Riyana dan Rania
Oleh: Ika Mulyani
Terbaik 6 Lomba Cerpen Fantasi Lokerkata
Suara ketukan keras di jendela, membuatku nyaris terpeleset di depan pintu kamar mandi.
Entah mengapa akhir-akhir ini aku jadi mudah terkejut. Sudah tiga buah gelas yang kupecahkan dalam satu pekan terakhir. Gelas ketiga yang jadi korban adalah gelas favoritku. Aku menjatuhkannya hingga hancur berkeping-keping, hanya gara-gara kaget ketika kucing milik tetangga kamarku tiba-tiba muncul seraya mengeong keras di bingkai jendela yang kebetulan terbuka. Padahal memang kucing itu sering duduk di sana untuk tidur sambil berjemur.
Aku tidak bisa memperbaiki gelas itu. Sementara ini, kukumpulkan saja semua kepingan pecahannya dan menyimpannya baik-baik di dalam sebuah kotak. Aku harus menunggu Riyana yang sangat ahli dalam memperbaiki hal-hal semacam itu hanya dengan mantra sederhana.
Aku pernah meminta Riyana untuk mengajariku ilmu yang dikuasainya itu. “Siapa tahu bisa,” kataku merayu.
Riyana dengan serta merta menolak. “Tidak mungkin,” katanya.
Kukatakan bahwa aku pernah mendengar ada orang yang tadinya sama sekali tidak memiliki kemampuan sihir, lalu ia belajar dan akhirnya bisa.
Riyana menanggapi dengan tersenyum, lalu berkata, “Aku yakin sebetulnya dia sudah punya kemampuan itu dari lahir. Hanya saja munculnya terlambat.”
Ia lalu menjelaskan apa yang sebetulnya sudah aku ketahui sejak usiaku sebelas tahun, bahwa kemampuan sihir tidak bisa diajarkan. Itu bakat dari lahir yang tidak semua orang ditakdirkan untuk memilikinya. Kita hanya bisa mengasah kemampuan itu bila kita punya.
Tak lama kemudian, ketukan di kaca jendela kembali terdengar. Kali ini disertai seruan, “Raniaaa!”
Oh, panjang umur dia. Aku seharusnya tidak perlu kaget dan sudah bisa menduga siapa yang mengetuk jendela malam-malam begini. Bukan Riyana kalau ia bertandang lewat jalan yang biasa.
“Kalau ada cara yang lebih praktis dan menyenangkan, kenapa harus repot-repot naik tangga lima lantai? Kamu juga tahu aku tidak suka naik lift,” ucapnya ketika suatu kali, aku melayangkan protes.
“Kata ibuku, masuk lewat jendela itu tidak sopan.”
“Aku, kan, sudah dapat izinmu untuk masuk. Jadi aku sudah cukup sopan. Kalau kamu tidak mengizinkan, aku tidak akan masuk.” Ia berkilah.
Yah. Betul juga, sih.
Dengan handuk melilit rambutku yang basah, aku pun bergegas melangkah ke arah jendela dan menyibakkan tirai. Di luar sana kulihat Riyana tengah bergerak naik turun pada sapu terbangnya seraya melambaikan tangan dengan senyum terkembang lebar di bibirnya. Sebelum aku sempat menyentuh kunci selot, Riyana sudah mengarahkan telunjuknya pada kunci itu sambil berkomat-kamit, lalu seketika jendela pun bergeser terbuka.
Aku meringis. “Jangan sampai ada pencuri yang punya bakat seperti kamu itu. Bisa gawat!”
Kini aku tahu apa yang dimaksud oleh ibuku, bahwa kemampuan sihir menuntut tanggung jawab moral yang tidak main-main. Jadi, seharusnya aku tidak perlu terlalu sedih.
Riyana terkikik. “Halo! Ini pesananmu.” Ia berkata seraya menyodorkan plastik putih di tangan kiri, sementara tangan kanannya mencengkeram gagang sapu.
Sudah sebulan ini Riyana memilih untuk menambah uang saku dengan menjadi petugas pengantar pesanan sebuah marketplace. Aku pernah bertanya, tidak adakah mantra yang bisa menggandakan uang, supaya ia tidak usah berpayah-payah bekerja di luar jam kuliahnya yang padat? Riyana berkata ada, tetapi uang hasil penggandaan oleh mantra akan terdeteksi sebagai uang palsu, yang tentu saja tidak bisa digunakan.
“Ya ampun. Kamu kirim besok juga enggak masalah, Ri.” Aku meraih bawaannya. “Sudah jam berapa ini? Bulan kedua saja sudah muncul, tuh!” Aku menunjuk dua bulan sabit yang menggantung di langit di belakang gadis itu. “Ini aku enggak harus bayar upah lembur, ‘kan?”
Riyana tergelak. “Kebetulan hari ini banyak yang harus diantar. Dan ini yang terakhir. Boleh aku masuk?”
Aku mengangguk dan bergeser, memberi jalan. Cukup repot juga membuat sapu terbang itu bisa masuk ke kamarku yang tidak terlalu luas. Tetapi kali ini Riyana berhasil masuk tanpa menyenggol benda apa pun. Sebetulnya tidak masalah kalaupun ia sampai merusak sesuatu. Dengan bakat yang dimilikinya, ia dapat dengan mudah membereskan segala kekacauan dalam sekejap mata.
“Sudah lihai rupanya sekarang.” Aku bertepuk tangan.
Riyana tersenyum penuh kemenangan, lalu menyandarkan sapunya di dekat jendela.
“Boleh aku minta minum? Mulutku rasanya kering betul.”
Aku mengangguk dan menunjuk teko dan gelas di atas meja di sudut. Riyana pun beranjak ke sana.
“Tidak ada gelas lain?”
