yang lebih tampan darimu dan lebih kaya dari Cal. Good By, Jack.”
Rose meniup pluit milik mayat salah satu petugas kapal. Dia berhasil diangkat oleh team penyelamat menuju kapal penyelamat para korban Titanic.
Selesai.
Tentang Penulis:
Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata