Revenge
Oleh: Reza Agustin
Ayah membawamu pada keluarga kecil kami sepuluh tahun yang lalu. Namamu, Kevin Miller. Nama belakang yang sama dengan ibumu. Kamu tidak punya ayah. Kehadiranmu dalam keluarga kecil kami membuat ibuku mendapatkan kembali senyumnya yang telah lama hilang.
“Lalu, bagaimana dengan Sandra?” tanya Ibu sambil menatap Ayah penuh harapan.
“Sandra meninggal, infeksi saluran pernapasan,” lirih Ayah.
Ibu menatapmu dalam-dalam, lantas membawamu dalam pelukan hangat. “Mulai sekarang panggil aku Ibu, oke? Lalu, kau bisa anggap putriku sebagai adik.”
“Emily, mereka berdua seumuran. Tiffany bahkan lahir lebih dulu daripada Kevin.” Ayah menatapku sambil mengerlingkan sebelah mata.
Oh, akhirnya kesempatan itu datang. Aku bisa memiliki seorang adik. Setelah rahim Ibu diangkat beberapa bulan silam, kesempatanku untuk memiliki adik akhirnya menemukan jalan terang. Melalui seorang anak perawat yang pernah membantu ibuku dulu.
“Baiklah kalau begitu, sekarang kau bisa memanggil Tiffany dengan sebutan kakak. Sekarang, bisa panggil aku Ibu?”
Meski sekilas, bisa kulihat wajahmu meragu. Kamu menoleh, menatapĀ Ayah dengan pandangan yang masih sama. Ayah mengangguk. Matanya berkabut. Sedangkan aku hanya menatap, bergeming di atas kursi roda.
“Baiklah, Ibu.”
Memilikimu sebagai adik adalah hal yang terindah dalam hidupku, setidaknya pada awalnya begitu. Namun, semakin tahun berganti, aku menyesalinya. Aku tak ingin kau menjadi adikku lagi. Bagaimana bisa aku menjadi kakakmu jika setiap malam aku mendamba dirimu? Sering kali diriku berharap kamu juga mempunyai rasa yang sama.
Apakah anganku terlalu tinggi? Setiap kali tangan kita tergenggam, aku tak dapat mengusir rasa. Haruskah aku mengungkapkan rasa yang menyelinap tiap mata kita saling bertemu? Mengingat bahwa kamu bukanlah orang yang repot-repot mengisi waktu luang dengan masalah percintaan. Ah, kamu lebih sering membantuku membaca novel, membuat teori-teori pembunuhan atau memecahkan kode misteri dari novel-novel tersebut.
“Tiffany, kau mau titip apa hari ini?” Kau bertanya padaku seperti biasa. Sebelum berangkat ke kampus, kau akan memastikanku selalu berada di tempat paling nyaman. Di depan meja kerja yang penuh dengan tumpukan kertas yang makin menggunung berteriak minta diselesaikan. Tak lupa kau juga menyiapkan makanan ringan dan minuman manis sebagai teman kerja. Menjadi penulis novel fiksi dektektif terkadang menjadi hal yang melelahkan.
“Karena sebentar lagi Valentine, bisakah belikan aku cokelat yang banyak? Kau tahu sendiri, kalau tak akan ada seseorang yang datang untuk membawakanku cokelat,” balasku lantas mengulum bibir hingga tipis.
Kamu terkekeh geli. “Tenang saja, aku akan membelikanmu cokelat yang banyak. Anggap saja Valentine kali ini kau mendapatkannya dariku, penggemarmu nomor satu.”
Kamu beranjak, bersiap menjalani hari yang padat sebagai seorang mahasiswa. Kursi rodaku bergerak mendekati jendela. Kamu masih berada di halaman depan, menyapa Ayah yang sedang memanaskan mobil. Entah apa yang kalian bicarakan selanjutnya. Namun, aku jelas sekali melihat bahwa ekspresi wajah Ayah tegang. Kau melambai padaku, Ayah pun ikut menoleh. Mengulas senyum lebar-lebar. Walau aku tahu ia tak sepenuhnya tersenyum. Ada gurat kekhawatiran pada wajahnya.
Kau menaiki mobil menuju kampus, sedangkan Ayah masuk ke dalam rumah. Bersiap berangkat kerja, Ayah terbiasa menggunakan angkutan umum menuju kantor semenjak mobil dipakai oleh Kevin. Ayah berangkat kerja sepuluh menit kemudian, ia sempat melambai padaku. Lalu, mereka berdua membiarkanku sendiri. Dua tahun sejak kematian Ibu, aku mulai membiasakan diri dengan kesepian ini.
***
Harusnya sore ini menjadi perayaan Valentine yang menyenangkan, seperti tahun-tahun sebelumnya yang kami rayakan. Dulu meja di ruang makan terisi dengan tiga kursi. Kevin akan menaikkanku ke atas kursi yang letaknya di tengah-tengah. Terhimpit oleh Ayah dan Kevin. Kue dengan hiasan cokelat hati akan ditaruh di pinggir meja. Tanganku tak sanggup menggapai, sehingga Kevin meletakkan kue itu di sana. Hanya sebuah kue dan ucapan saling sayang. Serta doa untuk Ibu.
Seharusnya sederhana seperti itu, akan tetapi hari ini Kevin membawa kue tiga tingkat. Sebotol anggur berwarna merah pekat dan sebuah kotak besar yang dibungkus dengan kertas kado warna merah yang dilengkapi pita warna emas. Tak lupa dua buah piring berisi steak lezat. Sayang sekali Ayah belum pulang. Sesaat mengingatkanku pada salah satu novelku. Bercerita tentang seorang pria yang membalas dendam kematian ibunya terhadap seorang duda beranak satu yang merupakan mantan kekasih si ibu. Ia berpura-pura masuk menjadi menantu keluarga tersebut. Pria tersebut lantas membunuh duda tersebut, menjadikan tubuhnya steak. Darahnya dijadikan pewarna kue, lantas kepala si duda dimasukkan ke dalam kotak kado.
Kevin paling antusias saat novel tersebut kuberikan padanya pertama kali. Ia sangat senang dengan novel-novel thriller. Aku tak heran, karena dia laki-laki. Tak lama setelah mendapat novel itu, ia lebih banyak mengurung diri. Banyak tugas di kampus katanya. Sebagai mahasiswa jurusan kimia, ia juga banyak menghabiskan waktu di laboratorium kampus. Ada praktik menciptakan cairan penghapus katanya. Aneh sekali, ketika dia bilang cairan itu bisa menyamarkan aroma bangkai. Memang ada, ya, hal seperti itu? Sudahlah! Toh, yang kuliah adalah dia dan bukannya aku.
“Tiffany, kalau misalnya kau membuat novel tentang balas dendam lagi bagaimana?” tanya Kevin sembari mematikan lampu dapur.
“Bisa saja, tapi aku sedang buntu ide,” sahutku kurang antusias.
“Bagaimana jika seorang pemuda membunuh anak perempuan seorang duda karena si duda telah membunuh ibunya?” saran Kevin. Ada gurat tak biasa di wajahnya yang tertutup kegelapan, hanya samar terlihat karena sorot lilin.
“Kenapa mirip dengan novelku yang terdahulu?” Aku agak protes, ide itu kurang segar.
“Kalau begitu, anggap saja ide ini sebagai lanjutan cerita itu,” sambungnya.
“Entahlah, aku pikir-pikir dulu. Terima kasih idenya.” Aku menatap jam di dinding. Ayah belum pulang juga. Sementara kotak kado di meja salah satu ujungnya basah. Berwarna pekat, merah kehitaman. (*)
Reza Agustin, lahir dan besar di Wonogiri sejak 20 Agustus 1997. Kunjungi Facebook dengan nama yang sama, Instagram: @Reza_minnie, dan Wattpad: @reza_summ08.
Grup FB KCLK
Halaman FB Kami
Pengurus dan kontributor
Mengirim/Menjadi penulis tetap di Loker Kata