Oh, ya. Aku baru ingat kalau hanya punya empat gelas. Aku pun bergegas mengambil kotak berisi pecahan beling yang berhasil kukumpulkan, lalu menyodorkannya kepada Riyana. “Bisa tolong perbaiki?”
“Ya ampun!” Riyana berdecak. “Kenapa tidak beli saja gelas yang baru?”
“Belum sempat.”
“Kamu tinggal hubungi marketplace, dan aku akan langsung mengantarkannya ke sini.”
“Ini gelas favoritku.”
Riyana terkekeh. “Masih belum move on?” Ia tahu riwayat gelas istimewa itu.
Aku mengangkat bahu. “Dia sudah berjanji. Aku cuma harus lebih sabar untuk menunggu.”
Kini Riyana yang mengangkat bahu, lalu mengarahkan telunjuknya seraya menggumamkan mantra. Semua serpihan beling itu, hingga yang paling halus, melayang-layang di atas kotak, lalu saling menyatukan diri dengan gerak dramatis hingga membentuk sebuah gelas utuh. Gelas favoritku yang sudah kembali seperti baru, tanpa cacat setitik pun, mendarat dengan lembut di dalam kotak.
Aku memekik kegirangan mengucap terima kasih. Kugenggam gelas itu erat-erat dan mendekapkannya ke dada dengan sepenuh perasaan.
Riyana menggeleng-gelengkan kepala, lalu kembali mengarahkan telunjuknya, kali ini ke arah gelas yang ada di samping teko. Seketika, gelas bekas minumku itu bersih mengilap dan Riyana pun menuangkan air ke dalamnya, lalu minum dengan suara berisik. Rupanya ia benar-benar kehausan.
“Mau cokelat panas?” Aku harus merayakan kembalinya gelas favoritku ini.
“Boleh juga.” Riyana menjawab seraya menyerahkan gelasnya, lantas duduk berselonjor, bersandar pada kayu tempat tidurku.
Kami minum dalam diam. Aku mulai memperhatikan, Riyana terlihat gelisah. Beberapa kali ia menghela napas panjang.
“Kenapa, Ri?”
Riyana sedikit terkejut, lalu tersenyum dan menggeleng. Aku menunggu.
Riyana kembali menghela napas. “Sudah malam. Aku harus pulang. Terima kasih cokelatnya, ya,” ucapnya seraya berdiri.
Aku tersentak. Ini di luar kebiasaan Riyana, tetapi aku tidak mau memaksa. Aku sudah hafal tabiatnya yang tidak pernah tahan untuk memendam sesuatu. Suatu hari pasti ia akan menceritakan penyebab kegelisahannya itu.
“Tunggu!”
Riyana menghentikan langkahnya menuju ambang jendela dan menoleh.
Aku mengeluarkan isi plastik yang tadi dibawa Riyana, membaginya menjadi dua bagian yang sama, lalu memasukkan kembali salah satu bagian ke dalam plastik dan menyodorkannya kepada sahabatku itu. “Abon ayam, dendeng sapi, dan keripik kentang spicy. Lumayan untuk teman makan.”
“Wow! Terima kasih banyak!” Mata Riyana berbinar. “Aku pulang, ya.” Ia meraih sapu terbang dan menaikinya.
Rupanya meskipun sedang gundah, Riyana tidak melupakan kebiasaan konyolnya: memutar tubuh dan membuat posisi duduknya di atas sapu terbang jadi terbalik, hingga rambut hitamnya menjuntai ke bawah, melambai-lambai ke arah trotoar dan jalan raya di bawah yang sudah mulai lengang.
“Kamu enggak takut jatuh, duduk terbalik begitu?” Aku bertanya seraya menumpukan kedua siku pada bingkai jendela, sementara kedua tanganku menggenggam erat gelas yang tinggal terisi separuh.
Riyana tersenyum dan menggeleng, tidak terlihat bosan dengan pertanyaan yang telah kulontarkan puluhan kali itu. Ia malah sengaja menggerakkan sapunya turun naik.
“Andai aku juga bisa naik sapu itu sendiri.” Aku mengeluh penuh ingin, juga untuk puluhan kali, membuat Riyana terkekeh.
Selama ini, aku hanya bisa menumpang di belakang Riyana. Hanya orang yang berbakat sepertinya yang bisa menerbangkan sapu ajaib itu.
Setelah terlihat puas membuatku iri, Riyana memutar tubuhnya kembali pada posisi normal.
“Dahhh Raniaa!” serunya seraya menendangkan kakinya sedikit, lalu meluncur membelah kegelapan langit malam.
Dua bulan sabit itu tiba-tiba tampak seperti dua bibir yang tertawa, mengejek ketiadaan bakat sihir dalam diriku. []
Ciawi, 27 Oktober 2024
Ika Mulyani, lebih suka membaca buku Harry Potter hingga berkali-kali, daripada menonton filmnya.
Komentar Juri, Imas:
Riyana dan Rania adalah sebuah cerita dengan ide sederhana yang tampaknya, pada pembacaan pertama, akan terasa biasa saja. Namun, setelah dikulik lebih jauh, cerita mengenai dua orang yang memiliki perbedaan ini menjadi cukup menarik. Salah satu tokoh memiliki kemampuan sihir, tokoh lainnya tidak.
Di dalam sebuah pertemanan, kerap ada rasa iri terhadap pencapaian yang didapatkan oleh salah seorang, akan tetapi, ketika sudah terbiasa dan paham bahwa memang tidak sembarang orang memiliki bakat, perasaan iri itu akan menguap. Cerita ini diselesaikan dengan baik, lewat perasaan tokoh yang sekali lagi, sedikit merasa kecewa dengan dirinya, tapi tetap dengan nada yang santai.