Review Film Ada Apa dengan Cinta 2

Review Film Ada Apa dengan Cinta 2

Penulis: Berry Budiman

Judul: Ada Apa dengan Cinta 2

Sutradara: Riri Riza

Produser : Mira Lesmana

Penulis: Riri Riza dan Prima Rusdi

Tanggal Rilis: 28 April 2016

Jadi, akhirnya saya bisa juga menonton AADC2, dan saya pun merasa bodoh karena selama ini sudah termakan omongan orang-orang di forum perfilman di medsos yang mengatakan kalau film Indonesia sudah sulit (atau malah nyaris mustahil) ditemukan di internet. Itu kepercayaan yang sungguh bodoh selayaknya mempercayai bahwa kiamat akan tiba sebulan lagi hanya karena alasan-alasan sepele. Semalam saya iseng membuka Cinema Indo melalui google dan tak lama kemudian menemukan situs yang salah satu panelnya menyediakan film Indonesia. Tentu saja saya menyambut penemuan ini dengan riang gembira selayaknya penambang yang menemukan harta karun, dan tentu saja saya tidak lupa sekalian mengunduh Warkop DKI Reborn.

Sebelum menyampaikan hasil penontonan ini, saya ingin berbagi celoteh banyak orang yang telah lebih dulu menonton film ini. Kebanyakan mereka kecewa. Tidak sebagus ekspektasi, begitu kira-kira. Saya sempat percaya dengan pendapat tersebut, mengingat sutradara kali ini bukanlah Rudi Soejarwo melainkan Riri Riza. Dengan sutradara yang berbeda, maka besar kemungkinan “rasa” film ini yang sudah sangat kuat dan melekat dibenak pemuja AADC tidak akan terasa sama.

Tapi, bisa saja menjadi lebih baik? Nope.

Tidak mungkin, film ini sudah jadi, selayaknya rasa empek-empek Palembang yang tidak akan bisa lebih baik dari yang asli. Jika ada orang luar Palembang yang ingin membuatnya, maka ia harus mengikuti resep yang sudah ada. Mereka bisa saja menambah ini-itu sesuai selera, tetapi ia tidak akan senikmat yang asli. Selanjutnya, saya bukan penggemar film-film Riri Riza, terakhir yang saya tonton adalah Laskar Pelangi dan sampai sekarang saya tidak berniat menontonnya lagi.

Balik ke pendapat banyak orang itu, nampaknya saya harus bersetuju pada beberapa hal. Harus saya akui bahwa ada beberapa hal yang tidak mengesankan pada film ini dan ia berkaitan erat dengan cerita. Setelah sembilan tahun, adalah wajar jika banyak hal yang terjadi, namun sayangnya cerita-cerita yang terlewat itu terlalu dipaksakan untuk kepentingan drama. Yang dipaksakan itu antara lain adalah meninggalnya Alya karena kecelakaan, kemudian bahwa Milly menikah dengan Mamet dan Karmen yang ditinggal suaminya dan menjadi pemakai. Saya tahu hal semacam itu dibutuhkan untuk membuat jalan cerita menjadi menarik, tapi bagi penonton yang berselera, sungguh hal itu terlalu kentara sebagai upaya menghadir-hadirkan drama. Seperti para pembuat film yang takut jika filmnya terasa lompong karena tidak padat konflik. Begini, bila sesuatu itu ingin didramatisasi, maka jangan pernah berlebihan. Bila tidak mampu memenuhi syarat itu, maka biarkanlah ia terasa sewajar mungkin. Bukankah hidup memang begitu, biasa-biasa saja dan apa adanya. Hanya sedikit keajaiban yang terjadi selayaknya mereka yang tragis hidupnya. Hanya di sinetron kau akan menemukan pemeran utama lelaki yang tiba-tiba muncul entah darimana untuk menyelamatkan pemeran utama perempuan dari tindakan cabul. Saya menganggap film AADC sebagai salah satu yang terbaik di Indonesia dan saya menyukainya secara pribadi, karena itu saya peduli sekali supaya ia tidak jatuh menjadi murahan.
Selanjutnya, yang tak kalah garing, adalah kemunculan Cristian Sugiono sebagai suami Maura. Dammit Riri Riza, kau mau bikin film apa mau sekadar seru-seruan ngumpulin suami-istri ke dalam proyekmu! Keputusan yang norak betul. Kemudian ada Ario Bayu, aktor jangkung berkulit gelap ini adalah yang paling rajin menjadi pemeran pembantu dalam film. Pertama kali saya melihatnya sebagai pemeran pembantu ketika ia menjadi Lintang dewasa di Laskar Pelangi, yang menurut saya sangat tidak pas. Ia terlalu tinggi jika dibandingkan dengan Ical yang dimainkan Lukman Sardi. Btw, saya bukannya tidak menyukai Ario Bayu, ia aktor yang hebat, saya cuma bosan jika para sutradara-sutradara keren itu nampak tak punya stok pemain dan mengandalkan nama yang itu-itu saja. Yea I see, untuk memikat penonton bukan? Huh.

Geng Cinta, minus Alya.

Sebagai penikmat film, saya mengharapkan aktor-aktor baru, atau yang cukup menyegarkan untuk memerankan suami Milly, suami Maura, dan kekasih Cinta. Reza Rahardian, Ario Bayu, Tora Sudiro dan Lukman Sardi adalah aktor-aktor hebat dan sepantasnyalah mereka memerankan karakter-karakter penting dan menantang. Reza pernah memainkan Habibie, Ario memerankan Soekarno dan Tora sudah kuat sekali sebagai Sakti, jadi jangan pula sampai tokoh pembantu saja harus diperankan oleh nama-nama besar begitu. Biarkan penonton menyaksikan aktor-aktor baru yang menyegarkan, meskipun secara akting mungkin belum sebagus para seniornya. Bukan masalah, toh mereka adalah pemeran pembantu. Tidak terlalu bagus malah terasa natural, sebaliknya kalau bagus, akan menjadi kredit bagi si sutradara yang telah jeli menemukan bakat baru.

Nampaknya beberapa hal terkait dramatisasi dan kemalasan Riri Riza itulah—dalam hal menggali cerita yang esensial dan merekrut pemain baru—yang paling mengganggu saya di film ini. Sederhananya, drama yang terlalu dipaksakan dan pemilihan  cast yang kaku.

Selanjutnya saya akan masuk ke cerita. Apabila Riri Riza tidak menghancurkan hidup Karmen di dalam cerita, tidak membuat Alya mati muda dan memaksakan Milly sebagai istri Mamet dan beberapa yang lain seperti yang saya singgung di atas, maka secara cerita film ini sudah sangat pas. Saya senang dengan kisah Rangga, bahwa ia ternyata mengalami masa-masa sulit di Amerika, ayahnya meninggal, kuliahnya berantakan dan secara ekonomi ia kacau. Kau bisa melihat betapa kusut Rangga di sini, bandingkan dengan AADC Versi Line yang menampilkan Rangga dengan tubuh yang agak berisi, penampilan yang elegan dan makmur. Di AADC2 ia membuka kafe di New York dan—sesuai perkiraan—menjadi penulis, atau paling tidak pengisi kolom di majalah. Kemudian pada suatu pagi muncul seorang gadis yang ternyata adalah adik tirinya yang datang dari Jogja. Ia meminta Rangga pulang karena sang ibu sudah sakit-sakitan dan rindu sekali kepadanya. Maksudku, beginilah drama yang kita butuhkan di sini. Drama yang berkaitan langsung dengan masalah pemeran utama yang memang belum terselesaikan di film perdana. Daripada menghadirkan konflik-konflik baru yang kentara diada-adakan.

Saya suka Rangga yang kusut dan dengan potongan rambut menyedihkan begitu, yang tidak jelas apakah mau panjang atau cepak. Berasa sangat natural. Rangga bisa diasumsikan terlalu banyak pikiran hingga tak sempat mengurus penampilannya.

Selain Rangga, Cinta juga tampil wajar, tidak terlalu kinclong seperti versi Line dan penampilannya pun bisa disebut biasa saja. Hal lain yang sangat saya sukai di film ini adalah kekuatan karakternya. Mereka tampil cukup meyakinkan bagi penonton yang pernah menyimak dan menggemari AADC versi Rudi Soejarwo. Saya pikir tidak terlalu penting untuk membicarakan alur cerita setelahnya karena ia sudah dikemas dengan sangat baik. Interaksi antartokohnya benar-benar membuat penonton ingat dengan AADC perdana. Tidak ada keraguan, dan hal itu membuat penonton terbawa kenangan masa muda, ketika pertama kali menonton film itu dan berdebar-debar karenanya.

Rangga dan Cinta

Saya sempat meragukan keinginan saya terhadap ending film ini, apakah sebaiknya ia berakhir buruk, yang mana Rangga dan Cinta tidak bisa bersatu atau malah sebaliknya. Tapi kemudian saya sepakat dengan Riri Riza untuk melihat mereka berakhir bahagia. Nampaknya hal ini murni sebagai keinginan penggemar, bukan lagi penikmat film yang objektif, haha.

Di luar cerita yang menyenangkan, mari kita membicarakan hal-hal yang detail yang menarik di sini. Pertama, saya semakin yakin kalau Dian Sastro adalah satu-satunya aktris yang bisa memerankan Cinta. Tokoh Cinta sudah sepenuhnya milik Dian Sastro, sementara saya bisa saja membayangkan ada tokoh lain yang memerankan Rangga selain Nicholas Saputra. Selanjutnya, puisi-puisi Aan Mansyur. Pada beberapa bagian, puisi-puisi itu cukup mengena dan pas sekali untuk ditayangkan tetapi pada posisi lain ia—lagi-lagi—terlalu dipaksakan. Aduh, keliatannya saya betul-betul benci pada kelebaian dalam bentuk apa pun, haha. Mungkin, jika puisi-puisi itu dikurangi antara satu-dua saja, maka ia akan terasa lebih baik. Tak perlu terlalu sok nyastra, hal itu sama menyebalkan dengan cerita yang sok berkhutbah. Maksudku, janganlah terlalu kentara kalau mau jualan buku juga. Sementara itu, saya kok suka dengan munculnya buku puisi Aan Mansyur yang tampil dua kali (seingat saya) dan tidak dengan frame yang penuh dan bagus. Ia muncul sebagian karena tertutup benda lain ataupun sekadar nampak samping. Buku puisi itu dianggap tak lebih dari properti biasa. Kupikir begitulah cara jualan yang elegan, masukkan ia sebagai bagian dari film, bukan membuatnya muncul (dengan kentara) di sela-sela film. Selain puisi-puisi Aan Mansyur, hal lain yang dijual di film ini adalah lagu-lagu Melly Goeslow, yang sayangnya tidak menyenangkan disimak. Entahlah, Melly yang dulu dan sekarang sepertinya tidak lagi sama. Kualitas lagu-lagu Melly mestinya mendewasa seperti halnya tokoh di dalam film yang sudah dewasa. Lagu-lagu Melly tidak terkesan ke sana, malah makin kekanak-kanakan. Mau bagaimana lagi, Melly sudah terjebak dengan musik komersial untuk BBB dan film-film remaja lainnya.

Rating: 8/10

Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata

Leave a Reply