Riwayat Ia yang Berakhir
Oleh : Esa Nara
Kemarin aku memutuskan untuk bunuh diri. Membiarkan sosokku membusuk dan berharap agar selekas mungkin terlupakan dari ruang memori siapa saja yang pernah mengenal. Jika pun ada yang masih ingin mengingat, biarlah sebatas mengenang—tanpa perlu menyesali pilihanku untuk mengakhiri hidup, apalagi hingga mengharap kematian itu tak pernah terjadi. Karena sungguh, keputusanku telah final.
Maka beberapa hari sebelum eksekusi, aku berusaha menyiapkan diri. Pakaian yang masih sangat layak pakai, kumasukkan ke dalam tas besar untuk nantinya disumbangkan, sementara dalam kotak kardus berkumpul barang-barang pribadi, yang seperti halnya bajuku: masih sangat layak dan juga akan didermakan. Beberapa barang lain yang rusak dan setengah rusak mengisi dua kotak kardus lain dengan label rongsokan tertempel di salah satu sisinya.
Di tengah kegiatan menyingkirkan jejak-jejak kehidupanku, aku menemukan selembar foto di antara setumpuk carikan kertas usang. Adalah masa tiga tahun silam yang dibekukan dalam potret tersebut. Menampilkan Ry dan aku yang saling merangkul dan tersenyum lebar menghadap si pengutip gambar. Senyum yang dahulu kusangka berhasil mengelabui orang-orang dari rentetan kisah pedih yang kupendam sendiri. Namun rupanya terbaca oleh mata Ry.
Sorot mata Ry sama sekali tak tajam, malah cenderung teduh. Tapi dengan keteduhan itu, entah bagaimana caranya ia dapat menelanjangi isi kepala berikut benakku. Ry seperti memiliki daya magis yang mampu mengundangku memuntahkan sendiri informasi yang kututup rapat-rapat dari telinga orang lain. Barangkali itulah sebabnya mengapa di antara sekian banyak manusia di sekitaranku, hanya ia yang kuanggap sebagai teman—juga satu-satunya yang kukabari perihal rencana kematianku.
Kurang dari tiga puluh hari sebelum kemarin, aku memberi tahunya. Saat itu dini hari, kami baru saja pulang dari lokalisasi di sudut kota yang kumuh dan singgah di minimarket 24 jam untuk membeli air mineral, setelah Ry memuntahkan isi perutnya yang bercampur alkohol di pinggir jalan yang lengang.
Duduk di teras minimarket yang dingin sambil memijat tengkuknya, Ry berserapah, menyerocos bahwa ia tak akan sudi lagi menyentuh barang haram sialan itu—yang kutahu hanya sekadar ucapan lalu, karena bukan pertama kalinya ia mengungkapkan jera temporalnya tersebut. Aku sadar betul situasi yang tengah berlangsung sama sekali bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan niatku, karena ia masih dalam kondisi emosi yang tidak stabil dan setengah mabuk. Tapi justru karena melihat kondisinya itu yang membuat rasa penatku bertambah berkali-kali lipat. Hingga pertanyaan yang sudah begitu akrab dengan kepala kembali memaksa untuk dipikirkan.
Mengapa kehidupan kami harus seperti ini?
Jadi, sambil memperhatikannya yang sedang membasuh wajah dengan air mineral dari botol, kalimat itu meluncur dengan mulusnya dari ujung lidahku, “Aku lelah, Ry, aku ingin berhenti.”
Ia mendongak, menyipitkan mata menatapku, kemudian tersenyum di sudut bibirnya. Ry membawa tanganku ke dalam tangkup telapaknya yang masih basah, lantas berujar setelah satu cegukan, “Kau bisa melewati ini. Aku akan tetap bersamamu, tak peduli apa.”
Tapi aku tak ikut tersenyum. Kuhela napas panjang, membalas tatapan teduh Ry dengan raut serius. Lalu kusampaikan padanya perihal lelah yang beberapa pekan terakhir menggerogotiku, tak seperti biasanya. Bahwa aku sudah terlalu letih—bahkan muak—bersandiwara bahwa segala sesuatu dalam semestaku berlangsung normal dan baik-baik saja. Aku tak mungkin lagi—seperti yang baru saja ia sebutkan—sanggup melewati semua ini. Aku sungguh tak baik-baik saja dengan semua kepura-puraan akan diriku selama ini. Aku penat akan segala hal dan menyerah seperti satu-satunya opsi yang tersedia.
Jadi aku kembali berujar, “Aku tak bisa, Ry.”
Ry tak menjawab. Ia membuang muka pada lampu-lampu jalan di kejauhan yang berpendar redup. Sama redupnya dengan semangat hidupku, pun wajahnya. Lalu selang beberapa detik yang terasa selamanya itu, ia bangkit berdiri. “Aku ingin muntah lagi,” sahutnya dengan nada rendah sebelum berjalan menjauh dari tempat kami duduk. Kulihat setitik air mengembang di pelupuknya. Aku tahu Ry tak lagi mabuk, dan beranjaknya ia dari sana hanya untuk menyembunyikan air matanya dariku.
Sisa perjalanan pulang kami diisi dengan kesunyian paling hening. Bahkan tak ada suara cegukannya. Ry tak membuka suara hingga kami tiba dan menghilang di balik pintu kamar kos-an masing-masing. Entah apa yang ia pikirkan, aku tak berani menerka. Tapi esok harinya, Ry bertingkah normal. Seolah percakapan dini hari itu hanya imajinasi dan tak pernah berlangsung. Namun aku tahu, Ry sudah cukup sadar malam itu untuk bisa mengingatnya. Barangkali ia hanya tak ingin atmosfer canggung tercipta di antara kami. Sebenarnya aku pun begitu. Jadi seperti halnya Ry, aku berusaha untuk tidak mengungkit lagi perihal rencana kematianku—setidaknya hingga hari eksekusi.
Ry bukan sekadar satu-satunya teman, ia benar-benar satu-satunya yang kumiliki di dunia. Aku tak pernah mengenal keluarga biologisku, bahkan tak tahu di mana aku dilahirkan. Sejauh menggali ingatan, hanya ada gambaran samar-samar sebuah rumah kumuh di mana sosokku yang kecil dibesarkan oleh beberapa wanita yang tak satu pun dari mereka kupanggil ibu. Rumah tanpa arti pulang di dalamnya, tak lebih dari sebuah bangunan beton terkutuk yang membuatku tumbuh menjadi sosok seperti sekarang. Oleh sebab itu aku tak menulis surat wasiat, ucapan perpisahan, permintaan maaf atau apa pun namanya seperti yang pada umumnya dilakukan orang lain yang hendak bunuh diri. Dan kupikir Ry tak membutuhkan itu.
H-1 Ry tak lagi bisa bertahan dengan sandiwaranya, di sore hari ia masuk ke kamarku, aku tengah berbaring di kasur, menatap langit-langit sambil menghitung mundur detik-detik terakhir kehidupanku dalam hati. Aku meliriknya sekilas. Ia berjalan dengan langkah pelan, tak mengucapkan sepatah kata hingga berada di dekat meja depan jendela. Ia menggeser sisa-sisa kehidupanku yang tertumpuk dalam kotak kardus ke sudut meja lantas duduk di sana.
Tanpa memandangku yang masih berbaring, ia menyahutkan pertanyaan yang sudah dapat kutebak, “Kau yakin dengan keputusanmu?”
Intonasi suaranya begitu datar, membuatku menoleh sekali lagi untuk melihat ekspresi semacam apa yang ditampilkan wajahnya. Tapi gurat yang tengah menatap ke luar jendela itu serupa dengan bunyi ucapannya: datar. Seakan tak ada emosi yang tersimpan di sana. Aku mendudukkan diri di pembaringan, tak melepaskan mataku dari sosoknya yang tengah menumpu lengan pada bingkai jendela bercat putih kusam, sembari mengembuskan asap putih rokoknya ke udara luar yang penuh debu.
“Seratus persen,” ujarku pasti.
Saat itulah ia menoleh, mematikan nyala rokoknya di bingkai jendela sebelum membuang linting itu ke luar. Ia bangkit, ikut duduk di sampingku. Tak mengucapkan satu huruf pun melainkan membawaku ke dalam rengkuh lengannya. Aku tak berani mengartikan maksud di balik pelukannya itu, yang aku tahu, pelukan itu terasa tak sama dengan sekian pelukan sebelumnya. Jadi aku balas memeluk. Dan entah bagaimana prosesnya hingga pergumulan itu terjadi; kami bercinta.
Seperti ada kerangkeng yang terlepas membebaskan tubuh juga jiwa kami yang liar; memuaskan lapar dan dahaga yang seolah sudah sangat lama tertahan. Saling bertukar napas, juga keringat hingga puncak itu teraih, menyisakan benih-benih kehidupan yang justru tak sempat hidup. Seakan menjadi simbolik bahwa sebuah kehidupan di kamar itu juga akan berakhir malam ini.
Ry masih tak berkata apa-apa, ia terus bungkam ketika mengenakan kembali pakaiannya. Sore sudah memerah di luar sana, yang artinya ia harus segera berangkat untuk menyambung hidup. Dan secara ironi, menjadi arti semakin mendekatnya akhir riwayatku.
“Itu pilihanmu … dan aku yakin kau telah memikirkannya dengan baik.” Setelah mengatakan itu, Ry menghilang di balik pintu kamarku, kembali menuju ke dunia di mana aku menolak untuk melanjutkan hidup. Sementara aku, bangkit mematut diri di depan cermin. Memandangi wajahku yang memerah, juga rambut yang lepek menempel pada tubuh yang basah karena keringat.
“Sudah waktunya,” bisikku ketika malam mulai larut. Dari dalam laci meja, aku meraih pisau razor. Sejenak kuhela napas panjang, berusaha meyakinkan diri untuk tak goyah di detik-detik terakhir. Lalu akhirnya, bilah tajam itu menari di udara, menamatkan habis riwayatku.
***
Pagi masih basah ketika Ry datang, langkah kakinya pelan menyeret masuk ke dalam kamarku yang bercahaya remang. Ia menemukan pisau razor juga potongan rambut yang berserakan di sebelah tubuhku yang bersandar di dinding. Ry mendekat, duduk di sana lalu meraihku. Napasnya berembus pelan, lantas memanggil namaku. Tapi aku berbisik di telinganya, “Mulai hari ini, panggil aku Reno.” (*)
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata