Rijal dan Lelaki Misterius
Oleh : Musyrifatun Darwanto
Saat aku pergi, kisah tentang lelaki misterius itu belum juga usai. Tak ada yang tahu pasti siapakah sebenarnya lelaki itu. Kalau ada beberapa orang atau bahkan semua orang tahu, namanya bukan lagi lelaki misterius, bukankah begitu? Baiklah, akan kuceritakan sedikit hal yang selama ini kuketahui tentangnya, meski kisah yang akan kuceritakan ini adalah potongan-potongan kisah yang mungkin tidak utuh, juga memiliki akhir yang menggantung, tetap akan kuceritakan kepada kalian.
Lelaki berbadan tegap itu datang setelah rumah di sebelah pohon mangga ini kosong dalam beberapa bulan. Kehadirannya jelas membuat suasana rumah yang tadinya terlihat suram menjadi lebih cerah. Debu-debu yang menempel pada lantai, perabot, dan dinding yang catnya mulai mengelupas, ia bersihkan. Juga sarang laba-laba yang menggantung hingga menghitam di banyak tempat, tak luput ia singkirkan. Bahkan pohon jambu air yang tumbuh cukup tinggi di halaman rumah, hingga daun-daun keringnya berserak di tanah, ia tebang. Aku ingat, suatu siang ia pergi ke rumah di seberang jalan, lalu pulang membawa gergaji, alat pinjaman itulah yang ia gunakan untuk menebang pohon jambu air.
Lengan kekar lelaki itu berkeringat, hingga terlihat berkilat saat terkena sinar matahari. Aku lihat, seorang perempuan yang rumahnya berhadapan dengan rumah lelaki itu mengintip dari balik jendela kaca yang gordennya ia singkap sedikit. Perempuan itu tersenyum-senyum sendiri.
“Ah, pasti sangat nyaman jika aku bisa bersandar dan bergelayut manja pada lengan itu,” gumamnya pelan.
Pagi hari saat ibu-ibu berbelanja kepada seorang tukang sayur keliling yang berhenti tak jauh dari rumah lelaki itu, atau pada malam hari saat bapak-bapak ronda malam di pos jaga, atau kapan saja saat orang-orang punya waktu untuk berkumpul, Lelaki Misterius selalu menjadi topik utama pembahasan mereka. Aku tak mendengarnya langsung, tapi angin yang mengabarkannya kepadaku.
“Dia selalu pergi siang hari pada hari Kamis, lalu kembali pulang hari Jumat keesokan harinya, tepat sebelum azan Magrib berkumandang,” ujar seseorang.
“Tak ada yang tahu persis, siapa sebenarnya dia, karena satu-satunya orang yang mengurus surat kepindahannya, terkena stroke sesaat setelah lelaki itu keluar dari rumahnya menyerahkan berkas kepindahan. Dialah bapak ketua RT,” yang lain menimpali.
“Apa mungkin, lelaki tampan dan atletis kayak gitu masih lajang? Pastilah banyak perempuan yang jatuh hati padanya,” yang ini keluar dari mulut seorang gadis.
Di antara banyak orang di kampung ini, satu yang mencuri perhatianku, ia adalah pemuda kurus bernama Rijal. Pemuda yang sering mondar-mandir sambil membawa bungkusan kain yang ia letakkan di perutnya lantas ditutup jaket yang warnanya telah pudar, sehingga ia terlihat seperti perempuan hamil besar. Penampilannya yang awut-awutan, khas penderita gangguan jiwa dengan pakaian kumal, juga rambut kepala serta kumis dan janggut yang dibiarkan tumbuh panjang tak terurus, membuat sebagian orang ngeri melihatnya, dan sebagian lainnya iba.
Orang-orang mungkin menganggap Rijal gila, tapi pemuda itu tak pernah berbuat onar. Ia menghabiskan siang dan malamnya dengan berjalan-jalan di sekitar kampung. Anehnya, ia tak pernah keluar dari batas kampung ini, setelah berjalan jauh hingga ke gapura perbatasan kampung, ia akan putar balik. Tak ada yang tahu pasti siapa dan dari mana Rijal berasal, ia sama misteriusnya dengan lelaki penghuni rumah ini.
Emperan toko, pos ronda, atau teras rumah Lelaki Misterius adalah tempatnya bernaung saat malam hari. Bahkan pernah beberapa kali aku melihat Rijal berbaring di trotoar depan rumah Lelaki Misterius saat rumah itu dalam keadaan kosong, bungkusan kain yang biasa ia letakkan di perut, kini ia gunakan sebagai bantal.
Saat hampir tengah malam, seorang lelaki tambun mengenakan kaus oblong serta sarung bermotif kotak-kotak mendatangi Rijal—orang-orang memanggil lelaki tambun itu dengan sebutan Pak Haji. Lelaki tambun itu tak menunjukkan rasa takut sama sekali. Berbeda dengan beberapa orang yang melintas di jalan tadi sore. Tak begitu jelas apa yang Pak Haji ucapkan pada Rijal, ia mengulurkan sebuah kantong keresek, kurasa kantong itu berisi makanan, orang-orang di sini memang rutin bergantian memberikan makanan pada pemuda kurang waras itu, mereka seperti mendapatkan perintah tak kasatmata untuk melakukan hal tersebut.
Suatu hari, saat pekatnya malam telah bergulir setengahnya, seorang pemuda yang kutahu bernama Coki datang mengendap-endap di samping pagar tembok rumah rumah Lelaki Misterius, ia berhenti sebentar di bawah pohon mangga ini. Pemuda itu tampak kesulitan memanjat tembok pembatas, untungnya ia menemukan sebuah tangga yang tergeletak tak jauh di bawahku, pemuda itu pun segera menggunakannya.
Entah apa yang dicari Coki, setelah berhasil memanjat dinding pembatas, kemudian loncat turun, ia berjalan pelan mengelilingi rumah yang sedang ditinggal pemiliknya, pandangannya berkeliling seolah mencari celah untuk masuk atau sekadar mengintip ke dalam rumah.
Setelah cukup lama berputar-putar, Coki akhirnya mendapati sebuah lubang angin berukuran cukup besar di bagian belakang rumah. Pemuda itu menemukan sebuah kursi kayu reyot yang tergeletak tak jauh dari tempatnya berdiri, meskipun reyot, tapi masih bisa ia gunakan sebagai pijakan agar bisa mengintip ke dalam rumah yang hanya diterangi lampu temaram.
Coki mengerutkan dahi saat melihat ruangan di dalam sana dipenuhi kotak-kotak kayu berukuran besar, di sana juga terdapat sebuah karung goni yang tampak penuh sesak, cahaya remang-remang membuat karung berwarna putih itu terlihat menyeramkan. Coki terperanjat, kakinya refleks bergerak mundur hingga tak lagi berpijak pada kursi, pemuda itu pun tersungkur ke tanah, ia akhirnya pergi meninggalkan rumah itu sambil mengumpat, sebelah tangan memegangi pinggangnya yang pastilah sakit luar biasa.
Keesokan malamnya, Lelaki Misterius kembali ke rumah saat senja, beberapa menit sebelum azan berkumandang dari toa-toa masjid dan musala. Tak ada yang aneh, ia pulang dengan tangan kosong, masih mengenakan pakaian yang sama seperti saat ia berangkat kemarin pagi. Yang aneh adalah, saat lewat tengah malam, sebuah mobil box berhenti di depan rumahnya. Tak lama, dua orang berpakaian serba oranye turun dan mengeluarkan beberapa buah karung goni putih yang penuh sesak.
Aku tak dapat melihatnya dengan jelas, karena saat itu hujan turun cukup deras, sehingga tubuhku terayun-ayun dan pandanganku mengabur. Sebab hujan ini juga mungkin para peronda meringkuk di pos jaga dan tak menyadari ada sebuah mobil mencurigakan berhenti di depan rumah Lelaki Misterius.
Tunggu. Bukankah tadi hanya dua orang berpakaian oranye yang mengangkat bungkusan-bungkusan itu? Kenapa sekarang ada tiga? Siapa satu orang lagi yang membantu mereka? Dari postur tubuhnya yang kurus dengan perut membuncit, serta rambut kusut masai, sepertinya aku mengenali satu pemuda itu.
“Kerja bagus, Rijal. Aku pastikan gajimu naik bulan ini.” Lelaki Misterius menepuk pundak Rijal. “Sekali lagi terima kasih, rumah ini memang cocok untuk menjadi gudang barang daganganku.”
Siapa sebenarnya Rijal? Barang apa yang sebenarnya diperjual-belikan oleh Lelaki Misterius? Ah, sayangnya tubuh tuaku ini tak mampu menyaksikan lebih banyak lagi potongan-potongan kisah tentang dua lelaki itu. Angin membawa tubuhku yang telah kuning dan rapuh pergi, ke tempat entah.
Keritang, 9 September 2020
Musyrifatun, perempuan penyuka hujan, bunga, benang, dan pena.
Editor : Lily
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata