Review Buku Gadis Minimarket
Oleh: Retno Ka
Terbaik ke-7 Event Review Buku Loker Kata
Judul buku: Gadis Minimarket
Penulis: Sayaka Murata
Penerjemah: Nunik Sulistyowati
“Dunia yang normal adalah dunia yang tegas dan diam-diam selalu mengeliminasi objek yang dianggap asing. Mereka yang tak layak akan dibuang.
Jadi karena itulah aku harus disembuhkan. Karena kalau tidak, orang-orang normal akan menyingkirkanku.”
Kutipan tersebut akan kita temukan pada pertengahan halaman di buku berjudul Convenience Store Women atau yang dalam versi aslinya adalah Konbini Ningen, dan kemudian telah dialihbahasakan menjadi Gadis Minimarket. Novel berisi 160 halaman ini adalah novel yang cukup membuat pembacanya merenung. Sebagaimana kebanyakan buku karya Sayaka Murata, novel ini pun mengeksplorasi tema-tema seputar konformitas sosial, identitas, dan hubungan antarmanusia. Namun, meski mengangkat tema yang serius, novel ini tetap tergolong sebagai buku yang ringan dibaca dan bisa diselesaikan hanya dalam sekali duduk. Banyak sisipan humor yang lahir secara alami dari gaya penceritaan penulis yang mengalir beserta penggambaran karakter utama yang kaku dan kesulitan untuk memahami emosi dan motivasi orang-orang di sekitarnya.
Novel yang telah dicetak ulang sebanyak empat kali ini bercerita tentang seorang wanita bernama Keiko Furukara yang telah menghabiskan separuh dari usianya untuk bekerja sebagai pekerja paruh waktu di sebuah minimarket. Menurut pandangan umum, melakukan satu pekerjaan yang sama dalam kurun waktu 18 tahun penuh tentu merupakan hal yang membosankan. Jangankan sampai selama itu, baru beberapa tahun saja barangkali sebagian dari kita sudah gelisah ingin lekas-lekas mencari tempat baru. Lebih-lebih dengan label hanya sebagai pekerja paruh waktu, tentu kita akan dibuat lebih gelisah lagi. Akan tetapi, bagi Keiko justru kebalikannya. Alih-alih merasa gusar dengan kemonotonan, ia justru merasa nyaman dan damai karena telah menguasai setiap sudut minimarket. Dalam hal ini, Murata juga betul-betul piawai dalam menggambarkan latar tempat minimarket dengan begitu rinci dan realistis. Pembaca akan dengan mudah membayangkan keberadaan benda-benda yang terdapat di dalam minimarket dan merasakan bagaimana keterikatan batin Keiko dengan benda-benda tersebut.
Dedikasi Keiko dengan pekerjaannya sebagai pegawai minimarket telah mendarah daging dalam kesehariannya. Saat kesulitan tidur di malam hari, Keiko akan menyalakan suara-suara minimarket di kepalanya hingga ia mengantuk dan tertidur. Begitu pula saat teman-temannya menjejalkan pertanyaan macam-macam kepadanya, pikirannya secara otomatis melarikan diri ke rutinitas di minimarket yang baginya lebih rasional.
Keiko baru merasa sedikit terusik manakala ia mulai menyadari bahwa keberadaannya di minimarket telah terancam. Ia akan segera tersingkirkan karena ia tahu begitulah cara dunia bekerja.
Di saat itulah, tokoh Shiraha yang hanya bekerja sebentar di minimarket dimunculkan. Saya suka sekali perpaduan antara tokoh Shiraha dan Keiko. Melalui pemilihan diksi yang sederhana dan efektif, penulis berhasil menghadirkan dua karakter berlawanan yang sebetulnya memiliki kesulitan yang sama dalam menghadapi tekanan sosial. Tidak ada romantisisme pasangan kekasih di sini. Kedua tokoh tersebut saling terhubung karena kesepakatan ganjil yang mereka buat demi tercapainya tujuan masing-masing. Lalu, betapa yang menggelikan adalah cara Keiko menyebut tokoh Shiraha sebagai “peliharaan” dalam arti sesungguhnya.
“Oh, yah, selama kau belum punya pemasukan, aku memang tak bisa meminta bayaran darimu, kan? Aku juga miskin, jadi aku tak bisa memberimu uang. Aku bisa memberimu pakan asalkan kau mau makan apa saja yang kuberikan.”
“Pakan …?”
“Oh, maaf. Baru pertama kali ada binatang di rumahku, jadi aku merasa seperti punya hewan peliharaan.”
Itu adalah dialog antara Keiko dan Shiraha pada awal-awal Shiraha tinggal di tempat Keiko. Terkesan jika Keiko sedang bercanda, bukan? Padahal tidak. Begitulah Keiko adanya, memiliki pola pikir yang unik dan dianggap abnormal bahkan sejak masih kanak-kanak. Kepribadian itulah yang membuat orangtua Keiko kesulitan karena merasa khawatir akan masa depan Keiko, dan menganggap bahwa Keiko perlu disembuhkan. Keiko pun ingin sembuh, meskipun ia tak pernah merasa ada kesalahan pada dirinya. Ia berupaya menjadi normal dengan cara meniru teman-teman kerjanya di minimarket. Mulai dari gaya berpakaian hingga cara ia bersuara saat berbicara dengan orang lain. Menurut pemahamannya, begitulah manusia beradaptasi, dengan saling meniru satu sama lain.
Buku Gadis Minimarket menawarkan bermacam refleksi diri yang patut direnungkan. Bagaimana manusia seharusnya tetap berdampingan tanpa saling menekan. Tetap terikat pada norma-norma, tanpa kehilangan diri sendiri.
Jepara, 27 Mei 2024.
–
Komentar juri, Berry Budiman:
Tentu saja, salah satu hal yang membuat pembaca ingin membaca sebuah review buku ialah isi dari buku itu sendiri. Jika ia buku fiksi, seberapa menarik cerita di dalamnya. Pemilihan buku Gadis Minimarket sebagai bahan ulasan adalah tepat, karena betapa menariknya (paling tidak buatku) cerita yang ditawarkan buku ini. Di luar itu, pengulas pun cukup terampil dalam memetakan poin-poin yang ingin ia angkat dalam ulasan. Semua informasi yang disajikan terasa penting, menarik, dan pastinya tidak memuat spoiler.
Event review buku ini diselenggarakan di grup facebook Komunitas Cerpenis Loker Kata.