Robohnya Sebuah Benteng
Oleh: Siti Whe
Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar. La ilaha illallahu wallahu akbar. Allahu akbar wa lillahil hamdu.
Pekik takbir bertalu bersahutan. Memenuhi langit Merden, dengan ragam kekuatan gemanya. Suara bas laki-laki dewasa, diikuti riuh renyah suara anak-anak, memekak sarat semangat. Mengerahkan keyakinan, mereka penuhi bumi ini dengan luapan aura kegembiraan menyambut hari kemenangan nan fitri.
Kulirik jam dinding di atas pintu kamar, jarum pendeknya menjurus tepat di angka 4. Mungkin “baterai” anak-anak di masjid sebelah telah terisi penuh lewat tidur semalam, sehingga sepagi ini mereka sudah berada di mimbar, berebut mikrofon, berlomba eksis lewat pengeras suara yang terpancar dari atas menara. Pikirku, apa lacur jika kemudian semangatku tak lebih tinggi dari mereka?
Miris.
Kusibak selimut bergambar stroberi, kutumpuk ia di atas tubuh mungil si bungsu. Meski dingin, aku memaksakan diri berjalan menuju dapur. Pundak berat berkat kesibukan menyetrika dua belas jam lalu, rupanya membekas dan perlu diusir segera. Tapi terpaksa kutunda, teringat kebutuhan air hangat untuk anak-anak mandi yang harus segera ada. Panci dengan setengah badannya yang dipenuhi air, kutahtakan di atas tungku yang butuh 3 sampai 4 kali percobaan untuk dipantik. Dapurku menyala, tanda kehidupan mulai ada di rumah kecil kami.
Selembar koyo satu-satunya di kotak obat sedikit mengurangi pegal di pundak sebelah kiriku. Bergegas aku memasuki kamar anak, membangunkan anak lelakiku.
“Mas, bangun. Salat subuh,” ujarku pelan.
“Kak, bangun,” kataku singkat pada si sulung. Semalam ia sudah berjanji tak susah dibangunkan. Setelah sebelumnya aku berikan jabaran agenda yang harus dilakukan sebelum salat idulfitri. Ia yang genap 11 tahun kini, tak perlu waktu lama untuk menelaah dan merangkai pemikiran sendiri, menanggapi konsep yang aku rancang sedemikian rupa. Waktu cepat sekali berlalu. Tak terasa ia kini telah beranjak mendewasa. Begitu membanggakan dan membahagiakan.
Kuhangatkan opor mahakarya duet bersama Kakak semalam. Wangi. Aroma bawang goreng kentara, menggoda selera. Sementara dari dalam kamar mandi, guyuran air yang menempa dinding, berburu dengan waktu. Penggunanya menyadari, mereka telah ditunggu banyak laku. Sementara tetiba aku merasakan sebuah pelukan dari belakang.
“Masakan Ibu wangi sekali. Ibu atau Ayah dulu yang mandi?” sapuan lembut napasnya mengenai telinga kananku, makin dalam membuatku terhanyut.
“Ibu, pasta gigiku habis.” Hasbi bersuara agak nyaring. Ia ingin mendapat perhatian, melawan deru air dari kran.
“Sementara, pakai dahulu pasta gigi Lubna, Mas!”
Segerombolan bunga kertas di teras depan, pagi ini mendadak berubah fungsi menjadi latar swafoto. Tak Cuma untuk ketiga anakku, tapi satu dua tetangga yang lalu lalang pun tak kuasa menolak keindahannya. Apalagi kupu-kupu yang sudah tentu punya mau. Mereka beterbangan, menambah suasana menjadi lebih ceria. Bak aneka fitur di aplikasi editan, adanya untuk meramaikan suasana.
“Uang yang buat anak-anak sudah disiapkan, Bu?”
“Sudah, Yah. Sudah diberikan juga. Tadi setelah salat, ada sebagian yang ke rumah untuk silaturahmi.”
“Zakat, Bu?
“Kan sehabis isya semalam sudah anak-anak serahkan ke tetangga. Ayah sudah mulai tua, nih! Banyak lupanya.” Ingin kucubit hidung mancungnya, gemas.
“Maafkan Ayah lahir batin ya, Bu”
“Ibu juga, Yah. Banyak salah Ibu ke Ayah.”
“Ibu masak opor, Ayah mau?”
Layar telepon genggamku menyala. Mode diamnya, tak mampu mengalihkan perhatianku. Tampak di sana muncul “Ibu”. Label sakti yang justru membuat aku risau.
“Ibu, itu Eyang.” Kakak menjelaskan.
“Angkatlah, mungkin mereka kangen dengan cucu,” ucap Mama menambahkan.
Dengan perasaan mulai kacau, aku beranikan diri menggeser tombol berwarna hijau ke atas.
“Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam, Bu. Bapak Ibu sehat?” tanyaku basa-basi.
“Alhamdulillah sehat, Nak. Maaf lahir batin ya, Nak. Ibu masak soto kesukaanmu, nih!”
“Iya, Bu. Saya lebih banyak salahnya ke Bapak Ibu, tadi mau langsung telepon. Tapi saya kadung repot ngurus anak-anak, Bu.” Suasana menjadi lebih cair dengan topik anak-anak tanpa menyengaja.
“Rudi sudah telepon, Nak?”
“Rudi salat di mana katanya?”
“Rudi makan apa ya kira-kira?”
Napasku berat. Ada yang membuncah, meski sekuat tenaga aku tahan. Pertanyaan biasa yang susah aku untuk mencarikan kekuatan diri untuk bisa menjawabnya. Karena aku kemudian sibuk menenggelamkan wajah ke bantal. Berusaha meredam suara sesenggukan yang malah makin menjadi.
“Mir … Mira, yang sabar, Nduk. Rudi pun ingin pulang, Nak. Ingin lebaran bersama kalian. Tapi ….”
Aku meraung menjadi. Andai beliau ada di sini bersamaku, mungkin sudah kuboikot pangkuannya demi menumpahkan rindu pada anak ke empatnya, ayah dari ketiga anakku.
Corona jahat.
Banjarnegara, 15 Desember 2021
Siti Whe adalah salah satu dari penyuka Harry Potter meski usia sudah kepala tiga. Seorang emak beranak 3, yang merasa belum terlambat menyukai dunia menulis. Yang setia menunggu masukan dari siapa saja di gurukelassdm@gmail.com
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pinterest
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata