Rezeki

Rezeki

Rezeki


Oleh: Ketut Eka Kanatam


Sudah hampir tengah hari, daganganku belum laku satu pun. Tanganku berkeringat menjunjung keranjang dagangan. Keadaan Maryam pun sama, langkahnya terseok-seok mengikutiku.

“Aku haus, Yah,” rengek Maryam.

Matanya tertuju pada warung di pinggir pantai yang memajang boks berisi aneka macam minuman dingin.

Aku memang sering mampir ke sana setelah selesai berjualan dan membelikan anakku es yang paling murah di sana. Maryam akan sangat senang mendapat hadiah seperti itu. Dia akan menjilat es itu dengan sangat pelan, seolah-olah menikmati setiap sensasi dingin yang didapatnya dari benda tersebut.

Kini, kami berdua hanya bisa menelan ludah. Air minum yang kubawa dari rumah sudah habis sejak tadi. Aku tidak lagi bisa membujuk Maryam agar minum air putih saja untuk menghilangkan hausnya.

Maryam kembali menunjuk warung itu sambil merengek kepadaku. Aku memilih diam dan mengalihkan pandangan ke sekeliling pantai.

Hari Minggu yang biasanya sangat ramai oleh pasangan muda-mudi yang berkunjung ke pantai, kini tidak ada lagi. Akibat pandemi Corona, pengunjung pantai sedikit demi sedikit berkurang.

Beberapa tempat sepi yang biasanya jarang kudatangi, karena merasa tidak nyaman melihat anakku akan memergoki mereka yang mungkin tengah bermesraan, terpaksa kudatangi juga. Namun, di sana keadaannya pun sama, hanya ada sampah plastik yang bisa ditiup seperti balon. Sepertinya mereka memilih datang tadi malam daripada hari ini.

“Yah!” seru Maryam kembali dengan nada kesal.

Kali ini, kutatap matanya yang mulai penuh dengan air mata.

“Sabar, ya, Nak. Jika ada yang membeli gorengan ini, ayah akan mengabulkan permintaanmu.”

Rambutnya terasa lengket saat kuusap dengan perlahan-lahan.

“Pantainya sepi, Yah.”

Anakku yang sebentar lagi akan masuk sekolah dasar itu mengalihkan pandangannya dan menatap ke sekeliling pantai. Tangannya bergerak perlahan menghapus air matanya.

“Iya, Nak. Sepertinya, hari ini tidak ada pengunjung.”

Kecewa yang kurasakan mungkin sama dengan yang dirasakan Maryam. Tidak ada pengunjung berarti tidak ada pembeli. Jika daganganku tetap tidak ada pembeli, maka keinginannya akan sulit aku kabulkan. Harapanku untuk mengisi dompet yang kosong, hanyalah dari jualan gorengan ini.

“Mau temani ayah jalan lagi, Nak?” tanyaku setelah diam sekian lama memikirkan jalan keluar.

“Ke mana, Yah?”

Aku menunjuk perumahan yang atapnya terlihat dari tempatku berdiri. Anakku mengikuti arah telunjukku, tatapannya begitu sangsi, tapi akhirnya dia mengangguk perlahan.

“Maafkan ayah ya, Nak. Tidak bisa menggendong kamu.”

Kaki kecilnya berusaha mengikuti langkahku yang kuusahakan sependek mungkin. Lelahku rasanya tidak sebanding dengan lelah yang dirasakan Maryam.

Aku hanya bisa terenyuh melihat keadaannya. Hari libur bukan pergi tamasya dengan kedua orangtua seperti teman-temannya, tapi diisi dengan menemaniku berjualan.

Ibunya pun sama, tidak ada hari libur untuk menggosok baju orang-orang yang membutuhkan tenaganya.

“Tidak apa, Yah,” jawabnya perlahan.

Ucapannya membuatku ingat akan tawaran yang kuberikan setiap akhir pekan.

“Aku lebih senang ikut dengan Ayah.”

Jawaban anakku selalu sama setiap kutanya memilih ikut siapa karena tidak mungkin meninggalkannya sendirian di rumah.

“Kenapa lebih senang ikut dengan ayah, Nak?” tanyaku dengan penasaran.

“Aku senang lihat ombak yang bergulung-gulung, Yah. Aku masih bisa main pasir saat Ayah sibuk melayani pembeli. Kadang, Ayah juga mengizinkan aku berenang di sana. Kalau ikut dengan Ibu, aku tidak bisa main. Aku mau bantu Ibu juga tidak bisa. Jadi, aku sering bengong di sana.”

Maryam hanya bercerita sedikit, tapi aku tahu dari penuturan ibunya kalau anakku pernah kena marah majikannya karena dia dianggap membuat berantakan mainan anaknya.

Langkah anakku terhenti, membuatku sadar sudah di depan perumahan itu. Ada penjaga sedang menatap kami dengan tatapan tajam.

“Tunggu sebentar di sini, Nak!”

Aku segera menghampirinya dan menyatakan maksud kedatanganku.

“Pedagang asongan tidak boleh masuk sembarangan, Pak. Ini perumahan milik bule, Pak.”

Jawabannya memutus harapanku. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih dan segera berlalu dari hadapannya. Aku mencoba tersenyum pada anakku yang menatap dengan tatapan khawatir. Mungkin, aku harus pulang saja dengan tangan kosong.

“Tunggu sebentar, Pak,” cegah petugas itu begitu aku agak jauh dari dirinya.

“Bapak jualan apa saja? Saya mau lihat!”

Ucapan dan lambaiannya seperti angin berembus menerpa wajahku. Aku bergegas menuruti permintaannya. Aku juga memanggil Maryam setelah dia mengizinkan anakku itu untuk mendekat. Petugas tersebut juga memanggil temannya yang ada di gardu jaga. Mereka terlihat bersemangat memakan jajanan lumpiaku. Katanya enak dan mengenyangkan.

“Kalau sampai sore masih enak ndak, Pak?”

Aku mengangguk dengan cepat. Mereka mengatakan akan membawa pulang untuk oleh-oleh anak-anaknya. Aku tersenyum, rezeki anakku ternyata mengalir lewat orang-orang yang sama seperti kami.

“Bapak keliling di perumahan yang sebelah saja, Pak. Kalau di sana banyak penduduk lokal dan orang-orang yang mengontrak seperti kami, karyawan hotel dan vila, Pak.”

“Ya, Pak. Terima kasih, Pak.”

Aku membungkus pesanan mereka dengan memisahkan bumbunya.

“Kita pergi ke perumahan itu, ya, Nak.”

Maryam tersenyum saat melihat aku memasukkan uang pembelian mereka ke dalam dompet. Kakinya bergerak cepat, menuruti ajakanku berjalan menuju perumahan yang dimaksud petugas tadi.


Bali, 11 Maret 2021

Ketut Eka Kanatam, lahir di Pegayaman, Bali. Mengajar di taman kanak-kanak. Penyuka warna ungu. Berharap suatu saat tulisannya dibaca oleh semua anak didiknya.

Editor: Imas Hanifah N

Leave a Reply