Romantika 1946

Romantika 1946

Romantika 1946
Oleh: Uzwah Anna

Kereta melaju dari Jakarta menuju Jogja. Beberapa pejuang, gabungan dari militer dan rakyat sipil—yang telah beberapa waktu mendapat pelatihan militer—bersiap mengabdikan diri mempertahankan kemerdekaan. Hal ini terjadi sebab Belanda yang telah membentuk diri menjadi NICA—bergabung dengan sekutu—kembali menduduki Jakarta. NICA berniat mengambil alih kemerdekaan Indonesia setelah Jepang kalah pada perang dunia II.

Bagaimana bisa kemerdekaan yang baru dicicipi kurang dari setahun, kembali akan dirampas? Rakyat tak terima. Semboyan “merdeka atau mati” makin kencang gaungnya, semarak, menggema hingga ke pelosok-pelosok desa.

Ismail merupakan salah satu dari sekian banyak tentara pejuang yang menuju Jogja: ibu kota Indonesia pada tahun 1946. Kereta yang mereka tumpangi telah sampai di tempat tujuan ketika senja telah berlalu. Gerimis, sisa hujan yang mengguyur sejak sore tadi, turun perlahan, mendarat pada seragam cokelat milik para pejuang.

Penduduk menyambut mereka dengan suka cita. Menaruh segala harapan demi kemaslahatan rakyat di pundak para pejuang, putra kebanggaan bangsa. Gadis belia dan anak kecil menghampiri, karena tak ada payung, maka disiapkanlah beberapa daun pisang dan daun talas sebagai penggantinya.

Tanpa sepatah kata, hanya dengan anggukan disertai senyum mengembang, Sarinah mengulurkan sebuah daun pisang yang sedari tadi melindungi dirinya dari gemeritik tetesan air dari langit. Ismail menangkap maksud gadis berparas ayu itu. Dia membalas senyumannya lantas berdiri di samping belia berkuncir ekor kuda itu. Tanpa kata pula, dia meraih gagang daun pisang, mengambil alih tugas Sarinah memegang benda pelindung hujan. Lantas keduanya berjalan seraya berbagi payung dari daun pisang menuju rumah penduduk yang telah disiapkan untuk penginapan para pajuang.

Teman-teman yang lain pun mendapat perlakuan yang sama dari para penduduk.

Lampu-lampu pelita dinyalakan. Cahaya berpendar menerangi jalan para pejuang di atas tanah becek akibat hujan. Sebuah karunia dari Sang Maha Pencipta yang sengaja diturunkan ke tanah yang gemah ripah loh jinawi ini.

***

Fajar timur telah merekah.

Cahaya kuning keemasan memberikan kehangatan pada setiap makhluk. Beberapa titik embun belum berniat hengkang dari dedaunan yang sedari semalam memberi tempat singgah padanya.

Gadis-gadis belia sibuk di dapur membantu kaum ibu menyiapkan sarapan untuk para pejuang. Meski tak maju ke medan laga, setidaknya mereka turut andil demi mempertahankan kemerdekaan. Salah satunya menyiapkan konsumsi seadanya untuk para pejuang.

Tangan gadis berpipi tembam itu lincah menata suguhan di atas meja-meja usang yang telah terjajar di halaman rumah Pak Asmad, tetua kampung. Saat berbalik, dia tak sengaja menabrak pemuda bertubuh gagah yang baru beberapa detik lalu berdiri di belakangnya. Seragam pemuda itu basah bagian dada sebab air dalam gelas—di tangan Sarinah—tumpah mengenai tubuhnya.

Tangan gadis berkulit kecokelatan itu hendak mengusap seragam Ismail. Tetapi urung sebab dia merasa tak enak hati. Takut jika dibilang tak sopan. Sarinah menunduk. Ismail yang garang tak kepalang ketika menghadapi musuh, tiba-tiba kalem saat berhadapan dengan sulung dua bersaudara itu. Entah apa yang terjadi.

Mungkinkah dia telah terpikat pada gadis di hadapannya, Sarinah?

Sesaat suasana hening.

Dersik angin menggerakkan pucuk pohon.

Beberapa lama kemudian, ada suara yang memanggil. “Nduk, kamu siapin suguhan di bagian situ,” pinta Pak Asmad seraya menunjuk meja kosong, “biar semuanya rata.”

Tanpa sepatah kata, belia itu meninggalkan Ismail yang masih terdiam. Namun, sebelumnya dia mengangguk, memberi senyum seraya menampakkan wajah menyesal.

***

Pasukan telah bersiap. Sore ini mereka akan kembali diberangkatkan menuju medan perwira.

Dada Sarinah berdegup kencang ketika mendengar kabar tersebut. Dia memang sudah terbiasa mendengar kata perang. Namun, entah mengapa kali ini kata tersebut terdengar sangat mengerikan. Apalagi jumlah tentara yang diberangkatkan cukup banyak. Berarti ini bukan lagi perang biasa.

Sebenarnya Sarinah ingin sekali menemui pemuda gagah yang tadi pagi tak sengaja dia tumpahkan air di dadanya, Ismail. Sekedar minta maaf, mungkin. Namun, sayang dia tak berani. Ada sesuatu yang menghambat langkahnya: norma kesopanan. Dia tak ingin disebut sebagai gadis yang tak memiliki unggah-ungguh sebab berani menemui pemuda tanpa urusan yang mendesak.

Seperti penduduk lainnya, di suasana yang makin meremang ini—sebab matahari sudah akan pulang ke peraduan—Sarinah turut mengantar para prajurit tersebut menaiki kerata. Matanya lekat memandang sesosok pemuda yang telah berhasil mencuri hatinya, Ismail.

Ismail duduk di kursi samping jendela. Dia menatap gadis yang kemarin bersedia memberikan payung dari daun pisang dan tadi pagi juga telah menabraknya. Mata mereka saling bertemu. Ada degup kencang di dada keduanya. Ternyata dua anak manusia ini telah jatuh cinta dari pandangan pertama meski masing-masing belum mendengar suaranya.

Dua bola mata Sarinah mengisyaratkan sebuah pesan, “Duhai Pahlawan, lindungi aku dari angkara murka, dan kembalilah dengan selamat.”

Tetap lekat memandang gadis pujaannya, dalam hati Ismail berkata, “Aku akan berhati-hati. Setelah semua selesai, jika Tuhan masih memberiku waktu, semoga kita berjumpa lagi.”

Terompet dibunyikan.

Kereta melaju meninggalkan stasiun dan seorang gadis yang berdiri seraya berurai air mata.

 

Diambil dari lagu: Sepasang Bola Mata
Dipopulerkan oleh: Ismail Marzuki

29 Februari 2019

Uzwah Anna. Lahir di sebuah desa di pelosok kota Malang. Pecinta bakso dan soto. Karena lahir, tumbuh dan, besar di kampung, maka sudah sangat akrab dengan bertani. Selain hobby corat-coret juga gemar berkebun. Tanaman yang paling disukai adalah buah dan bunga. Apalagi bunga mawar merah, beuh … cinta beud.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata