Ritual Pemohon Hujan

Ritual Pemohon Hujan

Ritual Pemohon Hujan

Oleh: Nuke Soeprijono

Kemarau panjang yang terjadi di desa Sukamandi meresahkan banyak penduduk, termasuk Mas Saga. Sebagai petani di sini, dia sangat paham bahwa kemarau panjang berarti bencana besar bagi desa. 

Selain untuk kebutuhan sehari-hari para penduduk, pasokan air juga dibutuhkan untuk mengairi sawah dan minum bagi hewan-hewan peternakan di ujung desa. Keadaan yang tandus di pelbagai tempat menyebabkan tak adanya daun segar yang dikirim oleh tuan mereka. Akibatnya, hewan ternak itu terkena penyakit dan banyak yang mati sehingga tak bisa diolah menjadi daging asap seperti kebiasaan penduduk di sini jika memperlakukan daging mentah.

Kemarin–jika curah hujan turun dengan semestinya–genap sudah enam kali musim panen padi. Namun, rupanya paceklik ini belum juga berlalu dari desa kami. Kekeringan masih menghantui kehidupan desa Sukamandi. 

Memasuki bulan kesembilan belas, penduduk semakin resah dan banyak yang tak kuat dan tak siap menghadapi keadaan ini. Beberapa dari mereka memilih pergi meninggalkan rumah, sawah, dan ladang untuk mengungsi ke tempat lain. Hingga akhirnya petinggi desa segera mengambil tindakan. Dengan mengajak Mas Saga sebagai perwakilan warga, petinggi desa akan menjalankan kembali ritual yang tak lazim bagi kebanyakan orang. 

Jika aku boleh mengeluh rasanya ingin menyerah saja atau pergi jauh-jauh dari sini. Akan tetapi, keluar dari desa Sukamandi bagi perempuan yang memiliki anak kembar adalah suatu kemustahilan.

Ritual itu segera mereka laksanakan dengan syarat: barang siapa yang memiliki sepasang anak kembar harus merelakan ayah dari si anak untuk dijadikan persembahan dengan cara dipotong bagian tubuhnya. Lalu keluarganya harus mau menyimpan beberapa bagian tubuh si kepala keluarga yang nantinya diasapkan terlebih dahulu sebelum disimpan di atap rumah sebagai wujud penghormatan terakhir. Bahkan yang lebih gila lagi, jika akhirnya stok makanan penduduk belum juga terpenuhi, bagian-bagian itu boleh dibagikan dan dimakan–bagi penduduk yang mau. 

Ingin rasanya menentang peraturan gila yang diambil oleh petinggi desa atas nama tradisi ini. Sebab sepertinya aku tidak akan sanggup menjalani. Apalagi ini melibatkan Mas Saga, yang harus jadi tumbal pada ritual yang sama, yang terjadi dua puluh tahun silam pada salah satu keluarga lain. Semua demi berlangsungnya kehidupan desa Sukamandi. Meninggalkan tradisi ini saat kemarau panjang berarti membiarkan bencana kelaparan mengancam penduduk.

Malam itu bulan purnama tepat berada di atas puncak kepala, petinggi desa dan orang-orang kepercayaannya yang berjumlah tujuh orang berkumpul di tanah lapang. Tak ada obor atau benda lain yang digunakan sebagai penerang. Ada enam orang yang kepalanya ditutup kain berwarna hitam, sedangkan satu yang bertugas sebagai eksekutor memakai tutup kepala berwarna hijau tua. Mas Saga berada di tengah-tengah mereka. Berbaring di atas meja kayu persegi dengan kepala ditutup kain berwarna merah darah.

Tak ada suara tetabuhan seperti yang biasa ada pada upacara ritual. Suara yang terdengar hanyalah suara jangkrik yang mengerik di tengah gelapnya malam dan suara petinggi desa yang menggumamkan mantra.Tak lama setelah itu dan ketika selesai mengusap seluruh badan Mas Saga, petinggi desa lalu mengangkat tangannya tinggi-tinggi sebagai aba-aba agar orang bertutup kepala hijau tua tadi segera mengeksekusi Mas Saga. 

Aku yang–tadinya terlihat tegar dan kuat hati–ikut berada di antara mereka akhirnya tak bisa menahan diri lagi untuk tidak menjerit. Aku jatuh pingsan sebelum sang penjagal berhasil memotong-motong tubuh suamiku. 

Tiga bulan berlalu setelah ritual dilakukan, hujan sudah mulai turun secara teratur. Tanah menjadi gembur dan tanaman mulai menghijau. Kini desa kami selalu basah oleh titik-titik air yang jatuh dari langit. Bagi kebanyakan penduduk setelah kemarau panjang kemarin, fenomena ini terasa segar dan menyejukkan.Terdengar lagi gemericik air sungai, hewan ternak di ujung desa juga mulai beranak-pinak. Penduduk mulai menanam jagung dan palawija lainnya sebagai stok bahan pangan yang sebagian hasilnya nanti akan diberikan padaku sebagai ungkapan rasa terima kasih. 

Di halaman rumah kami, Nahla dan Najwa–kedua anak kembarku yang tahun ini berumur tujuh–suka sekali bermain sambil bernyanyi. Kebiasaan ayahnya dulu selalu bersenandung kecil dengan riang gembira saat melakukan apa saja. Rupanya hal itu menurun pada kedua anakku.

Tik tik tik … bunyi hujan di atas genting. Airnya turun tidak terkira. Cobalah tengok, dahan dan ranting. Pohon dan kebun basah semua.

“Kak, lihat! Langitnya mendung lagi.” Najwa berteriak pada Nahla yang berada di sebelahnya dengan jari yang menunjuk ke arah langit. “Ayo, Bu, kita main hujan!” serunya sambil menarik-narik ujung kain yang kukenakan. Aku hanya tersenyum getir karena tidak bisa langsung ikut menemani mereka  yang ingin bermain hujan. Tugasku membereskan hasil panen penduduk yang dijemur di halaman depan belum selesai. 

Tiba-tiba aku teringat sosok Mas Saga. Biasanya, kami melakukan pekerjaan apa pun selalu bersama. Namun, sekarang aku harus berlapang dada jika ini harus kukerjakan sendiri. 

“Iya, nanti Ibu mau ikut main. Tapi kita ambil karung dulu, ya? Keburu hujan, takut jagungnya nanti basah lagi,” kataku mengajak si kembar untuk membantu. Dengan antusias Nahla dan Najwa memunguti pipilan jagung yang mulai mengering itu. Aku berharap curah hujan tidak terlalu tinggi sebab bisa-bisa jagung-jagung ini membusuk. Dan itu artinya mau tak mau kami harus meminta makanan yang lebih layak kepada penduduk.

Tak lama kemudian hujan turun menderas. Ini lebih deras daripada hujan kemarin. Disusul angin yang bertiup kencang, aku mengajak si kembar masuk ke dalam. Setengah jam kemudian, jalanan depan rumah sudah berubah menjadi genangan air kira-kira setinggi kaki anakku. Sempat juga aku melihat sampah daun-daun kering dan ranting yang ikut hanyut terbawa arus. Ah, iya, sisa-sisa kemarau kemarin meninggalkan banyak sampah yang belum sempat dibersihkan oleh penduduk. 

Aku melirik ke arah Najwa dan Nahla. Mereka terlihat ketakutan duduk diam di pojok ruang tengah. “Najwa sama Nahla nggak usah main hujan, ya, Ibu takut nanti ada apa-apa,” kataku setelah merasakan bakal ada sesuatu yang akan terjadi. Tetesan air dari atap rumahku yang bocor mulai membasahi lantai. Kuajak mereka bernyanyi untuk menenangkan dan mengalihkan perhatian. 

“Tik tik tik … bunyi hujan di atas genting. Airnya turun tidak terkira. Cobalah tengok ….”

Braaak!

Tiba-tiba atap plafon rumah runtuh sebab tak mampu lagi menahan tetesan air dari atap rumah yang bocor. Najwa dan Nahla terkejut dan terlihat ketakutan lalu saling berebut memelukku sambil menahan tangis. Lagi-lagi mereka membelalakkan mata ketika melihat potongan kaki dan tangan yang telah diasapkan ikut jatuh runtuh bersama puing-puing plafon. Demi Tuhan aku yakin, Najwa dan Nahla pasti akan menangis histeris jika menyadari bahwa potongan anggota badan itu milik ayah mereka.[*]

Nuke Soeprijono, si alter ego yang ‘sedih’ saat turun hujan.

Editor: Evamuzy
Sumber Gambar: pinterest.com

Leave a Reply