Rindu
Oleh: Reza Agustin
Jika rindu berbayar, mungkin sekarang aku sudah kaya raya. Kalau setiap keringat yang mengucur dari tubuh diibaratkan sekeping rupiah, mungkin sudah puluhan celenganku yang penuh. Seandainya rindu seperti itu.
“Ndul, itu tolong pot bunganya yang pecah ditambal, ya. Besok ada kepala dinas yang mau inspeksi. Malu, dong, kalau lihat potnya rusak begitu,” perintah seorang pria berseragam padaku.
“Siap, Pak Komandan!” Aku memberikannya hormat dan pria itu lantas terkekeh kecil.
“Hus! Bukan komandan, tapi suruhan negara!” dia mengoreksi.
Bukannya jadi suruhan negara itu enak, dibayar dan dapat jaminan hidup? Kenapa wajahnya selalu sendu tiap kali menyebut dua kata itu? Bahkan ketika perut buncitnya tak lagi terlihat, aku masih bertanya-tanya. Padahal gajinya besar, dapat tunjangan sana-sini, kerjanya juga tak terlalu susah kalau kulihat. Bukannya berdempet-dempet di pasar, meraba saku atau tas selempang ibu-ibu. Kalau beruntung dapat uang, kalau apes dapat tonjokan.
Aku sendiri sebenarnya enggan kembali dengan pekerjaan itu. Terlebih lagi ketika anak pertama lahir. Masa anak dibesarkan dengan uang haram. Perutnya bisa buncit dan bernanah—seperti istriku—yang terakhir kali kuingat harus dirawat di rumah sakit karena perutnya yang kian membesar. Isinya bukan bayi, tentu saja. Istriku harus berpindah-pindah rumah sakit bahkan sebelum memasuki kamar inap. Kata mereka kami tak punya cukup uang.
Terpaksalah diriku mencari uang dengan cara yang pernah kulakukan di masa lampau. Berdempetan dan meraba. Sungguh, aku benci sekali pekerjaan itu. Banyak risiko yang harus ditanggung. Risiko kepada Sang Pencipta adalah satu-satunya risiko yang membuatku takut. Siapa yang tak takut dosa?
“Ndul, kamu gantiin aku bikin pot baru. Aku mau ketemu sama supplier-ku dulu.” Mungkin pria berkulit gelap yang baru saja bicara ini yang tak pernah takut dosa. Dia sudah sering keluar masuk penjara. Kalau masuk pun ia juga selalu membuat banyak dosa lagi. Bubuk putih yang diwadahi plastik klip kecil itu salah satunya. Pria berseragam itu selalu mengeluh tentang pria berkulit gelap yang selalu lolos inspeksi. Membawa masuk benda itu.
Aku heran sendiri saat kutahu harga satu bungkusnya bisa mencapai jutaan. Gila, berapa celengan yang kubutuhkan untuk menampung itu semua? Enak sekali membuat uang. Tak perlu berpanas-panasan, dia mungkin tak akan pernah merasakan sakitnya dipukuli massa atau diarak dengan wajah bonyok. Itu juga salah satu pekerjaan menyenangkan. Namun pria berseragam justru menyebutnya pekerjaan haram. Sanksi paling berat tentu saja hukuman mati.
“Kamu, goblok banget, Ndul. Masa kamu nurut terus sama dia, emang dia kasih kamu apa? Enggak ada satu orang pun di sini yang dikasih apa-apa sama dia. Padahal kalau istri sama anaknya datang berkunjung selalu bawa makanan mahal, kadang hape, kadang juga pelacur,” protes pria yang wajahnya penuh codet.
“Ya, namanya juga menolong, Mas. Enggak apa-apalah,” balasku sambil meneruskan kegiatan membuat pot.
“Dasar goblok! Kamu itu udah banyak ditipu. Kamu masuk penjara karena dia titipin sabu-sabu ke kamu, kalau kamu enggak goblok banget, enggak akan jadi begini! Emang kamu enggak kangen anak? Enggan kangen istri? Kalau kamu tetep tunduk di bawah kakinya, nanti kamu bakal di sini terus seumur hidup!” Pria bercodet itu murka. Ia lantas pergi, enggan membantuku membuat pot.
Kalau ditanya rindu, tentu saja aku rindu. Mungkin seluruh rindu itu bisa memenuhi semua pot bunga kosong di halaman lapas. Kalau saja, rindu itu bisa diibaratkan dengan recehan. Ah, aku memang harus sedikit pintar. Benar kata pria bercodet itu. Jika aku selalu tunduk tak bisa lebih pintar, maka selamanya aku akan terjebak di balik sel tahanan.
Malam itu ketika semuanya tertidur, aku melakukan sedikit tindakan pintar. Bubuk-bubuk putih yang selama ini tersimpan di balik saku celana pria berkulit hitam aku ambil semua. Kubuka satu-satu isinya lalu kutuang ke mulut pria berkulit hitam yang sedikit menganga karena mengorok. Semoga dengan begitu, ia tahu siapa orang yang pintar di sini.
Esoknya aku dipisahkan dari napi lain, pria berseragam itu menempatkanku di sebuah sel sendiri. Ia bilang istri dan anakku akan datang berkunjung hari ini. Akhirnya rindu itu tergadaikan. Pasti celengan-celenganku telah cukup untuk membayar tiket masuk mereka ke dalam lapas. Pria berseragam itu juga menyuruhku banyak berdoa, sebelum hari eksekusiku tiba. (*)
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata