Rio Grande: Kisah dari Bawah Sungai (Terbaik ke-15 TL 20)

Rio Grande: Kisah dari Bawah Sungai (Terbaik ke-15 TL 20)

Terbaik Ke-15 TL 20
Genre Folklore
Rio Grande: Kisah dari Bawah Sungai
Oleh: Vianda Alshafaq

 

Mereka tidak begitu sering membawa anak-anak ke sini. Sejak aku berdiam di dalam gua yang berada di dasar Sungai Rio Grande ini—mungkin sudah belasan atau bahkan puluhan tahun—mereka hanya membawa sekitar dua belas anak. Barangkali memang tidak banyak anak yang mau menghampiri Sungai Rio Grande setelah kejadian waktu itu. 

***

Aku yakin kau sudah mendengar kisah La Llorona, kisah mengenai seorang ibu yang mencari anak-anaknya di sekitaran Rio Grande sambil menangis dan menjerit, “Ay, mis hijos![1]. Ia menggunakan gaun putih seputih kain kafan dengan renda-renda hitam. Rambut hitamnya terurai panjang dan basah, seakan-akan ia baru saja selesai berendam di Sungai Rio Grande yang dingin. Air matanya tidak pernah berhenti turun selagi ia berjalan menyisir tepian sungai, dengan harapan bahwa ia akan segera menemukan anak-anaknya. Perihal anaknya ini, kau pasti juga sudah dengar. Konon kabarnya, ibu itu membunuh anak-anaknya sendiri. Ia menenggelamkan mereka ke Rio Grande ketika malam tengah membentang di langit, dan bulan sedang bulat sempurna dengan cahaya yang super megah. Katanya, perempuan itu baru saja ditinggalkan oleh suaminya yang berselingkuh dengan wanita yang lebih muda. Akibat keputus-asaan yang ia alami, perempuan itu akhirnya mengambil keputusan untuk merenggut nyawa anaknya sendiri. 

Namun, tahukah kau, temanku? Sebetulnya kisah itu tidak sepenuhnya benar. Jika kau ingin tahu yang sebenarnya, kemarilah. Duduklah dengan benar, dan aku akan menceritakannya padamu.

Sejak seminggu sebelum kejadian itu, Ibu memang selalu tampak murung. Wajahnya sudah serupa benang kusut yang tidak jelas lagi ujungnya di mana. Ia hanya duduk di pojok kamar, dekat jendela yang selalu dibiarkan terbuka. Kadang-kadang ketika hujan turun lebat dan merembes masuk melalui jendela yang terbuka itu, Ibu tetap membiarkannya. Ia hanya menembakkan matanya ke luar, tetapi tidak ada apa-apa di mata itu. Kosong. Kelam. Dan, muram. Awalnya kami—aku dan adikku—tidak tahu mengapa Ibu sampai begitu. Tetapi di hari ketiga, ketika Ibu masih dalam kondisi yang sama, aku menyadari bahwa Ayah tidak pulang akhir-akhir ini. Saat itu, kurasa aku bisa menebak mengapa Ibu berdiam diri di pojok kamar selama berhari-hari. 

Kemudian, malam itu, Ibu tiba-tiba keluar dari kamarnya. Ia membangunkan dan mengajak kami keluar. Kami berjalan masih dengan mata yang setengah mengantuk. Bahkan aku tidak menyadari ke mana Ibu membawa kami. Di saat itulah, semua ketidakbenaran dalam cerita itu dimulai. 

Memang Ibu menenggelamkan aku dan adikku ke Sungai Rio Grande sesuai cerita mereka, tetapi aku tidak mati karena hal itu—entah bagaimana dengan adikku, aku tidak tahu sebab kami belum bertemu sejak kejadian hari itu. Malam itu, ketika tubuhku mulai masuk ke kedalaman Rio Grande yang dingin dan gelap, aku merasakan sesuatu yang lain menarik tubuhku. Aku dapat merasakan selaput berlendir di antara jari-jari yang memegang tubuhku. Namun, belum sempat membuka mata dan melihat siapa dia, aku kehilangan kesadaran. Entah untuk berapa lama, sebab ketika aku membuka mata, aku sudah berada di gua ini. Aku terbaring di dasar gua dengan tubuh yang setengah kering. Ketika melihat ke sekitar, aku melihat beberapa makhluk aneh—yang akhir-akhir ini kuketahui kalau mereka disebut Kappa di Jepang. Sejauh yang aku tahu dari anak-anak yang mereka bawa ke gua ini—kadang beberapa dari mereka memberitahuku mengenai Kappa, barangkali cerita tentang Kappa sudah tersebar lebih jauh daripada waktu aku masih hidup—dalam cerita-cerita yang disampaikan orang-orang, Kappa hanya ada di perairan Jepang. Tetapi, lihatlah, itu tidak benar. Mereka bahkan ada di Rio Grande yang sangat jauh dari Jepang. 

Kembali ke Kappa, mereka memiliki tubuh yang kecil serupa manusia, hanya sekitar enam kaki (seukuran tubuh anak kecil) tetapi memiliki kepala yang datar. Kulit mereka berwarna hijau dengan sisik-sisik yang berlendir. Mereka memiliki tangan dan kaki yang berselaput seperti bebek serta sebuah cangkang di punggung mereka yang tampak seperti cangkang penyu. Dan yang lebih aneh dari semua itu adalah cekungan serupa mangkuk di kepala mereka yang selalu berisi air. Katanya, cekungan ini harus selalu berisi air, jika tidak Kappa akan kehilangan kekuatannya. 

Setelah sadar, aku menatap Kappa-Kappa itu satu per satu. Mereka juga menatapku. Sesaat aku bingung apakah yang aku lihat memang kenyataan atau hanya sekadar ilusi yang digambar otakku sebelum mati. Sampai kemudian, Kappa itu saling menatap dan bercakap-cakap menggunakan bahasa Kappa. Aku tidak mengerti mereka membicarakan apa, bahkan untuk sekadar menirukan bahasa mereka saja aku tidak bisa. 

“Berdirilah, kau harus menari dan bernyanyi. Kau harus menghibur kami!”

Aku terperangah mendengar kalimat itu. Ternyata Kappa itu bisa berbahasa manusia. Saat itu, seketika aku berpikir, “Apa lagi kemampuan makhluk aneh ini selain mampu berbahasa manusia dan mampu membuatku tetap hidup di kedalaman Rio Grande ini?”

Aku masih terkejut untuk sesaat, sampai salah satu Kappa yang lain mengulangi kalimat yang sama. Dengan segera, aku berdiri. Tubuhku sedikit sempoyongan, pandanganku sedikit buram. Mungkin karena aku bangun terlalu buru-buru. 

Aku mulai menggerak-gerakkan tubuhku asal dan memasang wajah kesal, sebab aku memang tidak suka menari—menari itu melelahkan. Aku melakukan gerakan apa saja asal mereka bakal mengira kalau aku sedang menari. Kupikir, menghibur Kappa adalah hal yang mudah. Barangkali asal aku bergerak, mereka akan merasa terhibur. Tetapi ternyata tidak. Mereka yang semula duduk sejak aku mulai bergerak, kini malah berdiri dan menatapku sangar. Aku takut setengah mati. Meski aku tidak tahu mereka memiliki tabiat seperti apa, tetapi aku merasa bahwa aku tengah terancam. Tubuhku seketika merinding, dan pikiranku semakin kacau saat salah satu Kappa berjalan mendekat. Kemudian, dengan waktu yang tidak lama, Kappa-Kappa itu mulai menyakitiku. Mereka memukuliku hingga aku terbaring kaku di dasar gua.

***

Sejak aku mati di tangan Kappa, aku—maksudnya rohku—terperangkap di gua ini. Aku tidak bisa ke mana-mana. Kappa, dengan kekuatan magis yang ia punya, membuatku menetap di sini sebagai pengamat untuk anak-anak yang mereka curi. Setelah lama di tempat ini dan mengamati Kappa-Kappa itu, aku menyadari bahwa mereka tidak sepenuhnya berkepribadian buruk. Suatu kali, aku pernah melihat Kappa itu memperlakukan seorang anak dengan baik hanya karena anak itu meminta bantuan agar ia dapat hidup dengan baik  menggunakan tutur kata yang sopan. Ia juga berkata bahwa ia akan menghadiahi Kappa dengan beberapa mentimun—dan aku baru tahu kalau Kappa sangat menyukai mentimun—jika Kappa membiarkannya kembali ke tepian sungai. Dan benar saja. Kappa mengantarkan anak itu kembali ke tepian sungai. Seharusnya, aku juga melakukan hal yang sama waktu itu. Tetapi, mau bagaimana lagi, saat itu aku tidak tahu kalau Kappa bisa dibujuk dengan beberapa buah mentimun. 

Namun, kau tahu, temanku, sepertinya bukan cuma aku yang tidak tahu cara membujuk Kappa. Lihatlah, di gua ini masih tersisa beberapa anak yang tiap hari bergantian menari untuk menyenangkan hati Kappa. Hanya saja, mereka memang lebih baik dariku. Mereka menari dengan benar dan sungguh-sungguh. Dan beberapa orang yang pandai bernyanyi, akan bernyanyi bergantian. Ketika Kappa-Kappa itu merasa senang, ia tidak akan memukuli atau menyiksa anak-anak itu. Setelah Kappa-Kappa itu merasa senang, biasanya mereka akan meninggalkan anak-anak itu dan pergi ke—mungkin—permukaan Rio Grande. Kalau tidak ke permukaan, maka mereka akan tertidur di gua ini.

Temanku, kau pasti penasaran apa yang aku lakukan di sini, kan? Aku tidak menghibur Kappa seperti mereka. Aku hanya mengawasi anak-anak itu, dan sesekali menceritakan kepada mereka tentang apa saja yang bisa kuceritakan—untungnya mereka dapat melihatku, barangkali karena Kappa menggunakan kekuatannya juga, entahlah—saat mereka tidak menghibur Kappa. Ketika Kappa pergi dari gua ini atau sedang tertidur, anak-anak itu akan duduk di depanku dan minta diceritakan sesuatu. Kadang-kadang, kalau aku merindukan ibuku, aku bakal menceritakan kisah kami yang sebetulnya sudah sering kuulang. Pada saat seperti itu, mereka bakal berteriak serempak, “Kalau itu kami sudah tahu!” Kalau mereka sudah begitu, maka aku harus menceritakan kisah yang lain.

Temanku, seandainya kau bisa menolongku, maukah kau menceritakan pada orang-orang bahwa ibuku bukanlah perempuan jahat seperti yang mereka bilang? Atau, mungkinkah kau bisa menolongku keluar dari gua ini dan menemui ibuku agar ia berhenti meratap dan menyusuri Rio Grande setiap malam?***

Agam, 25 Maret 2023

Catatan kaki:

[1]”Oh, anak-anakku!”

Vianda Alshafaq, mahasiswi kimia yang menggeluti dunia sastra.

 

Komentar Juri:

Cerpen ini bagus, terasa sekali folklore-nya. Hanya saja, logika naratornya kurang cermat. Ada satu keterangan yang sedikit aneh. Si tokoh aku mencoba mengatakan bahwa ibunya tidak jahat, tetapi ternyata memang si ibu yang menenggelamkan ia dan adiknya. Jadi sebenarnya hingga akhir cerita, tidak ada pembelaan yang bisa ia jelaskan kepada pembaca.

—Ika Mulyani

Leave a Reply