Review Film Critical Eleven

Review Film Critical Eleven

Review Film Critical Eleven
Oleh: Eda Erfauzan

Ada beberapa alasan yang membuat saya memutuskan untuk menonton film ini. Diadaptasi dari novel best seller Ika Natassa, yang saat pre-order sempat jadi trending topik karena terjual seribuan eksemplar dalam waktu sebelas menit, tujuh kali cetak ulang dalam tiga bulan. So, karena ada Reza Rahadian (Aha, Reza lagi ….) dan Hamish Daud.

Film drama romantis besutan sutradara Monty Tiwa dan Robert Ronny ini bercerita tentang perjalanan manis pahit cinta Ale dan Anya. Pasangan muda metropop mapan yang bertemu dalam sebuah penerbangan.

Critical Eleven adalah istilah dalam dunia penerbangan yaitu tentang sebelas menit paling krusial pada pesawat. Momentum tersebut ada di tiga menit setelah lepas landas dan delapan menit menjelang landing. Dan ini menjadi bingkai cerita cinta Ale dan Anya.

Adalah Aldebaran Risjad/Ale, diperankan secara apik oleh Reza Rahadian dan Tanya Baskoro (Adinia Wirasti). Ale bekerja di perusahaan minyak internasional dan Anya sebagai konsultan keuangan. Keduanya bertemu dalam sebuah penerbangan yang menjadi analog tiga menit pertama menjelang take off, kesan yang terbangun pada pertemuan pertama berlanjut hingga pernikahan.

Anya rela melepaskan pekerjaan demi mengikuti Ale dan tinggal di New York. Pada babak ini sebagaimana pesawat yang telah mengudara dengan tenang, penonton disuguhi manis dan hangatnya cinta Ale dan Anya.  Romantisme yang dikemas dengan pemandangan indah kota New York sungguh memanjakan hati dan mata. Hingga kemudian terjadi badai dalam pernikahan mereka. Delapan menit menjelang landing.

Reza dan Adinia mampu membangun kedekatan emosi layaknya suami istri hingga tanpa sadar penonton dibawa larut dalam manis pahit, tawa dan tangis cinta Ale-Anya.

Sosok Ale yang introver dan hanya dapat tampil ceria saat bersama Anya, mampu dihidupkan Reza. Gestur tubuh, mimik wajah, tatapan mata bahkan tarikan bibir mampu menunjukkan apa yang dirasa tanpa perlu banyak kata. Begitu pun Adinia, mampu menyatu dengan tokoh Anya, perempuan metropop yang mandiri, sukses, memiliki sahabat-sahabat yang hangat dan selalu mendukungnya.

Badai yang menyapa perkawinan Ale dan Anya membuat hubungan mereka menjadi dingin dan saling menyakiti. Kepedihan, kemarahan, juga kerapuhan mengalir jelas didukung soundtrack lagu Sekali lagi (dinyanyikan oleh Isyana Sarasvati), membuat nuansa sendu dan kelabu perjalanan cinta Ale dan Anya terasa pilu. Apakah ujian yang datang membuat mereka bertahan dengan ego masing-masing lalu menyerah? Atau memilih menyembuhkan luka dan amarah untuk mengikat kembali cinta mereka?

Secara keseluruhan, film ini lebih mudah diikuti alurnya dan konflik pun lebih tajam dibandingkan dengan  novelnya yang menggunakan alur maju mundur. Akan tetapi durasinya yang 135 menit rasanya terlalu lama dan membuat lelah. Selain itu menurut saya, dalam film ini adegan ciumannya terlalu banyak. Oh, ya, film ini juga membuat saya menghabiskan banyak tisu untuk menghapus air mata dan terdiam lama usai menonton karena apa yang Anya alami pernah ada dalam episode hidup saya—kali ini backsound-nya bukan Isyana melainkan Tears In Heaven milik Eric Clapton.

Would you know my name?

If I saw you in heaven

Will you be the same?

If I saw you in heaven

I must be strong

And carry on

Cause I know

I don’t belong

Here in heaven

 

Ciputat, 030519

Eda Erfauzan, penikmat aksara dan dongeng klasik dunia. Pernah bercita-cita menjadi Wonder Woman.

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata