RIE

RIE

RIE
Oleh: Eda Erfauzan

Rie adalah sosok yang tengah memenuhi alam pikir sekaligus rasa ingin tahuku. Perempuan ceria, selalu bersemangat dan penuh tawa itu tiba-tiba menghilang.

Personal kontak, WA, IG, BBM, Path seperti beku. Tak ada status juga respons. Where are you, Rie?

Tiba-tiba aja aku ngerasa lelah, hopeless dengan semua yang sudah aku jalani.

Sebuah pesan masuk melalui WA, aplikasi yang tanpa sadar kupandangi, entah sejak kapan. Rasanya ada sengatan listrik ratusan watt, aku terlonjak. Pesan dari Rie.

Duh, jari-jari ini seperti amnesia saat menyentuh huruf demi huruf untuk membalas pesan Rie.

Nggak usah nulis dan balas apa pun, Dee. Aku ngga perlu. Aku cuma ingin Kamu tahu apa yang sedang kurasakan. Saat ini semua masih baik-baik saja, entah nanti ….

Dan pesan beruntun masuk dengan tag line “Rie typing” seperti membuatku beku, menunggu dengan kepala nyaris kosong.

Pada akhirnya kita semua akan sampai pada satu titik dalam hidup ini, Dee. So, aku ngerasa di titik itulah sekarang. Jenuh yang amat sangat hingga merontokan semua mimpi dan segala ingin.

Aku bosan dengan hidupku saat ini, Dee. Bosan dengan segala kepura-puraan. Mungkin aku gak sadar sepenuhnya jika upaya untuk tampil tegar, ceria, optimis adalah penipuan diri, bagian dari upayaku bertahan dari rasa tidak bahagia. Proses penghancuran harga diri. Kamu tahu, Dee, itu seperti kanker menggerogoti dan betapa aku jadi begitu mengasihani diri sendiri, baper, minder, serba salah, selalu merasa berada pada tempat dan situasi yang keliru. Aku jadi membenci banyak hal, rasanya amazing banget bisa bertahan untuk bersikap seolah semua baik-baik aja selama enam tahun, padahal ada berlapis kekecewaan dan rasa sakit yang terus bertambah. Jangan bilang aku lebay dan terlalu serius menjalani hidup, kita nggak berada di posisi yang sama, Kamu pun nggak berproses seperti yang aku jalani.

Hm … aku menarik napas kuat-kuat, tersenyum kecut. Rie masih menulis.

Aku seperti tersihir layar gawai, menunggu Rie menyelesaikan tulisannya.

Hingga pada satu saat aku merasa butuh pertolongan seorang psikolog. Beberapa kali konsultasi aku menyadari jika masalah terbesar kami (aku dan Val) adalah komunikasi. Enam tahun pernikahanku dengan Val bukan waktu yang pendek, aku yakin semua masih bisa diperbaiki, sayangnya begitu aku mulai membuka diri, memaafkan ketidakdewasaannya, ketidakmampuannya bertahan dalam setiap pekerjaan yang membuatku lelah, kecewa dan marah. Berusaha mendekatkan hati kami kembali, Val malah menjauh. Kali pertama aku menyadari sesuatu telah terjadi di antara kami. Val bukan tipe lelaki yang mudah tergoda, sampai kutemukan bukti perselingkuhan itu, ada yang telah mengisi kekosongan yang sempat kubiarkan. Kamu tahu gimana rasanya saat kamu mendapati orang yang kamu percaya mengkhianatimu?
Seperti ada batang besi yang dilesakkan ke tenggorokan hingga menembus dada lalu ditarik keluar pelan-pelan. Sakit yang amat sangat.

Hening. 1, 2 … hingga beberapa menit tak ada notif Rie typing, gawaiku kembali beku.

Rie ….
Kamu masih di sana?

Tak ada jawaban, kucoba menelepon hanya nada sambung terdengar.

Jeda keheningan yang membuatku tak nyaman. Kurapikan berkas di atas meja bergegas ke arah pintu kamar.

Beberapa langkah lagi dari pintu kudengar suara berdebum, lalu pintu ruang tengah seperti dihempaskan.

Kuraih gawai di meja mencoba menghubungi seseorang, tangan kiri memegang gawai yang menempel di telinga, tangan kananku menggeser pintu.

“Rie …!” Aku terlonjak begitu pintu terbuka.

Rie berdiri dengan wajah memerah, matanya … membuatku tergetar dan kelu, sorot penuh luka serta amarah, membuatnya terlihat kejam. Dan sesuatu di tangan kanannya membuatku gemetar, ada noda merah yang belum kering. Milik Val-kah? Aku merasa nyeri. Berada di antara dua orang yang bermasalah, terlibat playing victim, Val korban dan aku pahlawan yang menyeret kami pada zona terlarang. Gawaiku terlepas.

“Aku tahu kau yang mengisi kekosongan itu, Dee. Kau yang merebut Val-ku.”

Rie mendesis, potongan besi ditangannya terangkat. Aku terpaku menatap matanya, susah payah aku mencoba melangkah mundur sambil mengibaskan tangan saat Rie mendekat.

Ah, tubuh ini seperti mengkhianatiku, tak mau dia bergerak hingga sesuatu kurasakan menghantam kepalaku dan seribu kunang-kunang menemaniku terhuyung, membentur lantai lalu semua berubah gelap.

 

Eda Suhaedah/Eda Erfauzan lahir di Tangerang Banten. Anak keempat dari tujuh bersaudara yang semuanya perempuan. Gemar membaca sejak kecil dan mulai belajar menulis secara otodidak sejak tsanawiyah, tetapi lebih banyak curhatan di buku harian. Kesibukan bekerja sempat mengalihkan minat menulisnya. Kini keinginan menekuni kegemaran  menulis kembali hadir. Belajar hingga bisa melahirkan karya yang baik dalam isi maupun penulisan.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply