Review Film Thailand: The Little Comedian (2010)
Oleh : Imas Hanifah N.
[Spoiler alert]
“Apakah ayah mencintaiku? Aku tidak lucu.”
Film dengan genre drama-komedi ini bermula dari kelahiran seorang anak laki-laki di keluarga yang memiliki grup komedi. Anak laki-laki bernama Tock diharapkan mampu menjadi penerus dan menjadi salah satu komedian yang dapat dibanggakan.
Maka dari itu, sejak kecil, ayahnya Tock selalu mengajari Tock berbagai lelucon. Ia juga mengajak Tock dari panggung ke panggung bersama dengan grup komedi keluarganya demi menumbuhkan bakat lucu Tock. Akan tetapi, kenyataan tak sesuai harapan. Lelucon apapun yang dibawakan Tock selalu garing. Hal itu membuat ayahnya tak lagi mengajak Tock untuk berada di panggung. Bahkan dengan santainya, ayahnya Tock selalu menjadikan Tock sebagai bahan lelucon.
Ada banyak adegan lucu di sini. Bahkan ketika semua orang diam melihat Tock, bisa membuat kita tertawa terbahak-bahak. Leluconnya benar-benar garing. Hahaha.
Tock tahu lelucon tentang dirinya hanyalah bagian dari pertunjukkan. Namun jauh di dalam hatinya, ia menangis.
Ditambah dengan tahun-tahun berikutnya ketika adik Tock lahir. Namanya Mon. Rupanya, Mon kecil lebih berbakat dibandingkan Tock. Sehingga, ayah dan ibunya jadi lebih memberikan banyak perhatian dan bahkan Mon kecil sering diajak ke panggung pertunjukkan.
Hal itu membuat Tock berusaha keras. Ia membuat banyak lelucon dan berlatih setiap malam. Ia menuliskan berbagai lelucon di buku dan kadang mereviewnya. Tentang berhasil atau tidaknya lelucon tersebut.
Akan tetapi, untuk ke sekian kalinya, usaha Tock tidaklah berhasil. Ia tetap tidak lucu di mata hampir semua orang. Kecuali, seorang dokter kulit yang cantik bernama Dr. Ice.
Ya, Tock sengaja mengikuti temannya pergi ke klinik kecantikan demi mengempeskan jerawat. Itulah pertama kalinya Tock bertemu dengan Dr. Ice yang cantik dan baik. Ketika itu, Tock membicarakan beberapa lelucon dan ternyata Dr. Ice tertawa.
Menyadari ada satu orang yang tertawa dengan tulus karena leluconnya, Tock bersemangat. Ia sangat ingin menjadi dekat dengan Dr. Ice. Ia bahkan memakan banyak coklat demi keinginannya memiliki jerawat. Tentu saja agar ia memiliki alasan untuk bertemu dengan Dr. Ice.
Hari-hari berlalu dan dunia Tock seakan berubah. Ia sering tersenyum sendiri mengingat tatapan Dr. Ice yang tulus. Padahal, Tock ini masih bocah. Ia bahkan berani mengajak Dr. Ice untuk makan.
Hingga di suatu kesempatan, tepat di restoran tempat Tock dan Dr. Ice tengah makan, grup komedi ayahnya tampil. Hal itu membuat Tock deg-degan setengah mati. Dan benar saja, hal yang ia takutkan terjadi. Tock memang ke atas panggung. Akan tetapi, ia tidak bisa menampilkan kelucuan. Hingga sebuah kalimat dari sang ayah mematahkan kembali hatinya.
“Jangan bilang kamu ini anakku. Hahaha.”
Kalimat singkat diiringi tawa semua orang itu membuat Tock geram. Dr. Ice menyadarinya dan berusaha menghibur Tock.
“Itu hanya lelucon,” kata Dr. Ice.
“Tapi itu menyakitkan,” balas Tock.
Di samping bumbu komedi dan kekonyolan, film ini menyuguhkan keharuan yang cukup paripurna. Bagaimana tidak? Perasaan seorang anak yang ingin mendapatkan banyak cinta dan berusaha keras untuk hal tersebut begitu tersampaikan dengan jelas. Sedangkan sang ayah yang cuek dan tidak berpikir bahwa apa yang dikatakan itu ternyata sangat melukai sang anak.
Puncaknya ketika Tock pergi ke Bangkok sendirian demi menemui Dr. Ice dan ia ketinggalan bus untuk pulang. Otomatis semua orang panik. Termasuk ayahnya.
Keesokan paginya, Tock pulang dan ayahnya marah. Namun, ada yang lucu sekaligus mengharukan di bagian ini. Ayahnya marah-marah sambil memukul dengan sapu lidi. Akan tetapi, yang ia pukul bukanlah Tock. Melainkan kakinya sendiri. Ini seakan-akan ayahnya merasa menyesal karena tidak dapat menjaga Tock dengan baik.
Sesampainya di kamar, Tock menemukan Mon kecil yang tidur dengan pakaian pertunjukkan. Ia bahkan melirik ke arah celengan Mon yang kemarin ia bobol demi pergi ke Bangkok.
Mon terbangun dan khawatir terhadap Tock. Ia menjelaskan bahwa grup komedi keluarganya tak jadi tampil di TV karena semalaman mencari Tock. Saat Tock bilang akan mengganti uang celengannya, Mon menepuk bahu Tock sambil berkata, “Kamu tidak perlu melakukannya.”
Manis sekali, bukan?
Film ini tentunya berakhir dengan bahagia. Tock menyadari betapa sang ayah sangat mencintainya dan ayahnya menyadari bahwa Tock tidaklah harus jadi komedian. Ia mengetahui buku berisi lelucon yang dibuat Tock dan tersadar bahwa ia terlalu keras terhadap Tock.
Ending yang manis, kelucuan yang tidak terduga, keharuan dan pesan yang cukup dalam tersaji apik dalam film ini.
Tertawa, menangis, tertawa lagi, menangis lagi. Film ini sungguh berhasil dan bisa menjadi hiburan yang asyik.
Selamat menonton.
Imas Hanifah Nurhasanah. Bercita-cita jadi penulis sejak kecil. Lahir di Tasikmalaya, 24 Desember 1996. Saat ini, tinggal Tasikmalaya. Penyuka jus alpukat ini, bisa dihubungi via akun facebooknya: Imas Hanifah atau akun IG: @hanifah_bidam. Baginya, menulis dan membaca adalah sebuah kebutuhan.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata