Rindu-Rindu yang Tak Terungkap

Rindu-Rindu yang Tak Terungkap

Rindu-Rindu yang Tak Terungkap

Oleh: Jemynarsyh

Shanon adalah gadis remaja berusia enam belas tahun. Badannya yang kurus membuat dirinya terlihat kecil. Tak heran, saat upacara setiap Senin pagi, ia selalu berada di barisan paling depan.

Di sebuah rumah yang amat sederhana, Shanon seperti biasa membantu Nek Lastri memasak. Empat buah singkong rebus telah matang dan siap untuk disantap.

Nek Lastri dan Shanon begitu lahap memakan rebusan singkong ditemani secangkir teh. Sambil sesekali bercerita.

“Shanon, apa ibumu sudah ada menelpon?” tanya Nek Lastri sembari mengunyah singkong.

“Belum ada, Nek,” jawab Shanon.

“Nanti kalau telepon bilang ya, suruh ngirim uang. Sudah dua bulan tapi belum juga ngirim,” keluh Nek Lastri.

Shanon hanya diam tak menimpali ucapan sang Nenek. Di sudut hatinya yang paling dalam ia juga merasa sedih, sejak kecil sudah dititipkan dengan Nenek. Sedang Santika—ibu Shanon—bekerja di kota. Beliau hanya pulang saat Lebaran saja.

“Shanon, kamu dengar apa kata Nenek?” tegur Nek Lastri.

Shanon tergagap, buyar sudah lamunannya. Ia hanya mengangguk lalu bergegas membereskan sisa makanan mereka.

Shanon tahu, tinggal bersama orang lain tidak bisa berleha-leha. Begitulah yang dirasakannya selama ini. Meski tinggal bersama sang Nenek dari pihak Ibu, tetap saja rasanya berbeda.

Shanon tak leluasa menolak perintah Nek Lastri. Ia harus patuh pada apa yang diucapkan sang nenek. Sebab, Nek Lastri keras kepala. Tak ingin dibantah.

***

Semburat senja menghiasi langit sore ini. Rumah tampak sepi, Nek Lastri belum Juga kembali dari ladang. Shanon baru saja tiba dari rumah Pak Alam, juragan walet di desa ini. Ia bekerja tiap hari Minggu di rumah Pak Alam, dan uang yang dihasilkan cukup untuk menambah uang belanja.

Shanon merasa tenggorokannya kering. Dengan langkah berat ia berjalan menuju dapur. Mengisi segelas cangkir sampai penuh dan meneguknya hingga tandas.

Ia ingin istirahat barang sejenak, melepas lelah setelah seharian bekerja. Lalu, gadis itu merebahkan diri di ranjang sampai terlelap. Namun, belum lama Shanon tertidur, suara Nek Lastri mengejutkannya.

“Ya Allah, Shanon! Bangun! Masak air! Sudah mau senja jangan tidur,” tegur Nek Lastri, tangannya bertumpu pada pinggang, memandang lekat Shanon yang terduduk sambil mengucek mata.

Nek Lastri selalu marah bila Shanon lalai pada tugasnya.

Ia terus membicarakan tentang keburukan Santika yang suka membangkang dan tak bisa diatur.

“Santika ibu kamu itu, kalau nurut sama Nenek gak bakal jadi janda dan hidup susah seperti sekarang,” ucap Nek Lastri sambil merajang kacang panjang.

“Kamu kalau tinggal sama Nenek harus nurut, jangan seperti ibu kamu yang pembangkang itu,” sambungnya.

“Coba lihat Bibi Losu, hidupnya nyaman. Tidak perlu bekerja.” Perempuan tua itu terus menggerutu.

Shanon yang sedang meniup bara api, merasa kesal. Telinganya panas mendengar perkataan sang nenek. Satu hal yang selalu mengganggunya akhir-akhir ini, kenapa harus dibanding-bandingkan?

Suara azan menggema, dari pengeras suara yang berasal dari Musala. Cahaya lampu pada tiap rumah menjadi penerang di tengah gelapnya malam. Sedang kesibukan nenek dan cucu itu masih terus berlanjut.

“Nanti kalau air sudah masak, buatkan nenek kopi,” pinta Nek Lastri.

Shanon hanya mengangguk.

Bibirnya kelu jika harus menjawab semua ucapan Nek Lastri. Entah kenapa, akhir-akhir ini perasaan Shanon mudah sekali tersinggung bila mendengar ucapan neneknya itu, jadi ia memilih diam.

Usai mengantarkan kopi, Shanon bergegas ke kamar. Malam ini ia tak berniat menemani sang Nenek menonton sinetron kesukaannya yang ber-soundtrack lagu “Hati yang Kau Sakiti” itu. Entah, apa yang membuat Nek Lastri begitu menyukainya.

Shanon menatap bintang di langit dari jendela kamar. Ada bulan yang bersinar terang di sana. Apakah malam ini bulan purnama?

“Entahlah.” Shanon menjawab sendiri pertanyaan yang melintas di benaknya.

Semilir angin berembus, tercium aroma bunga kopi dari samping rumah.

Shanon duduk di samping rumah, mencoba menelepon sang Ibu. Sembari menunggu jawaban dari seberang sana, ia menatap jalanan dengan sendu. Teringat perpisahannya dengan sang Ibu.

“Halo, Shanon,” jawab Santika.

Shanon terhenyak, matanya kian mengembun mendengar suara ibunya. Ada rindu yang menggebu di dada. Dengan perlahan ia menghela napas panjang.

“Ibu, apa kabar? Kenapa Ibu jarang telepon?” protes Shanon pada Santika.

“Maaf, Nak, Ibu sedang banyak pekerjaan. Nenek gimana, sehat?”

“Nenek sehat. Ibu disuruh ngirim uang sama Nenek.”

“Nenekmu itu, giliran uang saja minta sama Ibu, kenapa tidak minta sama Losu saja?” keluh Santika.

Shanon terdiam mendengar keluhan ibunya. Sungguh bukan ini yang ingin Shanon dengar ketika memutuskan menghubungi Santika. Shanon lelah mendengar keluhan mereka yang itu-itu saja.

“Shanon tidak tahu, Bu,” balas Shanon.

“Lain kali, kalau Nenek minta uang lagi suruh ke Losu saja, habis uang ibu enggak bisa nabung.”

“Iya, Bu.”

“Besok Ibu kirim uangnya, kamu masih ingatkan pesan Ibu tadi?” tanya Santika memastikan Shanon mengingat pesannya.

Shanon hanya berdeham menimpali.

“Ya, sudah kalau begitu, Ibu mau istirahat,” ucap Santika mengakhiri pembicaraan.

Shanon menatap nanar pada gawainya. Air mata yang tertahan sejak tadi pecah mengingat semua ucapan sang Ibu. Shanon sedih tak bisa bercerita banyak. Ia juga rindu dengan belaian kasih sayang seorang ibu. Shanon terduduk di lantai, napasnya tersengal menahan sesak. Sungguh Shanon lelah, ia hanya ingin didengar dan diperhatikan.

Palangkaraya, 21-03-21

Jemynarsyh, perempuan pencinta kopi dan suka membaca. Kesibukannya selain bekerja adalah belajar aksara dan mencipta karya.

Editor: Rinanda Tesniana

Leave a Reply