Rindu
Oleh: Wulan Putri
Aku berdiri di depan mulut terowongan yang besar dan kokoh. Seakan-akan ada energi kuat memanggil namaku, menarik diri masuk ke dalam agar bernostalgia melintasi ruang yang gelap, dan berjalan di atas aspal hitam hingga sampai di ujung sisi yang lain, tetapi tentunya itu hanya halusinasi, ketakutanku. Semuanya tidak nyata, tidak mungkin, tidak akan mendapatkan izin karena semua yang ada di wilayah ini hanya digunakan satu tahun sekali.
Saat ini, gurun seperti kota mati, tidak banyak manusia yang hilir mudik, hanya sesekali bus yang melintas perlahan memperlihatkan apa saja yang ada di sana. Berbeda jika musimnya telah tiba, wilayah ini akan menjadi lautan manusia.
Bangunan beton berbentuk setengah lingkaran mengingatkan aku pada kenangan puluhan tahun lalu. Peristiwa yang menjadikan aku kuat menghadapi semua ujian hidup yang tidak pernah surut. Aku harus berjuang untuk diri sendiri dan adik-adik menggantungkan impiannya di pundakku, seorang lelaki yang dipaksa menaklukan dunia di usia yang masih belia.
Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar, kelas enam, sedangkan adik masih kelas empat, kami bertandang ke rumah Allah, menunaikan ibadah haji bersama Mama dan Papa. Kedua orang tuaku adalah dokter, aku pun ingin menjadi seperti mereka. Jantungku kembali berdetak lebih kencang, ada sesak yang menggerogoti relung hati, kembali kenangan itu muncul tanpa diminta.
Kami perlahan memasuki terowongan. Awalnya semua normal, berjalan teratur sesuai perintah ketua rombongan. Mama berdiri di depan, di belakangnya Papa, Adik, lalu aku. Kami antre dengan tertib.
Tiba-tiba dorongan kuat terjadi bersamaan dari depan maupun belakang, terasa sekali tubuhku terhimpit. Aku mendengar teriakan orang-orang dari berbagai bahasa. Samar terdengar permintaan untuk kita tetap berada dibarisan, dan jangan mendorong. Papa memanggil nama kami satu persatu, aku menyahut, begitu juga adik.
“Mereka aman, Pak Dokter!” teriak seorang lelaki di belakangku. “Lanjutkan berjalan, jangan menoleh ke belakang, saya akan menjaga anak-anak dari sini.”
“Terima kasih, Pak Atmo,” ucap Papa tanpa menoleh.
“Sama-sama, Pak. Tetap fokus, dorongan dari belakang semakin kuat.”
Papa memerintahkan Adik untuk memegang sabuk yang melingkar di kain ihram-nya, aku pun memegang bahu perempuan mungil di depanku, menjaga agar tetap berdiri dengan tegak. Di dalam hati aku melantunkan ayat suci, berdoa agar segera sampai di tujuan.
Suara gaduh mulai menggema, jeritan permintaan tolong kembali terdengar. Mama pun berteriak memanggil nama kami satu persatu. Papa, Adik dan aku pun kembali menyahut. Lengan Pak Atmo berada di sampingku, menjadi benteng pertahanan agar tidak ada yang bisa menyentuh.
Suasana sangat mencekam kala itu, jerit, tangis dan amarah terdengar begitu dekat. Udara semakin tidak kondusif, peluh membasahi punggungku, dorongan dari dua arah masih kami rasakan. Mataku melirik ke arah sebelah kanan, di bagian sana lebih padat. Aku melihat seorang perempuan yang terlepas dari pegangan dan terjatuh, tidak sempat melihatnya bangkit.
“Tetap fokus, lihatlah ke depan, jangan ke arah lain,” bisik Pak Atmo.
Aku tidak tahu apakah perempuan itu sempat berdiri atau terinjak orang yang berada di dekatnya. Bisikan pria dewasa di belakangku memaksa untuk tidak memikirkan hal lain, aku harus tetap di barisan menjaga adik.
Dorongan kembali datang dari dua arah, kali ini lebih dahsyat yang aku rasakan, pegangan adik terlepas dari Papa, kami terpisah. Di depan Adik ada lelaki tinggi besar tergeser dari sisi sebelah kanan, aku merasa dia bukan orang Indonesia, dari wajahnya dapat dikenali mereka penduduk sekitar. Pak Atmo terus berbisik agar aku tetap fokus, dia juga berteriak pada Papa bahwa kami aman bersamanya.
Cahaya putih tertangkap pandangan mata, sebentar lagi kita sampai di ujung terowongan, hanya tinggal beberapa langkah saja. Jika aku meloncat mungkin hanya tiga atau empat kali, tetapi ujian belum berakhir, teriakan Adik, menyadarkan bahwa apa yang ada dalam pikiranku tidak akan mudah untuk diraih.
Kedua orang tuaku berada di depan terowongan, mereka sudah menghirup udara baru, terbebas dari himpitan dorongan. Aku terkejut bukan main, di depan kami banyak orang yang terjatuh, entah masih bernapas atau tidak, yang pasti mereka terinjak-injak.
Mama menangis, berteriak untuk tetap melihat ke depan, dan menguatkan pegangan pada orang yang lebih kuat. Wanita cantik kesayanganku, mengambil payung yang ada di jalan, berusaha dengan sekuat tenaga agar adik dapat meraihnya, tetapi gagal.
Adikku berteriak kencang, ada yang menarik mukenanya dari bawah, badannya sudah hampir jatuh, aku menahan agar tetap berdiri tegak, tangan Pak Atmo dengan cekatan menarik kembali kain putih yang menutupi kepalanya.
“Angkat mukena bagian atas, Adik,” perintah Pak Atmo. “Ingat jangan sampai terjatuh, kita tidak tahu dapat berdiri lagi atau tidak jika sampai terjatuh.”
Papa dan Mama masih berusaha untuk mencari barang yang dapat digunakan untuk menarik aku dan adikku. Beberapa orang yang selamat saling tolong menolong, menggotong orang-orang yang terjatuh ke tepi agar kami dapat sampai di depan.
Namun, fisik yang melemah, membuat mereka pun kelelahan. Belum lagi beberapa orang terlihat histeris karena anggota keluarganya ada yang sudah tidak bernapas. Genggaman tangan adik semakin kuat, kakinya berjalan perlahan, di antara tubuh-tubuh yang terjatuh. Pak Atmo dan istrinya tidak dapat berbuat banyak, mereka pun berusaha untuk tetap berdiri tegak, berusaha menahan gelombang dorongan dari belakang.
Papa berjalan perlahan masuk kembali ke dalam terowongan, tangannya berusaha menggapai tangan Adik, percobaan pertama gagal, begitu pun yang kedua.
“Kakak kencangkan pegangan pada Adik, jangan sampai jatuh, Bapak akan mendorong kalian dari belakang agar Papa dapat meraih tangan Adik. Paham?”
Aku mengangguk. Hitungan ketiga dorongan dari Pak Atmo terasa menggerakkan kaki kami, hingga Papa dapat meraih tangan Adik dan memberikannya pada Mama. Rianti sudah berada ditempat aman. Aku bergerak maju melewati Papa.
“Papa titip adik-adik, Kak. Kamu pasti bisa menjaga mereka. Segera susul adikmu.”
Teriakan Mama dan Pak Atmo membuat aku berbalik. Aku tidak tahu bagaimana kedua orang tuaku dapat terjatuh, bahkan lelaki kuat yang mendorongku tadi pun sempat terjatuh bersama istrinya.
“Kakak!”
Kami berdua berteriak memanggil nama Mama dan Papa, tetapi tidak ada yang menjawab satu pun. Aku memeluk adikku yang menangis histeris.
Tepukan di bahu mengurai kisah masa lalu yang muncul satu persatu dalam alam bawah sadar. Dua perempuan cantik berada di kedua sisi tempat aku berpijak. Secara bersamaan mereka mengalungkan tangannya di lenganku. Entah ingin memberi kekuatan atau mereka yang sebenarnya butuh ketegaran.
Aku menatap Rininta. Dia pasti sangat rindu pelukan Mama dan Papa. Ketika peristiwa itu terjadi, dia masih berumur lima tahun, belum banyak kenangan yang tersimpan, berbeda dengan Rianti, yang sempat trauma setelah kejadian itu.
Kuucapkan ayat suci berkali-kali dalam hati berusaha agar degup jantung yang berdetak kencang segera mereda, sayang, aku lemah. Genangan ini semakin memenuhi pelupuk mata, sekali saja mengedip hujan akan membasahi wajah tanpa ekspresi.
“Mama dan Papa memaklumi jika Kakak ingin menangis,” ucap Rininta.
Mama, Papa, aku kembali membawa adik-adik ke sini, kami merindukan kalian. Aku akan selalu menjaga adik-adik sesuai amanat Papa. (*)
Bogor, 16 Februari 2022
Wulan Putri. Seorang wanita penikmat senja dan aroma kopi.
Editor: Imas Hanifah N
Gambar: Pixabay