Rindu yang Terpendam
Oleh: Asrunalisa
Hari ini sungguh melelahkan. Rasanya tubuh ini ingin segera disegarkan. Kuparkirkan sepeda motorku di garasi rumah. Tercium harumnya sambal dari arah dapur yang mengundang rasa lapar. Memang perut sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Segera kulangkahkan kaki menuju pintu samping.
“Assalamualaikum, Bunda.”
“Waalaikumsalam. Eh … Zara, sudah pulang rupanya,” jawab Bunda sambil membalikkan ikan yang sedang digoreng.
“Iya, Bunda. Zara capek.”
“Ada tugas lagi ya hari ini? Ya sudah, sana mandi dan salat dulu, sesudah itu kita makan sama-sama,” kata Bunda sambil menata hidangan di atas meja.
Hidangan siang ini sungguh menggugah selera, ikan sambal dan sayur bayam, ditambah lagi udang goreng tepung. Sungguh nikmat sekali.
“Baik, Bunda, Zara mandi dulu ya, biar segar,” jawabku sambil mengambil udang dan langsung berlari ke arah kamar. Bunda hanya menggelengkan kepala melihat tingkahku.
***
Setelah salat aku langsung menuju meja makan. Di sana sudah ada Bunda dan Ayah. Rumah kami terlalu sepi, kalau siang hari di rumah hanya Bunda yang tinggal seorang diri. Ayahku seorang guru yang mengajar di sebuah sekolah ternama. Dia terlalu sibuk dengan tugasnya. Walaupun begitu, Ayah selalu menyempatkan diri pulang dan makan siang di rumah, setelah itu berangkat lagi ke sekolah karena ada jam mengajar sore.
Aku adalah anak semata wayang mereka. Bahkan aku sangat menginginkan kehadiran seorang adik. Aku merupakan seorang mahasiswi semester empat. Targetku ialah menyelesaikan study dalam jangka waktu tiga tahun.
“Boleh Ayah katakan sesuatu?” tanya Ayah memulai pembicaraan.
“Ayah mau bicara apa?” jawab Bunda sambil menuangkan air putih ke dalam gelas.
“Ada yang ingin melamar Zara,” kata Ayah.
Sontak saja aku terkejut dengan topik pembicaraan tersebut. Mulutku dipenuhi makanan, langsung saja kuraih segelas air dan langsung meneguknya. Aku berusaha tenang di hadapan Ayah dan Bunda.
“Dia itu anak Kepala Sekolah tempat ayah mengajar, usianya terpaut lima tahun dengan Zara. Dia baru saja menyelesaikan study S2-nya di Mesir,” Ayah melanjutkan.
“Ayah sudah pernah jumpa dengannya?” tanyaku di sela cerita Ayah.
“Pernah. Sekali, dan itu kemarin. Kebetulan dia ada ke sekolah dan kami pun sempat ngobrol,” jawab Ayah.
“Tapi, coba Zara pikirkan lagi, kalau Zara sudah siap, baru kita taaruf dulu dengan mereka,” kata Bunda.
***
Kurebahkan tubuhku di pembaringan, berusaha melepaskan segala kepenatan. Kucoba resapi kembali kata-kata Ayah tadi. Aku masih bingung memberi jawaban. Belum lagi tugas kuliah yang harus kukejar, kini sudah ada target lain yang harus dilewati.
Sekarang aku memang tidak menjalin hubungan apa pun dengan seorang pria. Banyak lelaki di kampus yang mencoba mendekati, tapi belum ada satu pun yang dapat menggetarkan hati. Rinduku masih terpatri pada seorang yang pernah membuatku nyaman.
Kucoba memutar kembali kejadian beberapa tahun silam. Ketika itu aku duduk di bangku kelas satu SMA. Aku pernah jatuh hati pada seorang guru PPL waktu itu. Mungkin itulah cinta pertamaku. Aku merasakan getaran di hati ketika memandangnya. Aku merasa nyaman jika berada di sampingnya, bahkan aku sangat merindukannya jika dia tidak masuk sekolah. Walaupun demikian, aku tidak pernah berani mengungkapkan isi hati dan perasaanku padanya. Kata-katanya selalu membuatku termotivasi, dan aku tidak pernah tahu apa dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Tapi, aku benar-benar jatuh cinta padanya. First love of my life.
***
Aku menoleh ke arah jam dinding yang terus bekerja. Tidak terasa sudah pukul 16.10. Aku baru saja menyelesaikan tumpukan setrikaan. Kurenggangkan sebentar tubuhku untuk melancarkan kembali peredaran darah sebelum menuju kamar mandi. Segera kurebahkan tubuhku di sela-sela kain yang sudah tersusun rapi. Menyetrika sudah menjadi kegiatan rutinku setiap hari Minggu.
“Zara, segera siap-siap dan langsung salat, biar ini Bunda yang selesaikan.” Suara Bunda mengejutkanku.
“Kita akan kedatangan tamu nanti malam setelah selesai salat magrib,” kata Bunda lagi sambil memindahkan kain yang sudah disetrika.
Ada perasaan dag-dig-dug yang aku rasakan mendengar berita itu. Siapakah sosok yang akan dijodohkan denganku. Maukah dia menerimaku apa adanya, dengan kondisi sifatku yang ceplas-ceplos.
***
Aku masih malas keluar kamar. Beberapa kali aku mendengar suara Bunda memanggilku. Aku masih terpaku di atas sajadah, tidak terasa butiran air mata jatuh di pipiku. Perasaanku bercampur aduk. Malam ini aku akan dikenalkan dengan seorang pria yang memang belum aku kenal. Aku hanya mengikuti dan pasrah dengan apa yang diinginkan Ayah. Ayah begitu yakin dengan sosok pria yang akan dijadikan pendamping hidupku nanti.
“Ya Allah, semoga hamba tidak salah memilih keputusan. Hamba mohon petunjuk dan perlindunganmu,” aku membatin.
Aku bergegas bangkit. Segera kukenakan hijabku lalu melangkah keluar kamar menuju ruang tamu. Di sana sudah ada yang menanti kehadiranku. Aku berjalan dengan sidikit menunduk dan duduk di sebelah Bunda.
“Jadi ini, putrinya Pak Mahmud,” kata seorang lelaki yang hampir seumuran dengan ayahku. Sepertinya beliau adalah Bapak Kepala Sekolah.
“Iya, Pak. Cantik ya,” kata istrinya.
Aku di suruh ke taman di samping rumah, kata mereka, sosok pria yang akan dikenalkan padaku ada di sana. Aku segera ke sana menemuinya. Malam ini cuaca lumayan hangat. Sambil melangkah pelan, aku memandang bulan yang saat ini sedang bulat sempurna. Lalu mataku mencari sosok yang membuatku penasaran, tapi dia tidak terlihat di sana. Hatiku sedikit kesal, dan memutuskan ingin balik ke kamar saja. Tiba-tiba, seseorang menepuk bahuku.
“Mau ke mana?”
Suara itu mengejutkanku. Desiran darah mengalir sekujur tubuhku. Bibir ini kelu.
“Sudah saya duga, pujaan hati kini hadir di depan mata. Sepertinya kita tidak perlu taaruf lagi, langsung menikah saja, boleh ya?” tambahnya lagi dengan tanpa ada rasa ragu.
“Jadi, Bapak yang ingin dikenalkan dengan saya?” tanyaku dengan perasaan campur aduk.
“Eeeiit … jangan panggil bapak, saya kan, calon imammu,” katanya sambil tersenyum. “Apa Zara sudah siap menjadi teman hidup saya? Zara adalah first love for me. Sejak pertama kita bertemu, saya sudah jatuh hati. Namun saya belum berani mengungkapkannya waktu itu, karena saya pikir belum saatnya. Jadi, saya ingin Zara halal bagi saya, bagaimana? Apa saya diterima?”
Kata-katanya begitu menyentuh kalbuku. Aku memejamkan mata. Serasa tidak percaya, orang yang pernah menjadi guruku di sekolah, dia pula cinta pertamaku yang pernah hilang, rindu yang terpendam kini terobati, kini hadir kembali menumbuhkan benih cinta yang hampir mati. (*)
Asrunalisa, wanita yang suka membaca dan selalu mencoba menuangkan imajinasinya dalam bentuk rangkaian kalimat. Lahir di tanah serambi mekkah, 6 Mei silam. Mencoba kuat dalam menjalani kehidupan, dengan tersenyum semua itu tidak terasa berat. Selalu berusaha menebar kebaikan, karena itu merupakan sebagai pengingat bagi dirinya sendiri.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata