Rindu

Rindu

Rindu
Oleh : Aisyahir

Rasanya sungguh berbeda. Sangat berbeda dari sebelumnya. Hingga semua ini membuatku tak tahan, ingin segera menghentikannya. Entah bagaimana keadaanmu sekarang? Akankah kau juga merasakan hal yang sama denganku? Sebuah rasa yang begitu sesak di dada, membuat sang pemilik hati begitu tersiksa. Rindu, itulah kata yang mewakili segala rasa yang kurasakan saat ini.

Sudah dua hari setelah kepergianmu. Namun, bayangan-bayangan itu masih saja terus menghantuiku. Ingin rasanya aku membuangnya. Namun sayang, aku tak bisa. Sekeras apa pun aku berusaha, semua itu tak akan hilang walau ditelan waktu. Sebab, hal yang kusebut dengan kenangan itu akan terus ada sepanjang hidupku.

Kini aku berdiri. Sendiri, di bawah naungan cahaya rembulan. Semilir angin mulai terasa menusuk-nusuk hingga ke dalam kulitku. Menjalari seluruh tubuhku hingga menyejukkan hati dan pikiran. Aku menutup mata, berharap bisa melihat sosokmu di sana. Dan benar saja, aku melihatmu. Dalam khayalanku. Senyummu begitu manis, dan suaramu begitu indah terdengar. Menyebut-nyebut namaku dengan fasih. Dan tanpa kusadari, buliran-buliran bening itu mulai berjatuhan membasahi pipi.

Aku rindu.

Aku kembali tersadar dari khayalanku, berjalan masuk ke ruang tamu untuk menenangkan diri. Duduk di sofa dengan kepala bersandar. Betapa sunyinya rumah ini setelah kepergianmu. Walau tatanannya masih sama, tetap saja ada yang kurang, yaitu dirimu. Entah kenapa kau harus pergi meninggalkanku di saat aku masih sangat membutuhkan dirimu. Mungkin inilah yang disebut takdir. Dan takdir telah mempermaikanku. Ia merebut semuanya dariku: orangtua, adik, kakak, dan sekarang dirimu. Rasanya sakit, ingin menyusul tapi aku tak tahu harus ke mana. Aku tak tahu jalan menuju ke sana. Hingga saat ini, aku hanya bisa berserah diri. Menunggu giliranku untuk menyusul kepergian kalian.

Aku mulai menyapu setiap inci rumah kita dengan pandanganku. Begitu banyak kenangan yang kita ukir di rumah ini. Rumah yang sebelumnya sangat tak ingin kau tempati, sebab katamu terlalu berlebihan jika hanya dihuni oleh kita berdua.

“Tidak, aku tak ingin tinggal di sini, Mas. Kita tinggal di rumah İbu aja,” tolakmu.

“Pokoknya kita akan tinggal di sini, Sayang. Lagi pula, kita tak bisa selalu membebani ibumu. Aku sudah mapan untuk menghidupimu. Dan dengan tinggal di rumah baru kita, salah satu wujud dari keberhasilanku mencukupimu.”

“Tapi, Mas. Rumahnya terlalu besar, bukankah ini berlebihan. Jika Mas mau, kita bisa membeli rumah yang sederhana saja.”

“Tidak! İngat, tugas seorang istri apa?”

“Patuh pada suami,” jawabmu dengan wajah ditekuk, aku bahkan ingin tertawa melihat ekspresimu itu.

“Nah, itu! Makanya, patuhi saja keinginan suamimu ini.”

Akhirnya kau mengangguk setuju waktu itu. Rasanya senang sekali, setidaknya aku bisa menghabiskan lebih banyak waktu denganmu.

Air mataku kembali menetes mengingat momen itu. Walau awalnya terpaksa, tapi pada akhirnya kau ikhlas tinggal di rumah ini. Mengurusku dengan baik, dan mengurus rumah ini dengan sangat baik pula. Bagiku, kau adalah istri terbaik. Masakanmu selalu mengugah selera, keahlianmu mengatur tatanan rumah membuat siapa saja takjub dan betah tinggal di rumah ini. Senyum manis yang terus kau sungguhkan padaku, tak pernah kuabaikan walau sekali. Senyum yang selalu menyambutku ketika pulang kerja, bagun pagi, hingga di saat aku hendak tertidur. Begitu spesialnya dirimu bagiku. Tapi sekarang, semua itu hanya tinggal kenangan semata. Tak dapat lagi kurasakan dan hanya mampu untuk kukenang.

Pagi ini, seperti hari sebelumnya, aku mulai membiasakan diri tanpa dirimu. Bangun, tanpa dibangunkan seperti biasa. Merenung sejenak, lalu pergi ke kamar mandi. Tak seperti biasa, yang akan mendapatkan kecupan hangat serta senyum manis darimu. Sungguh sangat berbeda. Dan aku merindukannya.

Kini aku bergeming. Menatap secangkir kopi yang tak ingin kucicipi. Percuma saja aku tambahkan gula sebanyak mungkin. Pada akhirnya, akan tetap terasa pahit juga. Ditambah kepahitan hidup yang kurasakan, semakin membuatku tak berselera mencicipinya. Tidak seperti kopi buatanmu. Walau kurang asupan gula, akan tetap manis rasanya. Apalagi jika aku meminumnya sambil menikmati senyum manis yang kau sungguhkan padaku. Serba manis. Ah, semua ini membuat dadaku semakin sesak. Rasa yang memang sepantasnya muncul, tapi rasanya aku tak menginginkannya. Aku benci kerinduan. Rasanya menyiksa.

Sudah tiga hari masa kepergianmu. Dan sampai saat ini aku belum bisa melupakanmu. Dan aku pun belum menyiapkan bekal apa-apa sebagai persiapanku untuk menyusulmu. Rasanya aku takut. Takut jika sampai kita akan ditempatkan di lokasi yang berbeda. Cukup saat ini saja kita berpisah. Di sana, tidak lagi.

Segera kutinggalkan secangkir kopi itu. Mengambil wudu lalu menunaikan salat Duha. Setidaknya, dengan menghadap pada Rabb-ku, aku bisa sedikit tenang.

Aku kembali meneteskan air mata. Kini aku melakukam segalanya sendiri. Makan, tidur, membersihkan, dan hidup seorang diri. Semua ini begitu menyakitkan. Aku sudah terbiasa selalu melakukan apa pun bersamamu. Tapi kini, tak lagi. Aku tak bisa lagi merasakan kebersamaan itu. Aku memang suka ketenangan, tapi bukan ketenangan seperti ini yang kuinginkan. Ini terlalu tenang, hingga yang kurasakan hanyalah kesepian. Bayangan-bayanganmu terus saja muncul di hadapanku, membuat rasa rinduku semakin bertambah.

Perlahan, kudengar suara ponselku berdering. Dengan malas aku mengangkat telepon itu tanpa membaca nama kontak yang tertera di sana.

“Halo, Nak.” Ternyata ibu mertuaku yang menelepon.

“Iya, Bu. Ada apa?”

“Masih sedih?”

“Masih, Bu.”

“Nak, berhentilah menangisi istrimu. Ikhlaskan dia. Istrimu sudah tenang di sana. Jangan terus seperti ini, istrimu pasti tak suka.” Suara lembutnya kembali terdengar. Suara Ibu kembali mengigatkanku padamu.

“Aku sudah mengikhlaskannya, Bu. Aku hanya perlu waktu untuk sendiri.” Aku memang telah mengikhlaskan kepergianmu. Mana mungkin aku tak melakukannya?

“Baguslah kalau begitu. Ibu harap kesedihanmu bisa segera berlalu.”

Aku tak menjawabnya. Sebab, aku pun tak tahu apakah aku mampu untuk melakukannya. Tak ada lagi suara dari Ibu. Segera kumatikan ponselku, lalu kusingkirkan jauh-jauh.

Lisanku telah mengikhlaskan kepergianmu. Tapi kenapa hatiku begitu berat untuk melakukannya? Rasanya begitu sesak. Hatiku terasa perih. Aku pun tak lagi berduka karena kepergianmu. Tapi kerinduan ini, tak henti-hentinya menyiksaku. Andai rasa ini dapat digadaikan, ingin rasanya aku menggadaikannya. Sebab, aku tak tahan untuk merasakannya. Rasanya berat untuk dijalani. Apalagi kerinduanku tak mampu lagi menemukan titik temunya. Hanya bisa tercurahkan lewat untaian doa. Kuharap Tuhan menyampaikan pesan rinduku padamu. Dan segala kenangan kita, rasanya ingin kusumbangkan saja pada mereka yang tak memiliki cukup kenangan. Tapi tidak! Sepertinya aku tak mampu melakukannya. Biarlah kenangan ini akan tetap ada. Menemani rasa rinduku yang kian bertambah.(*)

Aisyahir. Lahir pada 25 September 2001. IG: Aisyahir_25.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply