Roma yang Nelangsa
Oleh : Rosna Deli
Aku masih memegang ponsel di tangan, membaca pesan yang baru saja kuterima pagi ini. Pagi sekali, bahkan ayam Uak Joni belum juga berkokok.
Aku menyandarkan punggung pada dinding tembok, lalu menghela napas panjang. Pesan itu membuat kantukku lenyap seketika, dibawa terbang oleh nyamuk-nyamuk hitam yang selalu datang tanpa diundang. Ah, hewan pengisap darah itu selalu menjadi teman di kala malam.
Aku menghirup napas lebih dalam agar semua rongga di dada terisi oleh oksigen segar, untuk mengisi kekosongan jiwa yang kurasakan beberapa hari ini.
Peristiwa penolakan oleh Pak Udin—orangtua Ani—begitu membekas di hatiku. Bagaimana tidak, lelaki bercambang lebat itu telah menghinaku dengan telak.
“Apa yang bisa kuharapkan dari kau, Roma! Pekerjaan tak menjanjikan, rumah masih ngontrak, mau dikasih makan apa anakku nanti?” ucapnya dengan sorot mata setajam pedang samurai.
“Ani akan kujodohkan dengan Amran, anak Pak Rasyid. Pekerjaannya jelas, keluarganya mapan dan tampangnya tak memalukan,” hardiknya lebih kuat.
Hatiku ciut seketika, ternyata modal cinta dan ketulusan hati tak bisa menjadi mahar ikatan ini. Aku memang bujang lapuk, teramat lapuk bahkan. Tetapi saat dibandingkan wajah ovalku dengan Amran, hatiku memerah, seperti disengat kawanan lebah.
Amran, lelaki hidung belang itu hanya menang karena bapaknya kepala desa di kampung ini. Selebihnya, tak ada!
Kulihat kembali pesan di layar ponsel. Sebuah harapan masa depan terbentang dengan indah. Akan aku buktikan kepada Pak Udin dan keluarga, bahwa aku, Roma, adalah pejuang tangguh penuh cinta dan harapan masa depan anak gadisnya.
Senyumku merekah bak kembang gula, membayangkan ekspresi Ani dan keluarganya bila kukatakan aku telah keluar dari kubangan penuh nista bernama kemiskinan. Aku sudah mendapatkan harta karun yang melimpah. Akan kubuatkan istana megah untuk Ani, sang bidadari surgaku.
“Romaaa!” suara panggilan dari depan pintu menyentakkan lamunanku.
“Iya, Wak.” Bergegas aku keluar kamar untuk membukakan pintu depan.
Uak Joni, abang dari ibuku sudah berdiri dengan napas terengah-engah. Kemudian berkata, “Telepon ibumu, beritahu beras dari kampung sudah dikirim kemarin malam. Uak takut lupa.”
Aku menganggukkan kepala, kemudian duduk di kursi plastik di depan rumah. Menunggu hingga punggung Uak Joni hilang dari pandangan.
Sepeninggal Uak Joni, ingatanku beralih kepada Ibu. Ah, malu benar aku. Sudah lama tidak berkirim kabar ke perempuan yang sudah melahirkanku itu.
“Jaga diri baik-baik Roma, jangan permalukan uakmu di sana,” pesan Ibu kala aku putuskan hendak mengadu nasib di tanah orang.
“Satu lagi, cari rezeki yang halal. Tak guna uang banyak, kalau haram. Tak ada keberkahan,” lanjut Ibu seraya melepas kepergianku.
Kalimat dari Ibuku itu selalu terngiang. Namun, agaknya di tengah situasi sulit ini, aku agak ragu memaknai kata halal. Yah, mungkin aku termasuk golongan yang setuju dengan pendapat, “Cari yang haram saja susah, apalagi yang halal.”
Mengingat pesan itu, hatiku mulai ragu. Jalan mana yang harus ditempuh. Kulihat kembali pesan di layar ponsel. Pesan yang tadi pagi dikirim oleh Odi, kawanku.
[Ada kerjaan mudah Rom, tapi bayarannya enggak murahan. Tinggal antar ‘barang’ ke konsumen langsung dapat uang. Hubungi nomor ini, bila kau mau.]
Berulang kali kubaca pesan itu dengan hati yang ragu. Bayangan uang yang akan didapat seperti menjadi candu untuk menerima pekerjaan itu. Namun, pesan Ibu masih terus terngiang.
Kuhela napas dengan kasar seraya melangkahkan kaki kembali ke dalam rumah.
Tepat saat aku membuka pintu, ponsel berbunyi tanda sebuah pesan baru masuk.
[Bang Roma, Amran datang membawa beribu hadiah. Aku masih menunggumu, membawa berjuta mutiara.]
Mataku membulat seolah tak percaya. Hatiku kian goyah dengan pilihan yang ada, harta, wanita, atau dosa?
“Tidak Ani!” pekikku dalam hati.[*]
Dumai, 9 Juli 2021
Rosna Deli adalah seorang ibu rumah tangga, dengan menulis membuatnya menjadi lebih hidup.
Editor : Rinanda Tesniana
Gambar : https://pin.it/4mn8MV5
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata